in

Satukan Regulasi Senjata Api

Peluru SAGL Polri Dititipkan ke Mabes TNI

Regulasi baru menjadi solusi polemik pengadaan senjata yang gaduh beberapa waktu belakangan. Solusi itu diambil setelah Menkopolhukam Wiranto memanggil sejumlah jajarannya kemarin (6/10), seperti Menhan, Kapolri, Panglima TNI, Bea dan Cukai, dan sejumlah lembaga lain ke kantornya. 

Regulasi baru itu akan menyatukan semua regulasi terkait senjata yang selama ini ada.
Wiranto mengisyaratkan bahwa peraturan mengenai senjata api yang dibuat sejak 1948 hingga saat ini berpotensi tumpang tindih. Cukup banyak aturan yang dibuat mengenai senjata api. 

’’Paling tidak ada empat undang-undang, satu perppu, satu inpres, empat peraturan setingkat menteri, satu surat keputusan,’’ terang Wiranto tanpa bersedia memerinci regulasi apa saja yang dimaksud. 

Banyaknya aturan tersebut berakibat munculnya perbedaan pendapat yang berkembang di berbagai institusi yang menggunakan senjata api. Pemerintah akan mengkaji ulang dan menata regulasi yang ada agar tidak tumpang tindih. ”Pengaturannya sampai kepada kebijakan tunggal, sehingga tidak membingungkan institusi yang menggunakan senjata api itu,” lanjut mantan Panglima ABRI tersebut.

Berdasarkan penelusuran Jawa Pos (Grup Padang Ekspres), peraturan yang terkait senjata api memang cukup banyak. Sedikit berbeda dari penjelasan Wiranto, Koran ini mendapati ada tiga UU yang berkaitan dengan Senjata Api dan masih berlahu hingga saat ini. Yakni, UU nomor 8 Tahun 1948, UU Darurat Nomor 12 tahun 1951, dan UU Nomor 16 Tahun 2012. 

UU yang khusus mengatur senjata api diatur dalam UU 8/1948 dan 12/1951. Sementara, UU 16/12 mengatur lebih luas, yakni tentag industri pertahanan. Di bawahnya, ada dua PP, satu Inpres, enam peraturan setingkat menteri, dan dua surat keputusan (lihat grafis). 

Pengaturan tentang senjata api sendiri pernah diusulkan dalam Prolegnas 2009-2014. Kala itu, Menkum HAM Amir Syamsuddin pada 2013 membentuk tim penyusunan naskah akademik RUU tentang senjata api dan bahan peledak. Namun, setelah naskah akademik tersebut selesai, tidak ada kelanjutan pembahasan RUU tersebut sampai sekarang.

Sementara itu, berkaitan dengan senjata Stand Alone Granade Launcher (SAGL) atau pelontar granat yang ditahan Bea Dan Cukai, Wiranto menjamin persoalan itu segera selesai. Panglima TNI segera mengeluarkan rekomendasi. ”Dengan catatan, amunisi tajamnya dititipkan ke Mabes TNI,’’ tutur Wiranto. 

Amunisi SAGL itu terdiri dari tiga macam. Masing-masing smoke (asap), gas air mata, dan peluru tajam. Amunisi tajam itu yang nanti dititipkan ke Mabes TNI. Bila dibutuhkan setiap saat, ada satu proses untuk mengeluarkannya. ’’Kami mohon institusi negara maupun masyarakat untuk memahami hal ini dan tidak lagi mengembangkannya di ruang publik,’’ tambahnya.

Pada bagian lain, polemik terkait impor senjata yang sempat mencuat pekan lalu, membuat Komisi I dan Komisi III berencana menggelar rapat gabungan (ratgab) untuk membahas hal itu. Namun, Wakil Ketua DPR Fadli Zon nampaknya belum sependapat dengan rencana ratgab itu.

”Memang ada gagasan tentang rapat gabungan antara Komisi I dengan Komisi III. Saya sudah bicara dengan pimpinan Komisi I maupun III dan juga pihak yang terkait di pemerintah. Tapi sebenarnya lebih bagus ini diselesaikan di pemerintahnya dulu,” kata Fadli usai bertemu Ketua Senat Polandia, kemarin.

Fadli menyebut rapat gabungan yang telah dicanangkan tersebut bertujuan mendinginkan suasana, terkait tudingan Panglima TNI terkait impor senjata dan fakta temuan senjata yang disita di Bandara Soekarno Hatta. Namun, sebelum suasana didinginkan, sebaiknya harus jelas duduk persoalan itu di internal lembaga pemerintah.

