in

Mengenang Kembali Jasa Pahlawan KH R As’ad Syamsul Arifin

Islam dan Ideologi Pancasila

Almaghfulla KH Raden As’ad Syamsul Arifin akhirnya menerima gelar Pahlawan Nasional. Sesuatu yang pantas beliau terima sesuai dengan jasa-jasanya yang besar, baik ketika beliau berjuang pada masa kemerdekaan maupun saat mengisi kemerdekaan negeri ini dengan aneka amal perbuatannya yang maslahat bagi rakyat dan bangsa ini.

Kiprah beliau untuk mengabdi kepada bangsa ini meliputi rentang waktu yang sangat panjang di pelbagai bidang. Pendidikan dengan basis pesantren (Salafiyah Assyafi’iyah di Sukorejo, Asembagus, Situbondo) adalah bidang juang yang tidak pernah henti dilakukan sepanjang hayat beliau. 

Bidang lain adalah karir politik saat Kiai As’ad muda menjadi anggota Konstituante dari hasil Pemilu 1955. Beliau berangkat dari Partai NU sebagai pemenang ketiga (setelah PNI dan Masyumi), mengalahkan PKI di posisi keempat.

Masih banyak lagi bidang pengabdian yang tidak kalah menarik dari kiprah beliau pada masa hidupnya. Tulisan ini akan mengambil satu sudut pandang (angle) tentang “Hubungan Nahdlatul Ulama (NU) dan Negara Pancasila” yang menjadi momen krusial saat rezim Orde Baru awal 1980-an hendak melakukan konsolidasi ideologi politik nasional.

Jasa beliau di masa krusial tersebut sangat penting, antara lain, karena beliau banyak berperan sebagai “jembatan penghubung” yang strategis. Dengan komunikasi politiknya yang santun dan terkadang jenaka, beliau mampu menjadi penghubung yang bisa meredakan ketegangan antara umat Islam dan rezim Orde Baru.

Era 1970 hingga awal 1980-an adalah masa pematangan doktrin bagi pemerintahan Orde Baru. Stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dikenal dengan istilah Trilogi Pembangunan merupakan doktrin ekonomi politik yang harus sukses terlaksana di lapangan.

Asumsi yang menjadi pokok pikiran di balik doktrin tersebut adalah: a) tidak mungkin pemerintah bisa membangun ekonomi dan menyejahterakan rakyat jika politik nasional tidak stabil; b) tidak mungkin politik bisa stabil jika orientasi ideologi nasional masih berbeda-beda. Berkaca kepada rezim Orde Lama, salah satu sebab utama mengapa pemerintah Orde Lama tidak bisa membangun untuk menyejahterakan rakyat tak lain karena cekcok antarpartai politik yang berlatar belakang ideologi. 

Itulah sebabnya, konsolidasi ideologi nasional—berupa Asas Tunggal Pancasila—harus dilaksanakan. Itu mesti berhasil dengan cara apa pun. Siapa yang melawan harus ditundukkan. Ibaratnya, kalau ada tembok di depan, ya harus digusur dan jika ada gunung, harus diterobos untuk menyukseskan program asas tunggal Pancasila.

Sebagai penguasa rezim militer, Soeharto sudah punya pengalaman yang efektif menekuk para lawannya, baik itu partai politik yang mesti dihadapi lewat pemilu (dengan cara curang sekalipun), para jenderal, maupun tokoh politik yang berseberangan dengan Presiden Soeharto.

Gelagat akan ke mana politik Orde Baru, terkait Asas Tunggal Pancasila, mulai terbaca oleh Almaghfurlah Kiai As’ad. Penyatuan ideologi ini pasti akan menghadapi penentangan keras dari kalangan aktivis Islam. Kiai As’ad dengan feeling politik dan mata batinnya yang tajam menyimpulkan: penyatuan ideologi lambat atau cepat pasti terjadi. Soalnya adalah: bagaimana menghindari tabrakan antara umat Islam dan rezim Orde Baru, tanpa mencederai akidah Islam.

Sebab, pada umumnya, anggapan para tokoh dan aktivis Islam saat itu bahwa ideologi Pancasila jelas bertentangan dengan akidah Islam. Atas dasar itu, program pemerintah tersebut harus ditolak karena negara dianggap telah mencampuri terlalu jauh urusan agama. Apalagi, hal itu berurusan dengan masalah pokok agama: akidah.

Itulah agenda penting Kiai As’ad untuk memainkan momen-momen bersejarah itu. Tidak jarang untuk kepentingan itu, dengan tubuh rentanya, dia rela bersusah payah menemui Presiden Soeharto di Istana Negara, bahkan terkadang di kediamannya, Jalan Cendana.

As’ad banyak menyerap informasi politik dari pertemuan-pertemuan penting itu. Tak jarang beliau juga berhubungan akrab dengan sejumlah petinggi militer yang saat itu punya posisi strategis, mulai Komandan Korem yang membawahkan wilayah Karesidenan Besuki Kolonel Basofi Sudirman hingga Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani.

Solusi untuk menghindari tabrakan antara rezim Orde Baru dan umat Islam saat itu, Kiai As’ad mengambil cara sederhana, namun cerdas. Caranya, sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dari Pancasila dijadikan argumentasi untuk menerima Asas Tunggal Pancasila. Sebab, secara esensial, sila pertama itu adalah: pengesaan Allah (tauhid). Sila itu juga secara historis merupakan kependekan sila yang terpotong dari Piagam Jakarta: “Ketuhanan, Dengan Kewajiban Menjalankan Syari’ah Islam Bagi Pemeluk Pemeluknya.” 

Argumentasi itu kemudian dielaborasi secara lebih filosofis oleh Almaghfurlah KH Achmad Siddiq, termasuk penetapan NKRI sebagai bentuk negara yang sudah final untuk umat Islam Indonesia. Semua itu ditetapkan dalam Munas NU 1983 serta Muktamar Ke-28 NU pada 1984 di Pesantren Salafiyah Assyafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo—kediaman KH Raden Asad Syamsul Arifin.

Menghindari kerusakan yang lebih besar (tabrakan antara Rezim Orde Baru dan umat Islam) merupakan prioritas utama yang beliau perjuangkan. Itulah kenangan sejarah dari salah satu jasa penting sang pahlawan nasional dari Asembagus itu. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Suci Chua Rilis Album Kedua

Saling Tebar Ancaman