in

Nasib Para ’’Manusia Kayu’’ setelah Dirawat di Rumah Sakit -1

Kuat Berdiri Empat Jam, Nyaris tanpa Gerak

Kondisi Sulami, 36, dan Rodiyah, 37, dua ’’manusia kayu’’ Sragen yang baru saja menjalani perawatan di RSUD dr Moewardhi Solo, kini lebih baik. Bahkan, meski tubuhnya masih kaku seperti manekin, Sulami rajin berjalan-jalan ke luar rumah untuk menghilangkan rasa jenuh. 

Rumah Sulami di RT 31, Desa Mojokerto, Kecamatan Kedawung, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, seperti tak berpenghuni. Maklum, rumah sederhana berdinding batako dan berlantai semen itu hanya dihuni Sulami bersama neneknya, Ginem, 80. 

Apalagi, Sulami hanya bisa terbujur kaku di tempat tidur atau berdiri tegak seperti patung yang bersandar di dinding. Antara nenek dan cucu itu juga jarang berbicara bila tak perlu.

Maka, ketika bertamu di rumah itu Sabtu (18/2) pekan lalu, Jawa Pos (Group Padang Ekspres) harus menunggu lama untuk bisa bertemu Sulami. Berkali-kali pintu diketuk, tak ada yang menyahut. Baru setelah Jawa Pos beruluk salam beberapa kali, Nenek Ginem keluar dan membukakan pintu. Nenek yang sudah sangat sepuh itu tak banyak bicara. 

Sulami lantas menemui Jawa Pos di ruang tamu. Perempuan berjilbab tersebut berjalan pelan-pelan dari kamarnya. Gerakannya seperti boneka kayu.

 Begitu sampai di ruang tamu yang sempit, dia bersandar di dinding sambil bertopang pada sebuah tongkat. Tak lama kemudian, dia tersenyum dan bertanya, “Dari mana, Mas?”

Meski lehernya tak bisa digerakkan untuk menoleh ke kanan dan ke kiri, dia berusaha bisa menatap tamunya. Begitu pula meski tangannya kaku seperti kayu, jari-jarinya masih bisa memencet-mencet keypad di handphone-nya. 

Benda canggih itu dia gunakan untuk berkomunikasi dengan sang adik, Susilowati, yang tinggal di belakang rumah. Selama ini, Susilowati-lah yang bertugas membantu Sulami untuk berpindah posisi: tidur, bangun, dan keperluan lain.

Saat Jawa Pos bertamu, Sulami belum lama pulang dari perawatan di RSUD dr Moerwadhi Solo. Selama dua minggu di rumah sakit, dia menjalani serangkaian pemeriksaan terkait dengan penyakit anehnya itu. Dan, setelah kondisinya dinilai membaik, dia boleh pulang sambil menjalani perawatan di rumah. 

“Sekarang badan saya lebih enteng selepas dari rumah sakit,” ujar Sulami, lantas tersenyum. 

Sulami mulai tak bisa menggerakkan anggota tubuhnya sejak 20 tahun silam. Namun, kekakuan total dirasakannya sejak 13 tahun lalu. Sulami merupakan anak ketiga di antara empat bersaudara.

Dua kakaknya sudah meninggal karena penyakit serupa. Sang ibu tidak mau merawat sehingga tinggal sang adik, Susilowati, dan neneknya, Ginem, yang masih setia menemani “manusia kayu” itu. 

Sehari-hari aktivitas Sulami banyak dihabiskan di kamar tidur. Untuk mengisi waktu, dia sering membaca Al-Quran yang disiapkan di atas tubuhnya. Namun, belakangan dia juga sering keluar rumah, menghirup udara segar sambil melatih otot-otot kakinya agar tetap bisa digerakkan meski hanya sebagian kecil. 

“Kalau tidak pagi, ya sore, Mbak Sulami berjalan-jalan ke luar rumah. Setelah capek, pulang dan tidur kembali,” tutur Susilowati.

Untuk hidup sehari-hari, Sulami bergantung pada bantuan adik dan neneknya itu. Mulai bangun pagi, sarapan, mandi, ganti baju, dan sebagainya. Ginem, neneknya, setiap pagi menyiapkan sarapan dan air minum. Sedangkan Susilowati memandikan (dilap dengan handuk basah) dan mengganti baju Sulami serta membersihkan rumah. 

“Untuk makan, biasanya cukup saya ceplokkan telur. Dia sudah senang,” tutur Ginem. 

Sulami makan sambil berdiri. Sebuah alat khusus diciptakan untuk mempermudah cara makannya. Yakni, alat berupa kayu sepanjang sekitar 30 cm yang permukaannya dihaluskan dan ujungnya diberi garpu yang diikat kuat dengan tali rafia.

Garpu panjang tersebut berfungsi untuk mengambil makanan sekaligus memasukkannya ke mulut Sulami. Untung, tangan Sulami masih berfungsi meski terbatas. 