”Sebenarnya bolanya ada di pemerintah. Bagaimana dalam hal ini Presiden bisa menyelesaikan masalah ini,” ujarnya. Menurutnya, jika polemik tersebut bisa selesai setelah ditangani pemerintah, rapat gabungan tidak perlu lagi diadakan. Cukup dilakukan pembahasan dengan mitra kerja masing-masing.

Di sisi lain, Hasil pembahasan pengadaan senjata SAGL antara Kemenkopolhukam, TNI dan Polri ternyata masih menimbulkan setitik tanda tanya. Yakni, apa penyebab Polri harus menitipkan amunisi tajam dari senjata SAGL ke TNI.

Padahal, sebelumnya Dankorbrimob Irjen Murad Ismail menyebut bahwa amunisi tajam SAGL itu hanya ditujukan untuk memberikan kejutan agar musuh keluar dari persembunyiannya.

Teknisnya, amunisi tajam SAGL ini berkarakter peluru tabur.  Saat ditembakkan akan menyebar hingga membuat musuh yang sembunyi harus berpindah lokasi. Berbeda sekali dengan spesifikasi yang disebut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang bisa digunakan untuk menembus tank.

Kadivhumas Polri Irjen Setyo Wasisto tidak secara klir menjelaskan penyebab amunisi tajam itu harus dititipkan. Menurutnya, saat ini sedang dikaji kembali terkait senjata dan amunisi tersebut. ”Kelompok kerja (Pokja) yang  ini dipimpin Menkopolhukam yang mengkaji,” ujarnya.

Termasuk juga soal pengadaan SAGL pada 2015 dan 2016. Dalam pengkajian itu akan dikerucutkan soal regulasi persenjataan. ”Dikaji ulang juga pengadaan sebelumnya, lalu regulasinya diatur,” jelasnya.

Selama amunisi tajam dititipkan, Polri masih bisa untuk mengambilnya sesuai yang diperlukan. ”Kalau diperlukan kami lapor untuk mengambilnya, itu sudah yang terbaik, kita ikuti saja Menkopolhukam,” ujar jenderal berbintang tiga tersebut.

Yang pasti, SAGL itu akan digunakan dalam berbagai operasi dengan ancaman tinggi. Jika, polisi menghadapi ancaman tinggi dengan senjata, maka berhak pula polisi untuk menghadapinya dengan senjata tersebut. ”Ada dasar hukumnya sesuai konvensi PBB,” jelasnya.

Regulasi persenjataan untuk kepolisian yang dibuat PBB adalah Basic Principles on the Used of Force and Firearms by Law Enforcment Officials Adopted by Eight United Nation Congress on The Prevention of Crime and Treatment of Offenders, Havana, Cuba 27 Agustus to 7 September 1990. ”Sesuai regulasi itu polisi bisa menggunakan senjata untuk melindungi diri dan melindungi jiwa orang lain yang terancam,” ujarnya. 

Sementara Executive Vice Director of Partnership for Avancing Democracy and Integrity (PADI) M. Zuhdan menjelaskan, dalam konvensi PBB tersebut terdapat aturan bahwa polisi dalam menggunakan senjata harus meminimalkan dampak kerusakan, cedera dan harus menghargai kehidupan. ”Cara untuk bisa melakukannya dengan menganalisa tingkat kejahatan di Indonesia,” jelasnya. 

Jadi, kejahatan di Indonesia ini harus diprediksi kualitasnya. Apakah penjahat menggunakan senjata api, atau tidak. ” Dengan analisa itu kemudian barulah ditentukan senjata apa yang diperlukan kepolisian untuk bisa menaklukkan ancaman kejahatan,” ujarnya. 

Saat ini jarang sekali ditemui adanya tindakan kejahatan yang menggunakan senjata api. Barangkali ada beberapa kejadian, seperti terorisme dan pembegalan yang menggunakan senjata. Senjata itupun kebanyakan rakitan. ”Maka, kemudian apakah perlu melawan teroris dengan SAGL,” terangnya. 

Dia mengatakan, saat ini militer juga sudah mulai bergeser penggunaan senjatanya, yang awalnya perang teritorial menjadi perang yang melindungi manusia. ”Maka senjatanya mulai mengadaptasi hal tersebut. Lalu, mengapa justru polisi menggunakan senjata mengarah ke militer,” paparnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sebanyak 1.221 Kapal Hebohkan Festival Pesona Selat Lembeh 2017

Rita Tempati Rutan Baru