in

Harus Ada Oposisi agar Pemerintahan Berjalan Efektif

Peneliti Bidang Politik LIPI, Aisah Putri Budiatri, soal Pro-Kontra Koalisi Pemerintahan

Joko Widodo (Jokowi) dan KH Ma’ruf Amin resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Presiden-Wakil Presiden RI terpilih periode 2019–2024.

Sebagai pemenang Pilpres 2019, Pasangan calon (paslon) nomor urut 01 tersebut mempunyai tantangan besar dalam periode pemerintahan lima tahun ke depan. Langkah pertama yang mereka lakukan untuk merealisa­sikan janji-janji politik pada masa kampanye adalah pembentukan kabinet.

Kendati demikian, saat ini tengah muncul isu kabinet rekonsiliasi yang dimaknai dengan bergabungnya par­tai lawan ke dalam koalisi pemerintahan, dengan kata lain “kabinet jatah kursi”. Hal tersebut tentu menuai polemik di masyarakat, karena koalisi Jokowi-Ma’ruf di parlemen saat ini sudah cukup gemuk, yaitu menguasai 60 persen kursi Senayan. Di samping itu, oposisi juga dibutuhkan dalam sistem demokrasi sebagai check and balance terhadap roda pemerintahan.

Untuk mengupas hal tersebut lebih lanjut, Koran Jakarta mewawancarai Peneliti bidang Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri, di Jakarta, Senin (1/7). Berikut hasil pembahasannya.

Pendapat Anda mengenai wa­cana kabinet rekonsiliasi?

Saya sendiri tidak setuju dengan koalisi rekonsiliasi dalam artian bagi-bagi kursi menteri dalam pemerintahan. Rekonsiliasi kubu yang berkompetisi di dalam pemilu tentu penting dan diperlukan untuk mere­dam keributan akibat adanya pembe­lahan pendukung di dalam masyara­kat. Namun, tidak berarti bahwa elite politik harus juga membentuk koalisi sebagai wujud dari rekonsiliasi ini.

Apa untung ruginya koalisi rekonsiliasi?

Tergantung konteksnya. Ketika ada banyak partai yang bergabung dalam koalisi, Pak Jokowi memiliki banyak partai pendukung di parlemen, maka akan menguatkan sistem presidensial itu sendiri. Pemerintah akan lebih mudah mengambil kebijakan politik karena berkurangnya proses lobi-lobi politik di parlemen. Namun, di luar dari efektivitas tersebut, parlemen juga membutuhkan kelompok partai untuk mengawasi kinerja pemerintahan, apakah sesuai dengan keinginan rakyat dan berdasarkan konstitusi. Sifat kritik yang ada di parlemen tidak terbentuk jika semua partai berbondong-bon­dong bergabung ke pemerintahan.

Berarti, ini berkaitan dengan pernyataan dari beberapa elite politik Koalisi Jokowi-Ma’ruf yang terkesan tidak setuju dengan kabi­net rekonsiliasi?

Ini problem yang memang terjadi di Indonesia, di mana ideologi partai tidak jelas, karena pragmatisme masih menjadi landasan politik bagi partai-partai di Indonesia. Menurut saya, wajar jika para elite politik Koal­isi Jokowi-Ma’ruf cenderung menolak wacana tersebut, karena mereka dari awal sudah membentuk fondasi poli­tik koalisi dan menyiapkan visi misi pemerintahan lima tahun ke depan. Dengan bergabungnya partai baru, rentan untuk terganggu fondasi yang sudah dibangun tersebut.

Lalu, cara lain untuk rekonsiliasi selain jatah kursi di kabinet?

Saat ini, banyak yang memaknai rekonsiliasi dengan kubu Prabowo bergabung dengan kubu Jokowi di pemerintahan. Menurut saya, itu pemikiran yang dangkal, kelihatan sekali elite politik tersebut pragmatis. Padahal, yang kita tahu konflik terjadi lebih banyak di kalangan pendukung. Menurut saya, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan dilakukannya rekonsiliasi, misalnya dengan pertemuan informal antar elite terutama Prabowo dan Jokowi.

Terakhir, bagaimana oposisi yang efektif dalam roda pemerin­tahan?

Menurut saya, komposisi saat ini di parlemen 60–40 persen sudah cukup seimbang antara pemerintah dan oposisi. Kalau kita mau lihat check and balances yang baik dalam pemerintahan, justru seharusnya ada oposisi yang menjadi penyeimbang dan pengawas dalam setiap kebi­jakan-kebijakan yang dibuat pemerintah. trisno juliantoro/AR-3

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dodi Hadiri Tasyakuran Pernikahan Bupati Banyuasin

Inovasi Luar Biasa Dari BNI di Usia Ke-73