in

Fitnah

Kepolisian mengirimkan surat panggilan kepada anggota Komisi Pendididikan dan Olahraga, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio. Anggota DPR yang dikenal sebagai pelawak itu akan diinterview terkait komentarnya di media daring. Dalam tulisan itu, Eko menyatakan sejumlah kasus bom yang muncul itu sebagai pengalihan isu kasus Ahok. Oleh pelapornya, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPW PAN) Jakarta itu dinilai melanggar pidana penghinaan dalam KUHP dan juga Undang-Undang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE).  

Awalnya kabar itu muncul dari media satelitnews 3 hari lalu. Pasca ramainya polemik itu, tautan tulisan itu menghilang. Dari penelusuran melalui Google cache,  tulisan yang hilang –entah karena apa– diubah nama sumbernya tak lagi Eko Patrio tapi menjadi Baidhowi. Itu sebab fraksi PAN di DPR meradang. Saat sidang Paripurna FPAN memprotes tindakan kepolisian memanggil anggotanya itu. FPAN mengklaim anggotanya tak pernah mengucapkan komentar tersebut.

Begitulah kabar yang telanjur menyebar dan mengundang polemik. Tanpa melihat medianya, tanpa memastikan kebenaran informasinya, membaca judul yang heboh orang lantas menyebarkannya. Tautan semacam itu lantas mendadak viral dan bisa berbuah laporan ke polisi. Siapa yang mesti dijerat? Media, nara sumber, nama yang disebut, atau orang yang ringan jari membagi tautan itu?

Di era ketika fitnah meruyak dan bisa setiap detik muncul di layar telepon genggam atau komputer,  setiap pemilik akun media sosial mesti bijak menyikapi, apalagi membagikan kabar.  Satu sentuhan jari membagikan kiriman itu, mengandung konsekuensi terali besi. Suka tidak suka,  aturan di KUHP atau UU ITE memungkinkan itu terjadi. 

What do you think?

Written by virgo

PT KAI Palembang siapkan angkutan Natal

Underwater Maumere Dipamerkan di Konokuniya Plaza Senayan