in

Memori Kolektif Kemerdekaan

Baru saja kita merayakan Peringatan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-72. Mengamati kegiatan dan sikap warga saat merayakan peristiwa penting ini, terbersit pertanyaan mencemaskan; apa arti kemerdekaan bagi kita hari ini?

Di istana negara di Jakarta, upacara bendera kali ini tampak berbeda. Kecuali TNI dan tamu asing, peserta upacara menggunakan pakaian adat daerah. Nuansa militeristik dari upacara peringatan kemerdekaan jauh berkurang. Presiden Jokowi yang berasal dari kalangan sipil tampaknya ingin menegaskan bahwa kemerdekaan adalah buah dari kerja sama berbagai etnis, profesi dan kalangan masyarakat. Dalam suasana akrab dan keramahan Presiden, peringatan kemerdekaan terasa sebagai perayaan yang menyenangkan dan menghibur. Hal ini berbeda sekali saat masa Orde Baru, ketika upacara serupa diliputi suasana militeristik yang kental. Yang jelas, pada dua periode berbeda itu, upacara peringatan sama dijalankan dengan khidmat.

Kenapa harus khidmat? Melalui upacara peringatan kemerdekaan kita memelihara memori kolektif kita sebagai bangsa. Upacara penaikan bendera pusaka di istana negara adalah cara kita untuk mengenang kembali upacara serupa yang berlangsung 72 tahun yang lalu. Peristiwa itulah yang menjadi tonggak kelahiran bangsa ini. Upacara demikian diulang setiap tahun, agar kita selalu ingat bahwa kita adalah bangsa yang merdeka. Agar kita bisa mengingat jasa para pejuang bangsa yang rela mengorbankan harta, raga dan jiwa mereka untuk merebut kemerdekaan. Agar kita tak pernah lupa bahwa kemerdekaan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Agar kita juga berjuang agar bangsa ini tidak menjadi bangsa agar-agar! (meniru dialog seorang tokoh dalam drama Senandung Semenanjung karya Wisran Hadi).

Bagaimana dengan kita; Anda, saya, serta teman lainnya? Pagi hari tanggal 17 Agustus, seorang teman mengirim status di facebook bahwa 70% warga di kompleks perumahan tempat ia tinggal tidak mengibarkan bendera merah putih. Tentu saja teman itu tidak sendirian. Sejak tiga tahun lalu, nuansa peringatan kemerdekaan terasa sepi di daerah ini. Banyak orang kehilangan, lupa menaruh, atau tak sempat mengibarkan di halaman rumah mereka. Beberapa yang lainnya merayakan kemerdekaan dengan tidur seharian sambil menikmati liburan. Katanya, itulah cara merayakan kemerdekaan yang paling pas; merdeka untuk bisa tidur!

Pilihan acara untuk perayaan kemerdekaan kadang memang membingungkan. Bagaimana tidak. Berbagai acara yang digelar tak ada kaitan dengan semangat dan tujuan kemerdekaan bangsa ini. Lihatlah dari aneka lomba yang digelar dalam rangka perayaan kemerdekaan di seantero negeri. Misalnya lomba balap karung, makan kerupuk, menangkap belut, makan pisang, membawa kelereng di atas sendok, hingga menggendong pasangan! Yang paling populer tentu saja panjat pinang. Dari perspektif apa pun dan dengan cara bagaimana pun, sulit menemukan hubungan logis, historis maupun etis antara berbagai lomba itu dengan kemerdekaan. Kalau begitu, kenapa masyarakat menggelar acara demikian? Pilihan itu untuk menunjukkan bahwa perayaan kemerdekaan kini diartikan sebagai hiburan, kegembiraan, dan kesenangan. Tak perlu ada kaitan dengan urusan kemerdekaan bangsa, apalagi dengan perjuangan para pahlawan. 

Kenyataan ini jelas sesuatu yang ironis. Pertama, pilihan aneka lomba yang amat umum dan berulang dari tahun ke tahun itu menunjukkan bahwa masyarakat kita sekarang berada dalam kondisi kehilangan kreativitas. Tak ada permainan baru yang lebih menarik dan bermanfaat yang bisa ditampilkan untuk mengisi perayaan hari kemerdekaan. Kedua, kita seakan melupakan bahwa daerah ini menyumbang banyak pejuang untuk pendirian republik ini pada masa awal kemerdekaan. Hampir tidak ada acara yang dibuat berkaitan dengan para pahlawan itu. Bukankah bisa diadakan lomba mewarnai tokoh pahlawan, lomba berhias mirip pahlawan, cerdas cermat tentang para pahlawan, lomba menyanyikan lagu perjuangan atau penulisan puisi tentang hari kemerdekaan? Entah kenapa kita tiba-tiba menjadi bangsa yang amnesia terhadap pahlawan kita sendiri.

