Ratusan orang berkumpul di depan Istana Merdeka Jakarta, kemarin. Mereka menuntut pemerintah memenuhi janji menyelesaikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Tidak jauh beda dengan 499 aksi sebelumnya, Aksi Kamisan digelar dalam diam, dengan payung dan pakaian serba hitam, diikuti para korban, keluarga korban pelanggaran HAM serta aktivis dan anak muda.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sepertinya masih memandang sebelah mata 500 kali aksi yang rutin digelar setiap Kamis sore itu. Padahal angka 500 bukan sepele. Aksi 500 kali sama dengan aksi 10 tahun tanpa henti. Bagi sebagian orang atau pejabat, mungkin aksi rutin yang digelar sepekan sekali sejak 18 Januari 2007 itu merupakan hal yang membosankan atau membuat risih pemandangan. Atau mungkin karena terlalu sering, para pejabat menjadi kebal dan menganggapnya rutinitas yang tak berarti.
Namun bagi masyarakat yang peduli, 500 kali adalah kesungguhan dan totalitas menuntut keadilan. Serta menolak membiarkan pemerintah lupa terhadap hutang-hutang sejarah masa lalu. Aksi Kamisan adalah adu kesabaran terhadap pemerintah yang selama ini menyepelekan suara-suara para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu.
Seiring waktu, sebagian peserta aksi Kamisan, korban beranjak tua. Rambut memutih, fisik melemah, mungkin ada yang sudah meninggal sebelum menjumpai keadilan. Namun, di sisi lain banyak muka-muka baru dari anak muda yang peduli terhadap dosa-dosa kemanusiaan dan utang sejarah yang harus tetap dilunasi oleh negara.
Lima ratus kali aksi Kamisan menjadi bukti keadilan adalah barang langka di negeri ini, yang tidak boleh berhenti dicari. Dan tak sekali pun pemerintah tergerak. 500 kali aksi Kamisan, bukan yang terakhir dan tidak akan berakhir. Entah butuh berapa kali aksi lagi sampai ada jawaban yang memuaskan para korban.