in

Menyejukkan Arus Deras Informasi

Masyarakat global mengalami kegalauan luar biasa akibat rekayasa informasi. Kanal-kanal komunikasi publik dibanjiri beragam informasi yang membuat suasana kehidupan manusia seperti menjauh dari kedamaian dan harmoni dalam perbedaan. 

Tsunami informasi membuat kerapuhan sosial. Keadaan saluran komunikasi massa; televisi, radio, cetak, bahkan new media yang begitu riuh, mengingatkan saya pada seorang Paul Johnson, jurnalis dan ahli sejarah Amerika Serikat. 

Dalam karyanya Seven Deadly Sins Journalism atau yang populer dengan 7 dosa-dosa media massa, Paul menempatkan distorsi informasi sebagai nomor pertama dosa-dosa media massa. Distorsi informasi tidak hanya menambah atau mengurangi informasi berupa opini maupun fakta sehingga mengaburkan sumber yang sebenarnya.

Distorsi informasi ditempatkan Paul sebagai dosa “besar” media massa karena diposisikan dalam urutan teratas di bawah enam dosa media yang lain (dramatisasi fakta palsu, mengganggu privasi, pembunuhan karakter, eksploitasi seks, meracuni pikiran anak-anak, dan penyalahgunaan kekuasaan). 

Sejalan dengan pergerakan zaman teknologi komunikasi, penyebaran informasi yang begitu marak dan massif tidak saja memunculkan distorsi informasi, namun pengaruh informasi mengusik tata nilai, etika, norma-norma, serta prinsip-prinsip hidup manusia. Jika distorsi informasi masih terdapat unsur fakta di dalamnya, saat ini informasi yang tidak ada faktanya, kita tidak mengerti siapa yang membuat informas, apa tujuannya dan bagaimana dampak ditimbulkan— kita tidak tahu tapi ironinya banyak orang percaya dan menyebarkan informasi tersebut ke dalam ruang-ruang publik dengan viral maupun copy paste informasi. 

Berita bohong (hoax) merebak di mana-mana, apalagi ketika bertepatan dengan momentum politik. Seperti yang terjadi di Amerika Serikat saat kontestasi pemilihan Presiden Donald Trump vs Hillary Clinton atau ketika peristiwa politik pilkada— hoax menambah kebisingan dan keresahan lalu lintas informasi politik melalui media massa.

Informasi hoax membawa masyarakat dunia pada keadaan yang penuh ironi dan nestapa. Orang menganggap kebenaran informasi itu tidak penting. Yang penting orang cepat emosi, memiliki persepsi negatif, kebudayaan masyarakat modern dibawa pada hal-hal yang sensasional, drama, penuh intrik-intrik dan kebencian antara satu dengan yang lain.

Akibatnya, terjadi polarisasi dalam masyarakat. Kita saling membenci, serta asyik bergumul dengan konflik dan ego-ego personal/sektoral yang beku. Terjadi konflik antar keluarga, pertentangan antar masyarakat, perang saudara ataupun antar negara. Perbedaan (suku, agama, ras, warna kulit, budaya, bahasa, antar golongan) dijadikan sebagai sumbu perpecahan antara manusia dan bangsa-bangsa di dunia. Kawasan Timur Tengah yang banyak dilanda konflik dan perpecahan adalah contoh nyata dari efek informasi buruk yang kurang terantisipasi.    

Impian terwujudnya dunia yang rukun/harmoni dan damai dalam perbedaan seakan jauh dari kenyataan. Di tengah kegalauan situasi dunia itu, agenda IBRAF 2017 ibarat oase dalam kegersangan. Seperti diketahui sekitar 40 negara dengan 500 peserta dari dalam maupun luar negeri, serta dihadiri pimpinan negara, ketua regulator penyiaran sedunia, kalangan akademisi, dan tokoh-tokoh broadcasting dunia—bertemu di Trans Luxury Hotel Bandung, Jawa Barat dari tanggal 21 hingga 23 Februari 2017 dalam agenda OIC Broadcasting Regulatory Authorities Forum (IBRAF) ke-5.

Kegiatan IBRAF 2017 mengusung tema besar Media for World Harmony. Kegiatan tiga hari dibagi dalam sesi international conference, annual meeting, dan parallel session yang membahas topik media untuk mematikan sumbu perpecahan dan menciptakan perdamaian dunia.

Menangkal Sumbu Perpecahan

Ketergantungan masyarakat dunia pada teknologi dan informasi mutakhir sangat tinggi. Termasuk, pengguna internet di dunia yang saat ini begitu besar. Pada tahun 2016 pengguna internet di dunia berjumlah 3,2 miliar penduduk dan diperkirakan pada tahun 2018 mencapai 3,6 miliar orang pengguna internet (Tekno.Kompas.Com). Sementara di Indonesia data Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) mengungkap bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia kini telah terhubung ke internet. Pada tahun 2016 pengguna internet Indonesia menembus angka 132,7 juta orang.

Tingginya pengguna internet menjadi kekhawatiran ketika kita melihat kenyataan bahwa dunia teknologi komunikasi dan informasi kini terintegrasi secara digital dan konvergensi media adalah kenyataan akibat kecanggihan teknologi internet. Perkembangan teknologi memunculkan patologi sosial di bangsa-bangsa di dunia. Sebab, melalui teknologi mutakhir ini ajaran-ajaran kebencian merajalela. Doktrinasi, mengumbar fake palsu, saling mengadu domba, memecah belah, black campain, propaganda dan bahkan hoax menjadi viral yang tidak dapat dibendung.

Berita bohong/hoax di Indonesia menurut data polisi sepanjang Januari-November 2016, polisi Jakarta menerima 1.194 aduan masyarakat tentang hoax, berita palsu, dan pencemaran nama lewat media sosial. Presiden Jokowi mengungkapkan keprihatinannya pada media sosial. Medsos banyak digunakan untuk penyebaran informasi hoax, fake palsu, hate speech yang bahkan mempertentang-tentangkan segala perbedaan-perbedaan. 

 Agenda IBRAF 2017 menyikapi berbagai persoalan masyarakat dunia yang disebabkan pengaruh informasi yang menyebar melalui media massa. Konten informasi media harusnya menangkal sumbu perpecahan untuk menciptakan harmoni, kesejukan dan mewujudkan perdamaian dunia. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Bupati Solsel Kirim Surat Terakhir ke DPRD

Politisi NasDem Jalani Sidang Perdana