in

Elite Parpol Mulai Menyerang

Saksi E-KTP Mencari Perlindungan

Serangan balik dari elite partai politik (parpol) mulai muncul pascapembacaan surat dakwaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Salah satunya datang dari mantan Ketua DPR Marzuki Alie. Dia merespons dengan melaporkan Andi Agustinus alias Andi Narogong ke Bareskrim atas penyebutan nama dirinya di dakwaan e-KTP. 

“Saya melaporkannya atas dugaan fitnah dan pelanggaran undang-undang ITE, sebab ini muncul di dunia maya,” jelasnya ditemui di depan gedung Bareskrim, kemarin (10/9). Di surat dakwaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Marzuki diduga mendapat keuntungan sebesar Rp 20 miliar dari e-KTP. Uang itu disinyalir untuk memuluskan pembahasan anggaran proyek itu di DPR 2010 lalu. 

Marzuki mengatakan, dalam dakwaan tersebut Andi Narogong akan membagikan uang Rp 520 miliar ke sejumlah pihak, salah satunya adalah dirinya. 
Masalahnya, itu pada kata “akan” yang menunjukkan kejadian belum terjadi. “Yang akan dibagikan, yang akan, jadi belum dibagikan,” paparnya.

Yang pasti, Marzuki mengaku sama sekali tidak mengenal Andi Narogong. Bahkan, tidak pernah bertemu dengannya. “Saya tidak pernah bicara apapun soal e-KTP, saya tidak pernah main proyek-proyek dengan siapapun. Silakan kroscek ke semua pejabat, pernahkan saya saat menjadi ketua DPR meminta alokasi anggaran, mengawal proyek dan sebagainya?” tegasnya.

Walau begitu, Marzuki mengaku siap bila akan dipanggil sebagai saksi. Kendati dia memahami penyebutan dirinya dalam dakwaan itu hanya keterangan kosong. “Tidak ada peristiwa apapun. Kalau ada peristiwa itu, ya seperti pertemuan, telepon dan sebagainya,” ujarnya.

Dia menegaskan, untuk KPK dan Andi agar bisa membuktikan semua tuduhan yang tertuang dalam dakwaan tersebut. “Kita minta KPK untuk buktikan, Andi juga buktikan. Ini tantangan untuk Andi,” ujarnya.

Dengan penyebutan dalam dakwaan itu, dia mengaku bahwa seharusnya KPK bekerja secara profesional. Sesuatu yang belum dikonfirmasi, belum dilihat aliran uangnya tentu seharusnya jangan dulu menyebut nama seseorang. “Kalau tidak terklarifikasi benar, jangan sebut. Saya ini punya keluarga, punya sahabat, punya anak-anak didik. Ini menghina saya secara pribadi,” tegasnya.

Mantan anggota Komisi II DPR Khatibul Umam Wiranu juga membantah bahwa dia disebut menerima USD 400 ribu di proyek pengadaan e-KTP. Umam menyatakan, justru dia salah satu anggota Komisi II yang menolak besaran anggaran e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun “Saya setuju dengan pentingnya Single Identity Number (NIK tunggal), namun saya tidak mau menandatangani persetujuan Komisi II,” kata Khatibul.

Menurut Khatibul, dia tahun 2012 dipindah dari Komisi II ke Komisi III. Lalu, pada akhir tahun 2013 kembali di Komisi II sebagai Wakil Ketua. Saat kembali, proyek e KTP sudah selesai.

 “Saya sungguh kaget dengan munculnya nama saya dalam dakwaan kasus e-KTP. Marwah martabat saya, keluarga, teman dirusak. Jahat banget yang membuat skenario dan cerita dana 400 ribu dolar itu,” kata politikus Partai Demokrat itu.

Menurut Khatibul, dia sedang mencari tahu siapa yang mencatut namanya untuk disangkutpautkan dengan suap e-KTP. Dia meyakini ada pihak tertentu yang menggunakan namanya untuk kepentingannya.  “Saya sudah jelaskan kepada penyidik kenapa menolak tanda tangan, sebab ada yang janggal pada harga-harga di beberapa titik,” kata Khafidul.

Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto telah memberikan bantahan tidak menerima sejumlah uang dalam pengadaan e-KTP. Namun, tak seperti Marzuki Alie yang lapor ke Bareskrim, Novanto belum mengambil keputusan apakah akan mengajukan gugatan balik melalui kepolisian.  “Ya, saya serahkan semua ke proses hukum. Kita lihat saja nanti,” kata Novanto di kantor DPP Partai Golkar.

Novanto menyatakan, dia ingin mengikuti proses persidangan e-KTP. Jika pada saatnya nanti, pengadilan ingin meminta keterangan dirinya, Novanto mengaku siap untuk menjelaskan.  “Pada saatnya nanti, apabila diminta saya siap hadir,” ujarnya. 

Serangan balik elite parpol itu membuat para saksi megakorupsi e-KTP mencari perlindungan. Para saksi yang bekerja di salah satu perusahaan penyedia barang/jasa (rekanan) e-KTP, misalnya. Mereka khawatir bila kesaksian yang akan diungkapkan dalam persidangan berdampak pada karir pekerjaan dan keselamatan pribadi, serta keluarga. 

“Takut kalau di mutasi atau di pecat,” kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Lili Pintauli Siregar kepada koran ini, kemarin. Sebagai catatan, di surat dakwaan korupsi e-KTP juga menyeret sejumlah korporasi. Uang haram miliaran rupiah disebut-sebut mengalir ke perusahaan-perusahaan rekanan itu. 

Lili mengatakan, pada 2013 lalu pihaknya juga mendampingi seorang pimpinan perusahaan rekanan e-KTP yang berniat mengungkap korupsi berjamaah dalam proyek pengadaan tahun anggaran (TA) 2011-2013 tersebut. Pihaknya pun memberikan perlindungan kepada pihak perusahaan meski tidak secara resmi. “Dulu perusahaan itu sangat tahu persis (korupsi e-KTP),” jelasnya.

LPSK mengimbau para saksi e-KTP segera mengajukan permohonan perlindungan. Sebab, langkah itu penting untuk melindungi hak saksi dari serangan para aktor politik atau pihak-pihak lain yang merasa dirugikan dengan pengusutan kasus dengan kerugian keuangan negara Rp 2,3 triliun itu. “Saksi tidak bisa digugat secara pidana atau pun perdata,” terangnya. 

Terkait serangan elite partai politik (parpol) yang melaporkan kesaksian e-KTP, Lili berharap penegak hukum jeli. Laporan itu mesti melihat ketentuan dan hak para saksi saat memberikan keterangan suatu kasus. “Tidak serta merta langsung ditindaklanjuti,” ungkapnya. Lili pun berharap para saksi tetap konsisten memberikan keterangan pada sidang lanjutan e-KTP pada Kamis (16/3). 

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Mewaspadai Serangan Balik Koruptor

Mega Jahat dan Sesat