in

Kerawanan Pilkada 2018

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pilkada Serentak 2018 pada akhir November lalu. IKP merupakan hasil penelitian Bawaslu sebagai bentuk deteksi dini terhadap potensi pelanggaran yang bisa mengancam proses pemilihan yang demokratis.

Indeks yang rutin dirilis Bawaslu secara berkelanjutan sejak Pemilu Legislatif 2014 ini menjadi dasar pengawasan internal Bawaslu dan jajarannya dengan memfokuskan pada tindakan pencegahan pelanggaran. Dalam sambutannya pada rilisan IKP Pilkada 2018 ini, Ketua Bawaslu RI, Abhan, menyebutkan bahwa IKP Pilkada 2018 bermanfaat untuk memudahkan Bawaslu menyusun strategi pengawasan berdasarkan pemetaan terhadap berbagai potensi pelanggaran dan kerawanan menjelang Pilkada 2018.

Indeks ini juga bisa digunakan oleh pemangku kepentingan lain seperti KPU sebagai penyelenggara teknis pemilihan dalam menyusun strategi antisipasi pelanggaran, juga pihak kepolisian dalam menjaga keamanan selama proses penyelenggaaan Pilkada Serentak 2018.

Sebanyak 171 daerah yang melaksanakan Pilkada Serentak 2018 yang terdiri dari 17 provinsi dan 154 kabupaten/kota setelah dikaji dengan serangkaian riset, dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu daerah dengan kerawanan rendah (rentang skor 0-1,99), kerawanan sedang (rentang skor 2,00-2,99) dan kerawanan tinggi (rentang skor 3,00-5,00). Dengan menggunakan 10 variabel dan 30 indikator, Bawaslu mengoperasionalisasikan kategori kerawanan tersebut berdasarkan tiga dimensi dalam pemilihan yaitu partisipasi (bobot 35%), kontestasi (bobot 35%) dan penyelenggaraan (bobot 30%). 

Dari daftar indeks tersebut, empat daerah di Sumatera Barat yang melaksanakan Pilkada Serentak 2018 berada di kategori daerah kerawanan sedang untuk Kota Padang, dan daerah lainnya masuk kategori daerah kerawanan rendah (Kota Padangpanjang, Pariaman dan Sawahlunto). Secara nasional empat daerah tersebut berada pada peringkat 56 untuk Kota Padang dengan indeks kerawanan 2,04, Kota Padangpanjang ada di peringkat 69 dengan indeks 1,96, Kota Pariaman di peringkat 72 dengan indeks 1,93, dan terakhir peringkat 93 untuk Kota Sawahlunto dengan indeks kerawanan 1,82. 

Yang menarik adalah, dari ketiga dimensi yang disebutkan di atas, kerawanan paling tinggi dari keempat daerah adalah dimensi partisipasi, dimana fokusnya adalah penggunaan hak pilih, pengaruh tokoh masyarakat dan pengawasan partisipatif masyarakat. Partisipasi memilih di pilkada terakhir yang dilaksanakan di empat daerah tersebut yaitu Pilgub Sumbar 2015 memang tergolong rendah, yaitu berkisar pada angka 46%-53%. Selain itu, tidak satupun lembaga pemantau tercatat pernah mengawal proses pemilu dan pemilihan di seluruh daerah tersebut.

Kondisi ini semakin kompleks dengan minimnya (bahkan nyaris tidak ada) laporan pelanggaran dari masyarakat kepada pengawas. Karena itu, tak heran jika dalam IKP Pilkada 2018 ini, keempat daerah mendapat poin kerawanan paling tinggi pada dimensi partisipasi. Padahal partisipasi dalam demokrasi prosedural berperan penting, baik itu partisipasi memilih maupun partisipasi dalam melakukan kontrol penyelenggaraan tahapan pilkada.

Ini perlu mendapat perhatian lebih dan antisipasi dini, tidak hanya dari KPU sebagai penyelenggara teknis pilkada, tetapi juga dari seluruh stakeholder terkait, dan bahkan dari masyarakat luas. Partisipasi memilih menjadi indikator penting bagi sebuah pemilu bisa dikatakan berkualitas. Pun kuatnya legitimasi calon yang memenangkan pilkada dalam menjalankan roda pemerintahan, mulai ditentukan dari angka partisipasi. Demikian juga halnya dengan pengawasan.

Penyelenggara pemilu berpeluang melanggar aturan karena penyalahgunaan kewenangan atau karena ketidakprofesionalan bahkan karena kelalaian. Peserta pemilu juga sangat berpeluang melanggar aturan demi meraih kekuasaan, apalagi jika masih mempunyai anggapan bahwa untuk memenangkan kontestasi harus menggunakan segala cara.

Masyarakatlah sebagai unsur paling ideal dalam pengawasan. Karena sejatinya, pemilu dan pemilihan adalah proses penyerahan kedaulatan yang dimiliki pemilih kepada orang yang dipilih. Publik bisa menciptakan sebuah pemilihan yang kredibel dengan keterlibatan aktif mengawal proses pemilihan tersebut. Bahkan saking pentingnya pengawasan publik ini, bisa dikatakan pelanggaran pemilu yang terjadi adalah bentuk kegagalan pemilih dalam berkoordinasi untuk memecahkan masalah-masalah aksi demokratis kolektif (Birch, 2011).

Jika telah disadari bahwa partisipasi memilih bukan hanya tanggung jawab KPU dan jajarannya saja, demikian pula pengawasan pemilihan, bukan kewajiban Bawaslu dan jajarannya saja, maka diperlukanlah kesadaran kolektif. Seluruh stakeholder terkait dan segenap lapisan masyarakat harus menyadari bahwa pemilu adalah urusan bersama dan bukan hanya perang kepentingan penguasa semata karena ada hak-hak rakyat di dalamnya. Banyak literatur menyebutkan bahwa semakin banyak pihak non-partisan yang mengawasi sebuah proses pemilihan maka semakin kecil peluang sebuah pelanggaran terjadi. 

Dirilisnya IKP Pilkada 2018 bisa menjadi acuan penyelenggara pemilu dan stakeholder terkait dalam melaksanakan pemilihan yang kredibel dan berintegritas. Jika penyelenggara pemilu bekerja profesional, pasangan calon dan pendukungnya menaati aturan main yang telah ditetapkan, stakeholder mengambil peran sesuai dengan fungsi lembaganya masing-masing ditambah keterlibatan aktif masyarakat, maka tentunya hal ini akan berkontribusi pada berkualitas proses dan hasil pemilihan. Semuanya akan bermuara pada terwujudnya pemerintahan daerah yang bermutu demi kesejahteraan rakyat. Jika kondisi ideal tersebut diupayakan perwujudannya pada Pilkada 2018 ini, maka ini akan memberi kontribusi kesuksesan Pemilu 2019 mendatang. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Bhabinkamtibmas Edukasi Pengamen Jalanan

Jalan Mulus Hadi jadi Panglima