in

KPK Berhak Tolak Beri Keterangan

Posisi Hak Angket Berpotensi Lemah

Hak angket yang digulirkan DPR untuk menyelidiki kasus E-KTP bakal menjadi blunder bagi Senayan. Dari sisi konstitusional, hak angket tersebut tidak memiliki kekuatan. Selain itu, penggunaan hak angket itu menyalahi ketentuan yang ada dalam UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

UU tersebut mengatur, hak angket baru bisa dilakukan bila ada pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang menyalahi ketentuan perundang-undangan.

UU atau kebijakan yang dimaksud adalah berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berimplikasi luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Prof Jimly Asshiddiqie menuturkan, memang akan ada benturan kewenangan konstitusional saat hak angket itu dilaksanakan. Di satu sisi, hak angket merupakan hak konstitusional DPR. di sisi lain, KPK punya kewenangan konstitusional berkaitan dengan proses hukum. 

Menurut Jimly, proses hukum merupakan bagian dari kekuasan kehakiman. “Sudah mutlak konstitusi mengatakan, kekuasaan kehakiman bersifat merdeka. Itu lebih tinggi dari kedaulatan rakyat,” terangnya saat dikonfirmasi kemarin. Itu berlaku di semua negara demokrasi, baik yang menganut sistem presidensial ataupun parelementer.

Karenanya, kedua hal tersebut tidak bisa dibenturkan. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menuturkan, silakan saja bila DPR hendak menggunakan hak angket. Menyelidiki apa yang dirasa salah. “Tapi, KPK punya kebebasan untuk memberi atau tidak memberi (keterangan), tergantung kriteria apakah masuk proses hukum atau bukan,” lanjutnya.

Senada dengan Jimly, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan bahwa hak angket DPR punya batasan. Batasan itu sudah diatur dalam UU MD3. Yakni, berkaitan dengan UU atau kebijakan yang berdampak pada kepentingan umum. “Ini kepentingan umumnya apa?” tanya dia.

Menurut Asep, akan lebih tepat bila DPR mendorong KPK mempercepat penuntasan kasus E-KTP. Bila hak angket itu dibenturkan dengan proses hukum, posisi angket justru akan menjadi lemah. “Instrumen ketatanegaraan berupa hak angket tidak bisa digunakan, bila substansinya sudah menyangkut penegakan hukum,” lanjutnya.

Karena itulah, KPK berhak untuk menolak memberikan keterangan kepada DPR, bila yang diminta sudah masuk ke dalam substansi penegakan hukum. Penolakan itu juga dilindungi oleh KUHAP, UU KPK, UU Keterbukaan Informasi Publik, hingga UU MD3. 

Bila KPK menuruti keinginan DPR, dampaknya akan berbahaya bagi penegakan hukum. Dalam jangka pendek, para calon tersangka yang mungkin berasal dari unsur DPR berpotensi tidak terungkap. “Ini jangan-jangan hanya bentuk solidaritas DPR kepada orang-orang yang disebut namanya itu,” ujar Asep. 

Sementara, dalam jangka panjang, bisa menimbulkan preseden buruk terhadap penegakan hukum. Bakal muncul anggapan bahwa hukum bisa diintervensi, dan kali ini yang dituding mengintervensi adalah DPR. Bagaimana pun, kasus E-KTP merupakan ranah hukum, bukan ranah politik.

Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja meminta komisi antirasuah tidak terpengaruh dengan manuver DPR. Hal itu untuk menjaga stigma publik bahwa KPK merupakan lembaga independen yang memiliki prinsip clean and clear. “Apapun (manuver DPR), kalau bisa jangan terpengaruh,” ujarnya saat dihubungi Jawa Pos (Grup Padang Ekspres), kemarin (29/4).

Adnan menilai keluarnya hak angket itu tidak lepas dari rangkaian serangan balik legislatif terhadap upaya KPK mengusut megakorupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Menurutnya, intervensi DPR ke KPK itu merupakan yang paling mencolok sepanjang sejarah pemberantasan korupsi di tanah air. “Biar masyararakat yang merespon (DPR),” tuturnya.

Lagipula, kata Adnan, sejumlah alasan hak angket DPR juga terkesan dicari-cari. Tentang indikasi kebocoran informasi yang diduga disebarkan oknum internal KPK, misalnya, belum cukup kuat jadi alasan DPR mengeluarkan hak angket. Sebab, kerugian dari kebocoran informasi itu belum cukup signifikan bagi kelembagaan KPK. “Harus dilihat dulu kerugiannya apa?,” katanya.

Soal salah satu poin alasan hak angket yang merujuk temuan Badan Pemeriksa Keuangan tentang Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan KPK tahun 2015, Adnan menilai hal itu juga seperti dibuat-buat. Temuan itu terjadi saat Adnan menjabat komisioner KPK. “Kenapa baru sekarang dipermasalahkan?,” imbuh komisioner KPK jilid 3 ini.

Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Boyamin Saiman menuturkan, sudah dapat dipastikan bahwa proses pengambilan persetujuan hak angket tentang KPK ilegal. Hal tersebut dikarenakan tidak melalui mekanisme voting dan tidak dilakukan penghitungan kehadiran fisik.

“Saat aklamasi tidak bisa ditempu, voting yang harus dilakukan. tapi, tanpa voting langsung ketok palu,” jelasnya.

Untuk tidak menghitung kehadiran fisik, lanjutnya, sesuai dengan undang-undang 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD disyaratkan pengambilan hak angket harus dihadiri minimal separo dari jumlah anggota DPR. “Saat itu penghitungan fisik tidak dilakukan, maka jelas sekali tidak sah,” terangnya.

