in

Catatan Perjalanan ke Maroko, Destinasi Wisata Elok di Afrika Utara -2/Habis

Menziarahi Petualang Dunia di Pertemuan Dua Samudra

Selain kawasan alam yang indah, Maroko menyimpan sejarah perkembangan Islam yang menarik. Tercatat, ada sejumlah tokoh Islam kelas dunia dari negara itu yang memiliki pengaruh sampai kini.

Berikut lanjutan catatan Agus Mustofa, penulis buku serial tasawuf modern dan mantan wartawan Jawa Pos (grup Padang Ekspres), yang baru pulang dari sana.

Sejumlah tokoh dunia itu adalah Ibnul Arabi (1076–1148 M) yang karyanya menjadi bahan kajian di pesantren-pesantren Indonesia; Abul Abbas Ahmad At Tijani (1737–1815), tokoh sufisme Tarekat Tijaniyah dengan jutaan pengikut; serta Ibnu Batutah (1304–1369), sang petualang dunia.

Tiga tokoh tersebut terkait erat dengan Kota Fez yang kami kunjungi setelah turun dari pegunungan bersalju, Atlas Mountain. Kota Fez terkenal sebagai kota pendidikan dan spiritual.

Di sana terdapat universitas tertua di dunia, Al Qarawiyyin, yang didirikan pada 859 M, dan eksis sampai kini sebagai pusat pendidikan Islam, kedokteran, dan pengetahuan alam.

Universitas tersebut lebih tua bila dibandingkan dengan Al Azhar, Kairo (970 M), ataupun perguruan-perguruan tinggi di Barat seperti Universitas Bologna, Italia (1088 M), Universitas Paris (1096 M), atau Universitas Oxford (1096 M).

Kota Fez sangat legendaris. Penyebabnya adalah, selalu menjadi ibu kota Maroko di setiap pergantian dinasti kekuasaan, sebelum akhirnya dipindah ke Rabat. Ibnul Arabi adalah salah seorang tokoh penting yang makamnya sempat kami kunjungi.

Dia menjadi salah seorang imam dalam mazhab Maliki yang dianut sebagian besar rakyat Maroko. Salah satu karyanya yang populer di Indonesia adalah kitab tafsir Ahkamul Qur’an.

Sebagian muslim Indonesia merancukan Abu Bakar Ibnul Arabi yang pakar tafsir itu dengan Muhyidin Ibnu Arabi yang tokoh sufi dengan salah satu karyanya Al Futuhat Al Makiyyah.

Memasuki Kota Fez, kami merasakan suasana yang berbeda dengan Marrakesh. Sama-sama kota tua, Fez terasa lebih spiritual daripada Marrakesh yang tradisional.

Di tengah kota berdiri masjid Al Qarawiyyin yang megah, menjadi pusat pendidikan bergengsi sejak zaman keemasan Islam pada abad pertengahan. Tak jauh dari situ terdapat makam Ibnul Arabi yang sederhana. Kami sempat mengunjungi dan mendoakannya.

Salah satu ikon menarik Kota Fez adalah Labyrinth City. Yakni, kota lama yang berpenduduk sangat padat. Kota seluas sekitar 2 km persegi itu berpenduduk sekitar 150 ribu jiwa dan memiliki 9.000 jalan.

Bangunan rumahnya tinggi berdesak-desakan, dengan gang sempit yang hanya cukup untuk jalan bersimpangan satu orang. Sebuah kota yang benar-benar bebas mobil karena jalannya yang begitu sempit.

Dampaknya, jalanan sempit tersebut seperti membentuk labirin yang membingungkan dan menyesatkan pengunjung di perkampungan yang sangat padat. Korbannya sudah sangat banyak. Termasuk rombongan kami.

Anak saya dan anak Pak Wahyu Kuswanda, salah seorang jamaah dari Surabaya, sempat tersesat selama lebih dari satu jam, terpisah dari rombongan. Itu membuat kami berkeringat dingin.

