in

Elegi Petani

Kehidupan petani hampir sama dengan nelayan. Akrab dengan kemiskinan. Sekeras apa pun bekerja, jarang ada yang bisa kaya. Beda dengan pegawai negeri yang tiap bulan terima gaji. Duduk-duduk saja pun tetap gajian.

Ada pun petani, dewasa ini dihadapkan beragam persoalan. Mulai menyempitnya lahan karena tergerus pembangunan, irigasi tak pasti, mahalnya harga pupuk hingga serangan hama yang kerap menyebabkan gagal panen.

Tak jarang petani bukannya untung malah buntung. Meski merugi, petani tetap menggarap lahan dan menebar harapan. Jarang yang membiarkan lahan pertanian telantar begitu lama. Kalau pun terlihat areal persawahan yang dibiarkan lebih dari sebulan, itu karena ketiadaan irigasi atau tak punya modal untuk menyemai benih. 

Kadang sengaja dibiarkan agar jerami lapuk dan jadi pupuk. Jadi jarang ada sawah produktif yang telantar. Jika pun pemilik lahan tak bisa menggarap sendiri sawahnya maka dierahkan ke orang lain. Biasanya disuruh garap pada petani yang tak punya lahan sendiri. Sistemnya bagi hasil, 70:30. Pemilik lahan dapat 70 persen, penggarap 30 persen. Semua modal ditanggung penggarap. Sistem ini sudah berlaku turun temurun di Kota Padang dan di daerah lain di Sumbar.

Tak heran, terbitnya Surat Edaran (SE) Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi 6 Maret 2017, kontan menuai polemik di tengah masyarakat dan viral di dunia maya.

Poin menuai kontroversi adalah; “petani harus menanami lahannya 15 hari setelah panen. Jika dalam 30 hari setelah panen tidak digarap petani, maka diusahakan pengelolaannya diambilalih Koramil bekerja sama dengan UPT Pertanian Kecamatan setempat”. 

Poin kedua berbunyi; “lahan yang diambil alih pengelolaannya diatur dengan kesepakatan para pihak terkait (petani dan pengelola) dengan ketentuan seluruh biaya usaha tani ditanggung pengelola. Setelah panen, biaya dikembalikan ke pengelola. Hasil panen dibagi antara petani dan pengelola yakni 20 persen untuk petani dan 80 persen untuk pengelola. Kerja sama pengelolaan antara Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan diatur lebih lanjut dengan kerja sama tersendiri.

Setelah menuai kontroversi, Gubernur menerbitkan SE baru. Isi SE kedua ini berubah jadi; “terkait menggerakkan seluruh instansi terkait termasuk jajaran TNI AD untuk mengajak petani melakukan penanaman padi pada lahan yang tidak termanfaatkan. Petani dapat mengusulkan kepada pihak ketiga yakni Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan. Pengelolaan sesuai kesepakatan petani dan pengelola sesuai aturan perundang-undangan.

Terlepas dari SE Gubernur pertama dan kedua, jika dicermati masalah petani di lapangan memang bukan karena tak mau atau tak mampu menggarap sawah hingga membiarkan telantar begitu saja. Sejatinya, tanpa diperintah pun petani sudah pasti ingin menggenjot hasil panen. Hasil yang melimpah harapan semua petani.

Menurunnya hasil panen bukan karena petani malas. Tapi lebih karena ketidakberdayaan mengatasi persoalan yang ada. Irigasi contohnya. Terabaikannya perbaikan sarana irigasi yang rusak dilanda bencana membuat petani merana. Di Nagari Pangian Kecamatan Lintaubuo Kabupaten Tanahdatar contohnya.

Sudah hampir dua tahun petani tak bisa menggarap sawah karena tak ada air irigasi. Bendungan yang jebol karena bencana alam sampai kini belum diperbaiki. Petani dan masyarakat sudah berjuang ke sana kemari namun belum juga ada solusi.

Musim panen lalu di Padang dan beberapa daerah di Sumbar gagal panen alias puso. Tanaman padi petani diserang hama. Pemerintah membuat kebijakan mengganti kerugian petani, tapi ada syaratnya. Tidak semua yang gagal panen dapat bantuan. Wajar saja, lahan dibiarkan beberapa waktu bertujuan mematikan hama. 

Petani tak tahu pasti apa penyebab pasti hama berkembang dan kebal racun pembasmi. Mahalnya harga pupuk, terbatasnya pupuk bersubsidi dan indikasi pupuk diselewengkan ibarat lagu lama yang didendangkan berulang-ulang.

Era Presiden SBY pernah ada bantuan bibit padi dan pupuk gratis. Petani bisa tersenyum karena hanya memikirkan biaya menggarap sawah. Tapi setelah itu tak terdengar lagi. Nah, daripada sawah petani dikelola pemerintah bersama TNI, alangkah baiknya bantuan yang diberikan.

Pemerintah lewat penyuluh pertanian lapangan (PPL) tinggal mengintensifkan turun ke lapangan melihat dan mendengar keluhan petani dan mencarikan solusinya.

Bertani bukan hanya menanam bibit, memupuk dan memanen. Ada kearifan lokal dan budaya masyarakat di tiap daerah dalam bercocok tanam. Tanaman padi senantiasa dijaga, mulai ketersediaan dan kelancaraan air irigasi awal ditanam hingga menjaga dari serangan unggas ketika padi mulai berisi sampai panen.    

Ada juga nuansa gotong royong saat menanam dan memanen padi untuk menjalin silaturahmi sesama petani. Bila tentara yang mengambil alih kerja petani, akankah harmonisasi ini akan tetap terjaga? (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Ribuan Peserta Ikuti Sepeda dan Jalan Santai

111 Pulau Terluar Ditetapkan