in

Tanah Adat Harus Diakui dalam Bentuk Sertifikat

BANDUNG – Tanah adat atau ulayat harus memiliki pengakuan, baik dalam bentuk sertifikat atau peraturan daerah setempat, yang menetapkan sebagai tanah cagar budaya. Hal itu diperlukan agar kasus sengketa tanah di Tanah Adat Cigugur Kuningan, Jawa Barat (Jabar), tidak terjadi di daerah lain.

“Praktik hukum tanah adat atau ulayat ini terkesan banci. Kalau masuk dalam hukum agraria harus diakui dalam sertifikat, padahal yang namanya tanah adat tidak banyak memiliki sertifikat,” kata pakar hukum dan pengamat budaya Jabar, Indra Perwira, menanggapi kasus eksekutif tanah adat Cigugur, Kuningan, di Bandung, Jumat (25/8).

Menurut Indra, kasus di Kuningan sudah lama disarankan agar Pemda Kuningan membuat Perda Cagar Budaya Cigugur. Dengan adanya perda maka tidak akan semena-mena pengambilalihan tanah adat bisa dilakukan atau disengketakan di pengadilan.

Namum, kasus ini sudah tingkat MA, agak terlambat kalau membuat perda. Menurut Indra, perda harus dibuat, untuk melindungi sisa kawasan tanah adat yang masih ada.

Cari Bukti Baru

Indra mengatakan jika ternyata muncul sertifikat tanah pada objek yang disengketakan, itu merupakan hal yang aneh. Komunitas adat Cigugur dapat menelusuri secara historis untuk menemukan bukti baru, terutama tentang keaslian sertifikat tanah tersebut.

“Ini kan sengketa internal, akan lebih baik diselesaikan secara musyawarah di antara tetua adat, cari win win solution. Saya sendiri melihat langsung statemen tertulis dari leluhur Cigugur bahwa tanah atau bangunan yang ada itu untuk keperluan komunitas, bukan untuk digunakan secara pribadi,” tegas Indra.

Untuk diketahui SK Direktur Direktorat Sejarah dan Purbakala Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No 3632/C.1/DSP/1976, telah menetapkan bahwa bangunan yang menjadi sengketa tersebut ditetapkan sebagai Cagar Budaya Nasional.

Namun di tahun 2009, terdapat Putusan Pengadilan Negeri Kuningan No 07/Pdt.G/2009/PN.Kng tanggal 18 Januari 2010 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No 82/Pdt/2010/PT.Bdg tanggal 5 Mei 2010 jo.

Putusan Mahkamah Agung RI No 2394K/Pdt/2010 tanggal 12 Januari 2012 jo. Putusan PK No 21 PK/Pdt/2014 tanggal 18 Juni 2014, yang memenangkan gugatan dari ahli waris pemilik lahan cagar budaya tersebut.

Pada 22 Februari 2017, sebagai bentuk perjuangan untuk mengembalikan hak atas tanah adat dan hutan adat, warga adat mengajukan gugatan Perlawanan/Derden Verzet terhadap putusan Peninjauan Kembali No 21PK/Pdt/2014, tanggal 18 Juni 2014 dengan perkara No 05/Pdt.Plw/2017/PN.Kng.

Alasannya, objek sengketa merupakan bagian wilayah cagar budaya sehingga perlu komunitas Kesatuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (Akur) Sunda Wiwitan, menggunakan hak hukumnya untuk menunda bahkan menolak eksekusi.

Apalagi, eksekusi ini bisa menimbulkan kerusakan, baik fisik maupun nilai-nilai yang menyertai cagar budaya tersebut. Bagaimanapun, bangunan tersebut tidak bisa dipisahkan dari nilai sejarah komunitas adat.

Adapun objek sengketa merupakan tanah komunal Mayarakat Akur Sunda Wiwitan berdasarkan amanat pendiri komunitas. tgh/N-3

What do you think?

Written by virgo

Pertahankan Juara Umum, Palembang Mulai Bentuk Manajer Cabor

Februari 2018, Dana PKH Tahap 1 Cair