Sebab, jangankan anak-anak muda, orang tua saja merasa “pusing” dengan jalanan sempit yang banyak cabang, berputar-putar dan sangat mirip satu sama lain.

“Ini masih tidak seberapa, sebulan lalu tamu kami tersesat selama 3 jam,” tutur Ahmed Fouad, pemandu kami, yang mengaku telah menelepon polisi. Akhirnya, kedua anak kami ditemukan warga dengan cara membayar “jasa pencarian” kepada mereka.

Keduanya pun kelihatan pucat menceritakan betapa paniknya tersesat di dalam labirin jalan Kota Fez. Selepas dari Fez, kami melanjutkan perjalanan menuju Kota Tangier di tepi Samudra Atlantik. Sebuah kota cantik tempat Ibnu Batutah dilahirkan dan makamkan. Berjarak sekitar 300 km di utara Fez.

Dialah sang petualang hebat pada abad ke-14 yang mengarungi 44 negara dengan jarak sekitar 120.000 km, selama 30 tahun. Namanya diabadikan sebagai nama bandara di Tangier. Bahkan, Organisasi Astronom Prancis (IAU) mengabadikan menjadi nama kawah di bulan.

Kehebatan Ibnu Batutah diakui melebihi petualang terkenal lain seperti Marco Polo (1254–1324) yang menghabiskan waktu 24 tahun untuk menjelajah “jalur sutra” di negara-negara Asia dan Christopher Columbus (1451–1506) yang bertualang selama 6 tahun dalam 4 kali pelayaran ke Benua Amerika.

Keturunan Barbar muslim yang makamnya sangat sederhana di lingkungan kota lama pinggir Samudra Atlantik itu terekam sejarah melanglang buana ke berbagai benua.

Dari kota kelahirannya, dia menyusuri Benua Afrika bagian utara: Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir, Palestina, hingga Syria, Iraq, Iran, Jazirah Arab, dan Kenya di pantai timur Afrika.

Kemudian, dia berbalik arah ke utara menyusuri kawasan Turki, sebagian Eropa, memasuki jalur sutra di Asia Barat, sampai ke India, daratan Tiongkok, bahkan mencapai Indonesia.

Makam Ibnu Batutah berada di kawasan permukiman yang sangat padat. Untuk sampai ke makamnya yang terkesan kurang terawat itu, pengunjung harus melewati gang-gang sempit dengan jalanan yang menanjak dan beceknya pasar tradisional.

Di sebuah bangunan kecil berkubah mirip musala di Indonesia itulah sang petualang dunia dimakamkan. Kami yang tak bisa memasuki ruang dalamnya harus puas berfoto di halaman depannya, tempat prasasti yang menjadi satu-satunya penanda sejarah kehebatan Ibnu Batutah semasa hidupnya.

Tak jauh dari situ ada situs legendaris lain yang diceritakan dalam kitab suci Alquran, yakni tempat bertemunya dua lautan yang airnya tak bercampur. Fenomena itu bisa diamati dari kawasan Cap Spartel.

Dari ketinggian bukitnya, kami melihat lautan dua warna yang memesona: biru tua dan biru kehijauan. Itulah pertemuan Laut Atlantik dan Laut Mediterania.

Persis seperti yang diceritakan dalam surat Ar Rahman: 19–20. “Dia mengalirkan dua lautan (dan) mempertemukannya. Di antara keduanya ada pembatas yang (menjadikan) tidak bercampur (karenanya).”

Air Laut Mediterania memiliki kadar garam yang lebih tinggi daripada Laut Atlantik. Perbedaan salinitas, suhu, dan berat jenis itulah yang menyebabkan munculnya tegangan permukaan di antara keduanya sehingga airnya tidak bercampur.

Kemudian, menjadi sebuah pemandangan indah di selat Gibraltar yang memisahkan Benua Afrika dan Benua Eropa. Fenomena alam yang sangat memesona. Kami pun merasa puas lima hari mengunjungi Maroko yang elok. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Melihat Daya Tarik Kelenteng See Hin Kiong

Golkar Hilangkan Kubu-kubuan