“Seperti ini makannya,” ucap Sulami sambil memperagakan cara dirinya makan. Sulami bisa tahan berdiri berjam-jam seperti patung tanpa aktivitas apa-apa. Jika bosan, dia akan meminta tolong adiknya untuk ditidurkan.

Di tempat tidur, dia bisa mengaji, kemudian tidur terlelap hingga azan Dzuhur tiba. Biasanya, dia lalu terbangun untuk salat, lantas kembali mengaji, makan, jalan-jalan kecil, mandi, tidur lagi, dan seterusnya. 

Sulami menyatakan, dirinya mampu berdiri selama 3–4 jam nyaris tanpa gerak. Geraknya kalau mau tidur. “Kalau mau tidur, ya saya tinggal SMS (kepada Susilowati, red),” katanya, lalu tersenyum simpul. 

Untuk mengatasi kesepian, Sulami juga membaca buku. Kebanyakan buku bertema agama. Misalnya, buku berjudul Taubat dan Tuhan Maha Adil. Soal mengaji, Sulami cukup mumpuni.

Maklum, saat masih bisa berjalan dan beraktivitas, Sulami adalah guru mengaji yang disukai anak-anak desanya. “Tapi, sekarang sudah leren (berhenti, red). Ya ngaji untuk diri sendiri,” katanya. 

Penyakit yang menimpa Sulami sempat menggegerkan dunia kedokteran tanah air. Begitu penyakitnya terekspos ke publik, RSUD dr Moewardi Solo langsung membentuk tim untuk menangani pasien penyakit aneh tersebut. Tim terdiri atas 15 dokter spesialis di bawah pimpinan dr Arief Nurudhin, ahli rhematologi dan penyakit dalam. 

Di antara tim dokter tersebut ada ahli gizi, ortopedi, penyakit dalam, dan rhematologi. “Semua pendekatan kita pakai. Gizinya kita perbaiki, jantungnya kita tes, gulanya kita stabilkan,” kata Arief saat ditemui di kediamannya. 

Mulanya, ada dua diagnosis terkait penyakit Sulami. Pertama, ankylosing spondylitis atau penyakit bambu tulang belakang (bamboo spine). Penyakit itu, meski kronis dan berkelanjutan, bukanlah penyakit baru dan memiliki beberapa cara penyembuhan. “Tapi, setelah kami teliti, ternyata ini bukan semata ankylosing,” kata Arief. 

Salah satu indikasi utama ankylosing adalah rasa nyeri di persendian. Namun, indikasi tersebut tidak dialami Sulami. Pun, adanya sacroiliitis (peradangan) di lapisan kulit yang juga menjadi ciri ankylosing. 

Selain itu, kondisi otot tendon Sulami perlahan mengeras dan menjadi lapisan tulang baru. Bahkan sampai menjalar ke otak. Sulami sempat didiagnosis menderita diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DISH).

Yakni, pengapuran atau pengerasan ligamen tulang yang menempel pada daerah sekitar tulang belakang. Namun, ada gejala yang tidak biasa pada diri Sulami, yakni terjadi penggabungan (fusi) di beberapa sendinya. Terutama di sekitar tangan dan jari-jarinya. 

Pengapuran DISH seharusnya hanya terbatas pada tulang belakang. Namun, dalam kasus Sulami, jaringan ototnya juga mulai mengeras. “Di bagian cerebellum kami deteksi ada penumpukan kalsium. Di pahanya juga terbentuk tulang baru,’’ kata Arief. 

Kasus Sulami sempat dibawa dalam konferensi dokter di Bandung pada 11 Februari. Pertemuan itu diikuti para ahli penyakit dalam di Indonesia dan Singapura.

Semua sampel MRI, CT scan, foto, dan hasil tes terkait penyakit Sulami dipresentasikan dan didiskusikan. Hasilnya, penyakit Sulami didiagnosis bukan seperti yang pernah ditangani para dokter sebelumnya. “Kami sepakat bahwa ini new disease. Kami masih mencari penyakit pastinya,” tutur Arief.

Sementara itu, Pemkab Sragen melalui dinas kesehatan telah menyiapkan alat untuk membantu Sulami berdiri dan tidur secara otomatis. Pemkab juga akan merenovasi rumah Sulami agar bisa mengakomodasi alat yang cukup besar tersebut. Alat itu akan dikendalikan dengan remote control.

Di pihak lain, tim dokter RSUD dr Moerwadi tengah menyiapkan prosedur biopsi tulang untuk Sulami. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya pengobatannya. Bisakah penyakit Sulami sembuh dan dia bisa mengajar mengaji kembali? Ataukah dia harus terus kaku sampai akhir hanyatnya kelak? (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

QS. Al Baqarah: 261

Askrida Serahkan Klaim Asuransi Sikoci