in

Melawan Teror Politik

Saat konflik masih melanda Aceh, salah satu cara untuk membuat Teuntra Neugara Atjeh (TNA) dan GAM sipil adalah dengan menangkap anggota keluarganya. Serdadu-serdadu Republik menjadikan keluarga pejuang kemerdekaan Aceh sebagai bumper demi mencapai misi, yaitu menyerahnya para gerilyawan.

Teknik lainnya adalah bumi hangus. Di di lokasi terjadinya kontak tembak, para serdadu akan melakukan bumi hangus serta penangkapan warga sipil, pemerkosaan terhadap wanita, penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga non GAM.

Dua hal di atas merupakan bentuk teror yang dilakukan oleh otoritas keamanan dan pertahanan dengan tujuan untuk meredam perlawanan gerilyawan GAM yang kian membesar pada rentang 1998-pertengahan 2004. Calon korban yang ingin ditarget dibuat tidak berdaya, mengalami ketakutan yang luar biasa, serba salah, frustasi dan akhirnya tunduk.

Teror adalah senjata untuk melumpuhkan perlawanan, atau untuk mencegah potensi lahirnya perlawanan, pembangkangan atau ketidakpatuhan baik pribadi maupun kelompok. Tujuannya agar misi si penebar teror tercapai.

Tingkatan teror pun bermacam-macam, tergantung tujuan, pelaku, kondisi dan lainnya. Teror paling kecil misalnya : “Kau bagi uang jajanmu, atau kulaporkan Kau sama Ibu karena tadi kau pipis di kasur.”

Contoh lainnya ” Bila dikampung ini si A tidak menang, maka ke depan kampung ini tidak akan mendapat dana dari pemerintah.”

Contoh lainnya: “Kalau Saya tidak menang kali ini, maka jangan salahkan saya bila darah kembali tumpah di bumi ini. Kami akan kembali berperang dan kami tidak akan bertanggung jawab!”

Dari tiga contoh di atas, bisa dilihat semakin tinggi posisi seseorang maka akan semakin tinggi pula level teror yang dimainkan. Kenapa? Karena semakin besar seseorang maka semakin besar pula kepentingan yang ia emban. Maka untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan dirinya, maka ia pun menebar segala ancaman, dengan tujuan, khalayak ramai akan ketakutan dan kemudian akan melakukan semua keinginan si peneror tanpa banyak tanya.

Para pelaku teror adalah pembelajar. Ia telah mempelajari kelemahan tiap kelompok yang disasar. Maka tidak heran bila mereka akan leluasa menebar teror dan kebencian pada kelompok-kelompok yang sudah dipetakan.

***
Rakyat Aceh, setelah belasan tahun usai perang dan tsunami, seyogyianya sudah harus mampu bersikap. Minimal harus berani percaya bahwa perang tidak akan lagi terjadi di Aceh, oleh penyebab hal remeh-temeh seumpama pilkada dan pileg serta pilpres. Rakyat Aceh juga harus percaya bahwa para penebar ancaman bukanlah orang-orang yang gentle mewujudkan janjinya, bila terornya tak berhasil. Pada pilpres yang lalu, ada petinggi di Aceh yang mengancam akan naik ke gunung bila Prabowo kalah. Hingga sudah tahunan mantan danjen Kopassus itu gagal menjadi presiden, sang petinggi tak kunjung mundur dari jabatan dan tak pula naik ke gunung.

Para pelaku teror, akan mencitrakan diri sebagai pihak yang angker, misterius, berdarah dingin, tidak memiliki kasih sayang serta bergerak tidak terduga.
Tujuannya untuk melahirkan ketakutan yang tersistematis, atau minimal melahirkan ungkapan putus asa “Ah, sudahlah. Turuti aja keinginan mereka. Malas kita berurusan. Menghabiskan waktu saja.”

***
Sepanjang kampanye Pilkada 2017, ada dua fenomena yang sudah menjadi “trade mark” “keacehan” yaitu teumeunak dan meuancam. Pola pertama adalah memaki siapapun yang menjadi lawan politik dengan kata-kata kasar nan merendahkan harkat dan martabat kemanusiaan. Lakap lempap, b*i, a*e, keub*u, le**0, ek b*h dan lainnya.

Teumeunak ini ditujukan untuk mantan teman yang tidak lagi sehaluan, ataupun kepada rival yang tidak pernah sehaluan. Janji kampanye yang seharusnya berupa gagasan pembangunan, berubah menjadi caci maki yang jauh dari nilai keacehan dan keislaman.

Meuancam juga demikian. Mereka yang merasa di atas angin, akan mengatakan bahwa Aceh akan berpotensi perang bila mereka tidak memenangkan pilkada. Duh, seolah-olah perang terjadi hanya karena hal remeh temeh seumpama pemilihan kepala daerah.

Alih-alih menyampaikan gagasan pembangunan, mereka justru sibuk menebar ancaman.

***
Sebagai pemilik suara, rakyat harus berani melawan politik bar-bar. Rakyat harus memahami bahwa tidak ada manusia yang memilimi hak lebih untuk menguasai orang lain. Manusia diciptakan setara oleh Allah. Artinya secara hak diakui kesetaraan, sesuai dengan tupoksi dan kiprah masing-masing.

Demikian juga dalam politik, setiap individu yang sudah diakui oleh negara telah memiliki hak pilih dan dipilih, kedudukannya setara di muka hukum. Tidak ada yang istimewa dan harus diprioritaskan. Karena tidak ada yabg benar-benar mampu mewakili representasi manusia lannya.

Paa peserta kontestasi pilkada sejatinya mewakili kepentingan untuk berkuasa, yang dengan mandat itu –bila terpilih– akan melakukan kerja-kerja menyejahterakan rakyat dan menciptakan ketertiban umum. Serta menjamin terselenggaranya pemerintahan yang mrnjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM).

Dengan demikian, memilih calon yang berkopenten adalah kewajiban seluruh rakyat. Rakyat harus benar-benar memastikan bahwa orang yang ia coblos merupakan individu yang memiliki konsep pembangunan, membumi serta tidak cacat secara mental dan perilaku.

Pada akhirnya rakyat Aceh harus sadar, semakin tidak jelasnya agenda kerja seseorang, maka semakin tidak logis ia berpikir. Ia hanya bisa memaki, hanya bisa menebar kebencian , hanya bisa meneror, untuk menutupi kelemahan gagasan dan ketidakcemerlangan komunikasi.

Rakyat harus sadar bahwa Aceh tidak pernah mampu dibangun oleh penguasa yang tidak memiliki gagasan dan hanya mampu memperlihatkan politik bar-bar yang memisahkan moral dengan kerja-kerja pemenangan. []

Komentar

What do you think?

Written by virgo

LSI: Pemilih Mengambang – Golput Penentu Pilkada DKI

Sudin Dukcapil Jaksel Layani 763 Warga Hari Ini