in

Om Naik Sendiri, Om

Saya jadi ikut-ikutan. Ikut mengambil momentum fenomena yang membuat heboh dua pekan terakhir. Permintaan membunyikan klakson bus ini menjadi pergunjingan justru setelah musisi dari beberapa negara turut memposting dan menyikapi di akun media sosialnya. Itulah kita. 

Kita cenderung masih “mendewakan” orang lain. Ketika orang luar merespons, baru kita terjaga. Orang-orang di luar sana, ternyata masih lebih hebat daripada kita, walau sesungguhnya, kita lebih dari mereka. Kita nyaris tak  menyadarinya kehebatan sendiri.

Randang menjadi populer setelah dinilai menjadi makanan terenak di dunia. Nasi Padang menjadi semakin menjadi “gunjingan” ketika ada yang memuja-muji dalam lagu. Pariangan, yang diyakini sebagai nagari tua rang Minang, menjadi desa terindah di dunia, juga setelah dinilai orang. Baru kita tersentak. Berdecak kagum.

Ketika ada orang luar yang mengapresiasi, kita terbelalak. Kita berpikir singkat, hebat juga ya! Kita bergumam hebat; tak disangka! Tapi kita sering melupakan semuanya. Kita sering mengabaikan apa yang ada. 

Pada banyak bidang, profesi dan aktivitas, tak jarang kita juga sering memandang remeh apa yang dilakukan lingkungan kita, apalagi jika yang melakukan tersebut belum punya nama. Apa yang dilakukannya tersebut justru dipandang sebelah mata, kemudian disikapi dengan cimeeh, apa pula yang dikerjakannya?

Ah, saya telah jauh mencikaraui. Itu yang kini terjadi. Ketika demam ‘Om Telolet Om!’ terjadi, tak sedikit yang menghubung-hubungkan dan menyindir. Ada yang menghubungkan, mencari-carikan kamus-kamus sendiri. Asal usul istilah tersebut, lalu, muaranya mengarah kepada komunitas atau suku bangsa tertentu. Padahal sesungguhnya, jika dilihat dari  kejadian dan kalimatnya, tak ada sentuhannya. Hanya dicari-carikan saja!

Ada juga yang menghubung-hubungkan dengan nostalgia masa lalu, yang seakan “meniadakan” fenomena tersebut.  Di sini, dulu, puluhan tahun yang lalu, klakson tersebut sudah ada. Tak ada yang baru. 

Tapi, itu dulu. Dulu. Dulu sekali. Bukan sekarang. Jika saat ini, yang dulu itu muncul lagi, namun tidak populer di tempat kita, terima sajalah. Nikmati saja. Apa yang terjadi berkaitan dengan fenomena itu, adalah sebuah hiburan. Sebuah kegembiraan bagi anak-anak negeri, ditempat mereka menunggu dan meminta ‘Om Telolet Om’, adalah sebuah kenikmatan dan kepuasan.

Dalam ilmu komunikasi, terdapat beberapa bukti bahwa pilihan-pilihan dalam hiburan dibuat “mendadak”, atau secara spontan., bukan dengan paparan selektif yang dipertimbangkan, (Zillmann dan Bryant, 1986). Namun peneliti (Zillmann dan Bryant) telah menunjukkan bahwa orang tampaknya memilih hiburan secara intutif, tergantung mood (selera) mereka. 

Apa yang terjadi pada fenomena ‘Om Telolet Om!’ Sesungguhnya masuk pada tataran ini. Semua berlangsung tanpa disengaja. Terjadi begitu saja karena mereka menikmati suara klakson tersebut. Klakson berirama khusus, yang bagi pengemudi atau pengusaha bus tersebut (mungkin) hanya dimaksudkan agar sopir bisa menikmati perjalanan panjang, siang dan malam.

Tapi jangan salah, simpang-siur kenaikan biaya pajak kendaraan bermotor, yang sepekan belakangan menjadi trending topik, bukanlah sebuah hiburan, walau belakangan dijadikan “mainan” dan olok-olok oleh banyak orang. Jangan salah memandang, jika di beberapa daerah di Indonesia, harga cabai sudah di atas harga daging sapi, kemudian dijadikan bahan bercandaan, bukan berarti adalah sebuah hiburan.

Pajak kendaraan yang naik justru dipertanyakan presiden,  padahal sudah diberlakukan. Kenaikan BBM yang terkesan tiba-tiba, lalu masyarakat sudah terpelongo saja saat membeli BBM, bukanlah bagian dari sebuah hiburan, walau kemudian menjadi bagian dari hiburan untuk sekadar menghibur diri sendiri dan mencarikan pembenaran. Diprotes pun, ia sudah tetap naik sendiri. Ah, sudahlah. Om, ia telah naik sendiri, Om! (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Bos Mafia dan Mantan Akuntan Bisu Tuli

QS: Maryam ayat 5