in

MA Harus Tolak PK Koruptor

Proses Hukum – Hukum Positif Indonesia Batasi Syarat Pengajuan Peninjauan Kembali

Hukuman yang berat bagi para terpidana korupsi juga bertujuan memberi efek jera agar orang lain tidak melakukan hal serupa.

JAKARTA – Indonesia Cor­ruption Watch (ICW) menuntut Mahkamah Agung (MA) untuk menolak setiap permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh terpidana korup­si. Walaupun, disatu sisi, permo­honan PK ini merupakan hak setiap narapidana yang dijamin oleh undang-undang (UU).

“Akan tetapi tak dapat dipungkiri juga bahwa upaya PK kerap dijadikan jalan pintas untuk terbebas dari jerat huku­man. Apalagi mengingat Ha­kim Agung Artidjo telah purna tugas per Mei 2018 lalu,” kata Peneliti ICW, Kurnia Rama­dhana di Jakarta, Senin (3/6).

Diketahui, Hakim Agung, Artidjo Alkostar merupakan hakim yang kerap menambah hukuman kepada mereka yang terlibat korupsi. Tak jarang para koruptor yang mengaju­kan kasasi atau PK menarik kembali berkasnya setelah tahu Artidjo yang memegang kasus tersebut.

Mereka takut hukuman di­tambah oleh Artidjo. Namun pada bulan Mei tahun 2018 lalu Artidjo resmi pensiun dan para koruptor mulai berani mencari peruntungan dengan mengaju­kan PK ke MA untuk berharap hukumannya dikurangi.

ICW mengambil contoh pu­tusan tingkat PK yang seringkali tidak berpihak dengan pem­berantasan korupsi, yakni Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng terpidana dalam kasus korupsi proyek Wisma Atlet Hambalang yang pada tingkat pengadilan se­belumnya ia divonis 3,5 tahun penjara dan denda 250 juta ru­piah (incracht). Namun MA memperingan hukumannya hanya menjadi tiga tahun penjara.

Selanjutnya, ICW mengambil contoh MA yang mengabulkan PK mantan Direktur Pengolahan PT Per­tamina, Suroso Atmomartoyo. Sebelumnya, Suroso dihukum tujuh tahun penjara, denda 200 juta rupiah, dan kewajiban membayar uang pengganti se­besar 190 ribu dolar Amerika Serikat (AS), namun putusan PK malah menghilangkan ke­wajiban pembayaran uang pengganti tersebut.

Padahal, kata Kurnia, dalam hukum positif Indonesia men­gatur serta membatasi syarat bagi terpidana yang ingin mengajukan PK. Pasal 263 ayat (2) KUHAP telah tegas menye­butkan bahwa syarat jika sese­orang ingin mengajukan PK, yakni, pertama, apabila terda­pat keadaan atau novum baru; kedua, putusan yang keliru dan ketiga, kekhilafan dari hakim saat menjatuhkan putusan.

Namun dalam beberapa ke­sempatan syarat itu kerap dia­baikan, sehingga putusan yang dihasilkan dinilai jauh dari rasa keadilan bagi masyarakat.

Putusan yang mengabulkan PK Choel Mallarangeng, MA menyebutkan bahwa alasan utama karena yang bersang­kutan telah mengembalikan uang yang telah diterimanya. Tentu ini bertentangan dengan Pasal 4 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa pengem­balian kerugian keuangan ne­gara tidak menghapuskan dipi­dananya pelaku tindak pidana.

“Sederhananya, seberapapun besarnya uang hasil korup­si yang telah dikembalikan ke­pada negara, tentu hal itu tidak dapat dijadikan dasar pengha­pus hukuman bagi pelaku tin­dak pidana korupsi,” katanya.

Ajukan PK

Berdasarkan data yang dihimpun ICW, setidaknya hingga saat ini masih terdapat 19 terpidana kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pember­antasan Korupsi (KPK) sedang mengajukan upaya hukum luar biasa yakni PK. Tentu ini harus menjadi perhatian bagi MA, kata Kurnia, bagaimanapun de­ngan kuasa yang dimiliki oleh para pengaju PK bukan tidak mungkin putusan PK berpo­tensi hanya akan menguntung­kan pelaku korupsi.

Sementara itu, data ICW juga menyebutkan potret ke­lam putusan PK yang men­jadi sorotan, sejak tahun 2007 sampai tahun 2018 terdapat 101 narapidana yang dibebas­kan, lima putusan lepas, dan 14 dihukum lebih ringan dari­pada tingkat pengadilan pada fase PK. ola/AR-3

What do you think?

Written by Julliana Elora

Anggaran Pendidikan dan Kesehatan di Sumsel Belum Memenuhi Quota Undang-Undang

Memperkuat Kebersamaan