Bisa jadi, sebagian besar kita memang telah lupa tentang arti kemerdekaan dan jasa orang-orang yang memperjuangkannya. Sebagian besar warga hari ini tak pernah terlibat dalam perjuangan. Sementara pelajaran sejarah perjuangan bangsa gagal membangun sikap terima kasih terhadap para pejuang. Tak perlu heran jika kita hampir menjadi orang yang tak tahu berterima kasih. Mudah dipahami jika sebagian besar warga memakna kemerdekaan sebatas hiburan menyenangkan pada hari libur.
Konon kabarnya, untuk meramaikan suasana peringatan kemerdekaan, pihak pemerintah provinsi telah mengirim surat edaran ke kantor-kantor pemerintahan untuk mengadakan upacara bendera, menaikkan bendera merah putih dan mengadakan aneka kegiatan. 

Secara berantai surat itu menyebar hingga ke tingkat RT. Melihat suasana peringatan tahun ini, surat demikian tampaknya tak cukup. Sebagai penyelenggara pemerintahan, selayaknya pemerintah melakukan kegiatan yang lebih nyata dan bisa menggugah rasa nasionalisme warga. Misalnya, alangkah baiknya jika sepanjang bulan Agustus seluruh museum dan lembaga sejarah menggelar pameran tentang kemerdekaan. Bisa berupa pameran foto, kunjungan ke tempat bersejarah, temu bicara dengan pejuang, atau pameran buku-buku tentang sejarah kemerdekaan dan tokoh pejuang. Karena dalam rangka perayaan kemerdekaan, maka pihak museum menggratiskan pengunjung untuk masuk. Jika dipublikasi dan bekerja sama dengan sekolah, tentulah hal ini akan bermanfaat.

Amnesia demikian juga terjadi di bidang pers. Jika kita mengamati pemberitaan di media massa daerah bulan ini, hampir tak ada berita tentang para pahlawan kemerdekaan. Bukankah masih ada beberapa orang veteran yang masih sehat dan bisa bercerita tentang suasana perang kemerdekaan yang bisa diwawancarai? Banyak sekali situs sejarah yang bisa mengingatkan kita pada peristiwa kemerdekaan. Feature tentang lobang jepang di Bukittinggi atau tugu peringatan kongres pemuda di dekat Hotel Grand Muara, sesungguhnya bisa menjadi wacana yang menarik bagi pembaca. Atau reportase tentang keadaan makam M Yamin, Siti Manggopoh, Tan Malaka saat ini. Belum lagi sekolah-sekolah yang pernah menjadi tempat belajar para pejuang. Misalnya  SMP Negeri 1 Padang atau Perguruan Adabiah. Juga Sekolah Raja (Kweek School alias SMA 2 Bukittinggi) dan Normal School dan Perguruan Thawalib yang melahirkan banyak pahlawan kebangsaan. Kenapa hampir tidak ada liputan tentang semua situs bersejarah itu?

Seorang teman membisikkan; “Media massa kita tampaknya terlalu sibuk pada pilkada yang akan berlangsung tahun depan”. Benar atau tidak, yang jelas jika tak ada para pejuang dan kemerdekaan, tak mungkin ada wali kota, DPRD, bahkan gubernur dan presiden. Tak layak kita melupakan jasa para pahlawan yang telah berjuang untuk mendirikan negara ini. Kemerdekaan yang memungkinkan kita menduduki jabatan di eksekutif, legislatif, bahkan menduduki bangku pendidikan.

Usul yang disampaikan di atas belum basi. Masih ada peringatan Gerakan 30 September, Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan yang akan diperingati menjelang tahun ini berakhir. Kita masih punya beberapa momentum yang bisa mengingatkan pada memori kolektif sebagai bangsa pejuang. Untuk mengenang jasa pejuang bangsa yang telah berkorban banyak untuk bangsa ini. Mana tahu dengan demikian kita menjadi enggan untuk bolos kerja, membuat kuitansi fiktif, bahkan melakukan tindakan korupsi. Enggan saja pun cukuplah, karena keenganan pada hal buruk akan mengurangi kerugian negara. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Bupati Limapuluh Kota Dicegat Warga

Kali Pertama Pakai Pakaian Adat, Ibu Negara Gunakan Busana Minang