in

Sanduak, Kuali, Tungku, dan Magic Jar

Coba ditanya pada anak kita apa dia masih mengetahui dengan jelas sanduak, kuali atau tungku. Jenis peralatan memasak dan ditempatkan di dapur. Kemungkinan besar menjawab tidak kenal, walaupun ada yang kenal tetapi tidak dapat  menjelaskan fungsinya secara tepat. Namun ketika ditanya magic jar atau magic com (electric rice cooker) atau penanak nasi dengan aliran listrik, jawabnya kemungkinan besar pula kenal. Itu hanya secuil benda yang fungsinya amat penting dalam kehidupan kita tempo dulu hingga kini hilang dengan masuknya teknologi modern yang serba cangih seperti magic jar atau alat penanak nasi tersebut.

Sekarang, ibu-ibu didapur untuk menanak nasi tidak perlu lagi memasang tungku, mencari kayu bakar dan berasap mengepul di dapur. Cukup dengan memasukkan beras dan air kedalam  magic jar atau magic com dan listrik dialiri, tunggu beberapa menit nasi siap disantap. Serba instan kita rasakan hari ini.
Tidak berhenti di situ saja persoalannya, kosa-kata untuk penyebutan akan hal tersebut mulai hilang dan lambat laun akan hilang seiring dengan pengalihan fungsinya. Kewajaran akan hal ini amatlah sangat penting bila dikaitkan antara fungsi sebuah benda bila dikaitkan dengan fungsi kebudayaan. Makna dari kefungsian benda itu sendiri pun akhirnya luntur jua.

Khususnya bagi masyarakat Minangkabau pemaknaan fungsi benda tersebut tidak hanya sebatas pada benda itu sendiri, namun lebih dari itu. Munculnya pepatah petitih : basilang kayu dalam tungku, di sinan api makonyo ka iduik, di situ nasi mako ka masak (api akan mudah menyala dan membakar kalau kayu dalam tungku di silang-silangi, dan baru masakan akan cepat matangnya)- tidak terlepas dari keberadaan benda tersebut. Konsepsi basilang kayu dalam tungku, di sinan api makonyo ka iduik, di situ nasi mako ka masak -merupakan konsepsi masyarakat untuk memahami persoalan artinya perbedaan pendapat dalam suatu musyawarah menjadikan rapat yang bersemangat, dan dikaitkan dengan sila keempat Pancasila yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

Kemudian hal tersebut juga berhubungan dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan -merupakan sebuah kesatuan dari kepemimpinan ninik mamak (adat istiadat), alim ulama (agama), dan cerdik  pandai (ilmu pengetahuan/pemerintahan). Sebuah istilah yang sangat dekat dengan masyarakat Minangkabau. Istilah ini juga melekat dalam kegiatan memasak. Secara tradisional, peralatan memasak yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau memakai tungku yang biasanya terbuat dari batu. Tiga buah batu yang dibentuk menyerupai segi tiga sama sisi ini, merupakan dasar yang kokoh untuk menopang berbagai masakan yang dimasak di atasnya. Melalui proses tersebut maka nyala api dari kayu bakar yang disilangkan dalam tungku tersebut akan menjadi bagus. Makna falsafah adat di atas juga menggambarkan kondisi masyarakat Minangkabau yang demokrasi. Kayu-kayu bakar yang saling-silang di dalam tungku merupakan gambaran atas perbedan-perbedaan pendapat dikalangan masyarakat Minangkabau. Perbedaan perbedaan pendapat ini di musyawarahkan bersama-sama sehingga akhirnya menghasilkan sebuah keputusan. Tungku yang diumpamakan sebagai tiga unsur pimpinan di atas, sedangkan kayu merupakan gagasan, pendapat, dan nyala api itu adalah sebagai media diskusi, dan periuk yang isinya telah dimasak merupakan hasil keputusan mufakat (Suarman, 2000: 156).

Sekarang ini pemaknaan akan hal tersebut mulai luntur. Masyarakat kita mulai tidak menyadari akan pentingnya Tungku Tigo Sajarangan sebagai pola kepemimpinan yang ideal dalam masyarakat kita, sebuah bentuk kearifan lokal yang kita miliki. Kekayaan budaya yang kita miliki tersebut merupakan sebuah bentuk kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat. Ironi sekarang ini kepunahan pengetahuan yang menjadi basis adaptasi berbagai komunitas lokal, serta tekanan ekonomi yang makin menglobal mempengaruhi kehidupan masyarakat sehingga kearifan lokal mengalami pelunturan sebagai penyangga social (social buffer) bagi upaya kelestarian kekayaan budaya itu sendiri.

Menurut Purba dalam Marfai (2013: 33), kearifan atau wisdom dapat dipahami sebagai suatu pemahaman kolektif, pengetahuan dan kebijaksanaan yang mempengaruhi suatu keputusan penyelesaian atau penganggulangan suatu masalah kehidupan. Kearifan dalam hal ini merupakan perwujudan seperangkat pemahaman dan pengetahuan yang mengalami proses perkembangan oleh suatu kelompok masyarakat setempat atau komunitas yang terhimpun dari proses dan pengalaman panjang dalam berinteraksi dalam satu sistem dan dalam ikatan hubungan yang saling menguntungkan.

Saat ini hampir di setiap belahan dunia memberdayakan kekuatan lokal. Pembedaryaaan budaya lokal ini adalah suatu strategi untuk menghadapi kekuatan-kekuatan kebudayaan luar yang mulai memasuki negara yang sedang berkembang. Salah-satu upaya pemberdayaan lokal adalah upaya untuk memberi makna pada setiap karya budaya yang diciptakan oleh bangsa sendiri, termasuk pemaknaan pada nilai-nilai estetik yang selama ini telah menjadi kebudayaan benda. Pemaknaan nilai-nilai tersebut secara singkat dapat dikategorikan sebagai bagian dari upaya untuk memberdayakan karya budaya.

Kita tidak mungkin lagi membendung arus teknologi modern. Teknologi modern memainkan peranan penting dalam upaya memengaruhi fungsi dari pemaknaan suatu benda itu sendiri. Dalam keadaan ini unsur budaya itu mulai luntur atau hilang nilai-nilai keasliannya. Budaya rakyat itu membawa nilai-nilai tersendiri bagi masyarakat pemilik benda tersebut.

Akhirnya, mengarifi pemaknaan terhadap sebuah benda dan dimaknai kembali merupakan sebuah keharusan sebab memiliki banyak fungsi dan kegunaan dalam kehidupan kita ini. Mudah-mudahan dapat kita arifi nantinya. Wasalam. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Saksi Ahli Jaksa Justru Untungkan Dahlan

Satu Raksasa Harus Tersingkir