Dengan prosesnya yang diduga kuat ilegal, maka tidak bisa dibentuk panitia hak angket. Karena itu pula, KPK tidak perlu untuk menggubris hak angket DPR tersebut. Panggilan untuk meminta keterangan pada KPK juga tidak bisa dilayangkan. “Ini hanya pepesan kosong untuk memenuhi ego politis,” paparnya.

Menurutnya, kejanggalan yang dilakukan DPR ini perlu untuk dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sehingga, pelanggaran yang patut diduga dilakukan Fahri Hamzah bisa disanksi. “Kita lihat bagaimana prilaku anggota DPR yang kian menginjak kehormatannya sendiri,” jelasnya.

Yang juga perlu untuk ditelisik, ada dugaan langkah DPR ini bisa menganggu kinerja dari KPK dalam memberantas korupsi. “Mengingat ada conflict of interest di mana ketua DPR menjadi saksi dalam salah satu kasus. Bahkan sudah dicekal,” ujarnya.

Terpisah, Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidlowi mengatakan, pihaknya sangat sedih dengan diputuskannya hak angket untuk KPK. “Itu bertentangan dengan hati nurani rakyat,” terang dia kemarin (29/4).

Sebab, kata dia, KPK merupakan satu-satunya lembaga yang menjadi harapan masyarakat dalam pemberantasan korupsi. Sebenarnya, rakyat sudah jenuh dan hampir putus asa, karena korupsi terjadi di semua lini.

Menurut dia, jika DPR ingin mengawasi komisi antirasuah tidak perlu dengan hak angket, karena masyarakat akan beranggapan bahwa dewan sedang berusaha melakukan intervensi dan serang balik terhadap KPK yang sekarang sedang mendalami kasus e-KTP. Sebab, tutur dia, banyak nama yang terseret kasus yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun.

Masduki mengatakan, hak angket merupakan cara DPR untuk menghambat KPK dalam menangani kasus e-KTP. “Semua orang pasti akan beranggapan seperti itu. Menurut dia, jika tidak semua fraksi sepakat dengan hak angket, maka mereka bisa menggalang dukungan untuk menolak dan membatalkan hak melakukan penyelidikan itu.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah  Abdul Mu’ti  mengatakan, langkah DPR yang mengusung hak angket akan menimbulkan polemik dan konflik yang panjang, baik di internal DPR maupun antara partai dan masyarakat.

Menurut dia, diketoknya hak angket merupakan symbol kemenangan kelompok yang selama ini kontra dan kritis terhadap KPK. “Fahri Hamzah adalah salah satu tokoh yang getol mengkritik KPK,” papar dia.

Selama ini, lanjut dia, belum ada hak angket terkait KPK yang sukses. Menurut dia, hak angket justru akan menguatkan dukungan masyarakat terhadap KPK dan melemahkan dukungan publik kepada DPR.

Walaupun demikian, ucapnya, KPK harus memperbaiki kinerja dan meningkatkan kepercayaan publik. “KPK harus mampu menepis kritik bahwa langkah-langkahnya bersifat politis,” katanya.

Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, KPK harus bersikap tegas dalam menyikapi hak angket. Komisi antirasuah tidak perlu mempedulikan hak penyelidikan yang dilakukan dewan. Sebab, kata dia, informasi yang diminta DPR merupakan data yang tidak boleh dibuka ke publik. “Itu rentan intervensi politik,” terangnya. 

Terpisah, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan hak angket merupakan fungi pengawasan dari legislatif pada eksekutif. Namun, apakah KPK bisa diletakkan sebagai eksekutif. “Dalam konteks kelembagaan untuk penganggaran dan administratif bisa,” ujarnya. 

Namun, terkait kinerjanya sebagai penegak hukum, dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan bahkan menghukum, tidak bisa ditempuh hak angket. Namun, hukum itu harus diawasi dengan hukum pula. 

“Kalau ada kesalahan dalam penetapan status tersangka bisa praperadilan, kalau tidak puas dengan vonis bisa banding, kasasi dan peninjauan kembali,” tuturnya.

Dia menuturkan, hak angket itu hanya untuk mengawasi presiden. Bahkan, bisa sampai menurunkan pemimpin negara tersebut. “Jelas hak angket bukan untuk penegak hukum,” terangnya.

Bila, hak angket dipaksakan pada KPK, jelas sekali rahasia umum bahwa anggota DPR sedang ketakutan dengan proses penyelidikan kasus e-KTP. “Maka, kasus e-KTP ini harus jalan walau langit runtuh,” terangnya.

Dengan begitu, maka upaya pelemahan terhadap KPK ini harus segera dihentikan. KPK harus dilindungi dalam bekerja mengungkap kasus korupsi. “Tidak bisa didiamkan,” jelasnya.

Menurutnya, DPR sudah mengambil jalan yang tidak masuk akal. Bahkan, terkesan sangat norak dilakukan anggota dewan. “Apa yang dilakukan anggota dewan yang terhormat sangat norak,” tuturnya. 

Lembaga negara lainnya, lanjutnya, seharusnya juga tidak bisa tinggal diam dengan kondisi tersebut. Bila, lembaga negara lain diam, tentunya ini merupakan preseden buruk terhadap pemberantasan korupsi. 

“Ini bisa menunjukkan lembaga negara posisinya dimana dalam pemberantasan korupsi. Maka, kalau tidak ada yang membela KPK, hanya rakyat yang akan bergerak,” paparnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Go Digital, Klungkung Luncurkan Aplikasi Destinasi Pariwisata

Bertemu WNI di Hong Kong, Presiden Jokowi Berpesan agar Tetap Ingat Pancasila