in

Indonesia di Ambang Krisis Petani

Sepuluh Tahun, Rumah Tangga Petani Susut 5,1 Juta

Hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) soal petani nasional cukup mengkhawatirkan. Sebab, kesimpulannya Indonesia diambang krisis petani. Kondisi ini sangat memilukan, karena Indonesia sebagai negara agraris.

Hasil survei itu disampaikan peneliti kependudukan LIPI Vanda Ningrum di Jakarta, kemarin (19/9). Dia menuturkan sebagian besar petani berusia di atas 45 tahun. “Bahkan rata-rata usia petani di Jawa Tengah 52 tahun. Kemudian, hanya tiga persen anak petani yang melanjutkan kiprah orangtuanya sebagai petani,” jelasnya. 

Hasil Sensus Pertanian 2013 menyebutkan, mayoritas petani ada di kelompok usia 45 – 54 tahun yakni mencapai 7.325.714 jiwa. 
Menurut Vanda, kondisi tersebut tidak bisa dibiarkan. Pemerintah harus mencari solusi berupa kebijakan yang bisa merangsang terjadinya regenerasi petani. Sehingga, ancaman krisis petani di Indonesia tidak sampai terjadi. 

Menurut dia, salah satu penyebab turunnya minat generasi muda menjadi petani adalah urbanisasi. Padahal setelah di kota, belum tentu terserap lapangan kerja dan malah jadi pengangguran.

Salah satu usulan kebijakan yang ditawarkan adalah mendorong pemuda-pemuda yang merantau ke kota untuk kembali ke desa mengembangkan pertanian. Supaya bisa menarik pemuda kembali ke desa, adalah kebijakan memudahkan akses pemuda untuk mengelola sawah garapan. Kemudian pemerintah membantu jaminan pasar bagi petani pemuda untuk menjual hasil pertaniannya.

“Pendidikan dan pendampingan soal varietas unggul juga diperlukan,” tuturnya. Selain itu, pemberian insentif-insentif bagi para pemuda yang berani menjadi petani di desa, harus disiapkan oleh pemerintah. Sejumlah kebijakan itu muaranya harus menciptakan iklim yang mampu menarik pemuda menjadi petani.

Sementara itu dalam catatan Kementerian Pertanian (Kementan), dalam kurun sepuluh tahun (2003-3013) terjadi penurunan 5,1 juta Rumah Tangga Petani (RTP) atau setara 21 juta jiwa petani. Menurut Sensus Pertanian BPS tahun 2003, RTP yang semula berjumlah 31,23 juta. Kemudian pada sensus serupa di 2013 jadi 26,13 juta RTP. Dalam prosentase, turun 16,3 persen selama sepuluh tahun.

Meski demikian, Kementerian pertanian (Kementan) tidak khawatir soal ini. Plt Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan, Suwandi menyebut, memang ada pergeseran struktur ekonomi di indonesia dari semula negara agraris menuju negara industri dan jasa.

Sektor ini, kata Suwandi terus berkembang dan memberikan kontribusi yang besar kemudian secara perlahan juga akan menggeser dominasi pertanian. “Pergeseran ini wajar dan terjadi di negara maju yang dulunya juga merupakan negara agraris.” katanya.

Akibatnya, ada pergeseran juga dari dominasi sebaran tenaga kerja yang selama ini di hulu (bertani) menjadi di hilir (industri dan pengolahan) yang memiliki nilai keuntungan lebih tinggi. Tapi efek ini tidak melulu buruk untuk petani.

Semakin sedikit petani, semakin luas lahan yang bisa dikelola per individunya. Kementan mengasumsikan, bahwa dengan tren ini, petani yang tersisa akan semakin sejahtera. “Urusan garapan lahan, sebagian bisa digantikan oleh alat dan mesin pertanian (alsintan) jadi bisa lebih efisien,” kata Suwandi.

Kementan sendiri menyediakan 80.000-100.000 unit alat mesin pertanian setiap tahunnya. Meliputi traktor, pompa air, penanam padi otomatis, combine harvester (mesin pemanen) dan  penggiling (rice milling). ”Dengan mekanisasi ini, bisa menekan biaya hingga 40 persen, waktu juga tenaga,” katanya.

Berkembangnya sektor industri dan jasa, kata Suwandi juga tidak berarti membuat pertanian ditinggalkan. Dalam kondisi tertentu, sektor pertanian menjadi tumpuan ketika terjadi masalah di sektor ekonomi lain. “Ingat krisis 1998? Pertanian tetap tumbuh dengan menyerap banyak sekali tenaga kerja,” katanya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

ISTA 2017 Tetapkan 17 Peraih Penghargaan

Jokowi Hadiri Lovely Toraja, Kalla Datang ke Even Takabonerate.