in

Lelaki Tangguh Pembenci Tanjakan

Tanjakan berbatu dengan tanah yang labil berair, membuat truck besar berkelir orange itu terengah-engah. Gigi semut yang dipasang sejak awal dakian, kehilangan kegarangan. Di tengah tanjakan mesin truk 220 PS itu mati. Sopir paruh baya berkaos putih ketat, menghela nafas. “Habislah gajiku pada trip ini,” katanya sembari menggaruk kepala.

Usianya sudah berkepala empat. Postur tubuhnya tinggi dan berkulit gelap. Sesekali, ia lebih mirip salah seorang bintang sinema Hindustan. Bulu brewok yang tumbuh lebat menjadikan penampilannya terlihat garang.

Namanya Nawi, berprofesi sebagai sopir truk sudah sejak muda. Tatkala drop out dari SMP dan merantau ke Medan (Sumatera Utara) ia langsung bersentuhan dengan dunia bengkel. Di sana pula ia belajar menyetir ragam jenis mobil di era 80-an akhir hingga 90-an. “Pakcik saya punya bengkel mobil. Tiap hari saya bertugas membantu di sana. Hingga akhirnya mampu menjadi montir. Bonusnya tentu bisa menyetir mobil,” kenang Nawi, Sabtu (20/5/2017).

Sejak saat itu ia pun telah menyetir ragam jenis mobil. Mulai dari minibus hingga truk besar. “Karena memang bakat badan, saya bisa cepat beradaptasi dengan semua jenis mesin. Pengetahuan tentang engine membuat saya lebih mudah mengasuh mobil. Mobil bukan sekedar plat besi, tapi juga patner kerja yang harus dipahami betul kebutuhannya,” kata ayah empat anak itu.

Ia bercerita panjang lebar sembari kami menelusuri jalan di tengah perkebunan sawit. “Kita akan mengangkut kerikil kasar dari sungai yang dekat Gunong Goh. Lokasinya di Gampong Bivak, Kecamatan Juli. Siapkan kamera, pemandangannya sangat indah,” katanya sembari menghembuskan asap rokok ke udara.

Apa yang ia katakan benar adanya, walau jalan yang kami tempuh sangat tidak nyaman, namun semakin merangsek, latar Gunong Goh mencuri perhatian. Sayang, kemolekan itu tidaklah sempurna, karena di sepanjang perjalanan, hingga jelang pinggir sungai, sudah dipenuhi oleh pepohonan sawit.

Tatkala sampai ke pinggir sungai, Nawi segera meminta sopir ekskavator untuk mengisi bak kosong dengan kerikil kasar. 15 menit kemudian, kami sudah kembali menapak jalan. “Jalannya dari awal hingga pertengahan adalah tanjakan,” katanya sembari menyetir mobil yang merangkak pelan di atas punggung jalan. Seperti kura-kura yang kelelahan, truck uzur itu menjerit histeris sembari mendaki.

Satu tanjakan ekstrim berhasil kami lalui dengan gilang gemilang. Kini di hadapan kami sudah terbentang tanjakan selanjutnya. Di pinggir jalan, satu truck besar sudah menyerah. Seorang lelaki tua yang kami panggil Abi, sedang berjongkok di depan roda belakang. As roda mobil itu patah. Tanjakan yang agak basah itu membuat mobil dan lelaki tua itu sebagai pihak yang kalah.

“Kasihan Abi itu. Habislah sudah harapan untuk hari ini,” kata Nawi dengan wajah sendu. Mungkin ia prihatin.

Kami pun mendaki. Truck meliuk-liuk pelan di atas jalan tanah berbatu yang masih sangat labil. Wajah Nawi terlihat serius. Ia menatap lekat dakian yang rapuh itu. Truck merangkak sembari meraung. Kami hanya harus menempuh 30 meter lagi untuk mencapai titik aman, jlep! Engine mobil mati.

Kini, saya harus menjadi kernet dadakan. Dengan tubuh tambun tentu bukan perkara mudah menjadi lincah dan cekatan. Nawi sempat tersenyum. Nawi memundurkan truck pelan-pelan. Ia berteriak “Dek, tolong pasangkan ganjalan ban belakang!”

Saya berlari menuruni bukit. Tak ada rasa lelah karena suasana lumayan darurat. Lelah baru terasa tatkala dua ganjal batu sudah saya pasang di ban belakang. Nafas saya naik turun. Nawi tertawa. “Muka kamu merah padam,” katanya sembari mengecek kondisi jalan.

Sejenak ia menatap truck. Kemudian melihat ke langit. Di atas bukit mendung sudah bergelayut. “Kita harus keluar dari sini sebelum hujan tiba,” katanya.

Ia pun kembali memundurkan truck menapak sisa turunan yang lumayan terjal. Kemudian ia membuang sebagian material yang diangkut. Setelah itu, ia mengecek kembali.” Sial, kebanyakan yang terbuang,” gerutunya.

Ia kembali menatap langit. Ia sempat berencana untuk kembali ke sungai. Namun dirinya ragu karena langit semakin menghitam. “Ayo, kita berangkat. Tak mungkin kembali ke sungai, ada lima truck yang antri. Hujan pun sepertinya akan segera datang,” gumamnya.

Kami pun kembali mendaki. Truck sudah agak lebih garang. Namun wajah Nawi sudah agak kusut. Ia kurang bahagia dengan sisa muatannya. “Paling hanya 20 ton lagi. Seharusnya 30 ton.” Tak ada gaji saya untuk trip ini,” keluhnya.

Bagi Nawi dan semua sopir truck yang serupa, jalan terjal mendaki merupakan momok serius. Mimpi mereka untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, kerap buyar karena rintangan alam. Gaji sebagai sopir truck memang lumayan. Tapi kondisi Medan tempuh yang sering tak bersahabat, membuat mimpi mereka kerap pupus. Saat mendaki jalan buruk as truck kerap patah. Mobil yang mogok serta harus mengurangi muatan adalah makanan hari-hari.

Tidak ada formula untuk menghadapinya. Karena bekerja sebagai truck pengangkut material dasar yang diambil dari pertambangan galian C di pinggir sungai, kerap harus menempuh jalur yang tidak mudah. Bahkan kalau musim hujan, mereka harus menganggur.
***
Ketika kami tiba di Gampong Teupin Mane, Juli,Bireuen, kumandang azan asar bergema. Wajah Nawi seperti menanggung beban. Tatkala saya pamit, ia tersenyum. Ah, semoga besok dan seterusnya, lelaki itu diliputi keberuntungan. []

Komentar

What do you think?

Written by virgo

Pakar Aceh Berhentikan Fachrul Razi Dari Ketua Dewan Pembina

Bijak Gunakan Antibiotik Cegah Munculnya Resistensi Bakteri