in

’’Kota Mandiri’’ di Siosar, Reinkarnasi Desa-Desa yang Ditenggelamkan Letusan Sinabung

Babi Hutan Sesekali Muncul dari Hutan di Belakang Rumah

Ratusan keluarga korban letusan Sinabung di Siosar mendapatkan rumah dan lahan garapan. Tapi, mereka harus menghadapi kendala minimnya air, jauhnya sekolah, dan tanah yang belum siap ditanami.    

Dari sebuah kedai kopi kecil di pojok kompleks Desa Simacem, Gunung Sinabung terlihat sesekali memuntahkan debu dan awan panas ke udara. Lalu jatuh meluncur ke bawah.  

Ingan, Jon Ferry, Rajin Sitepu, dan beberapa warga yang lain bisa menonton pertunjukan alam tersebut tanpa perasaan khawatir. Simacem yang berada di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, itu sudah pindah 27 kilometer dari asalnya dulu. 

Persisnya di Siosar. Jauh dari jangkauan kemarahan Sinabung. Desa mereka dulu hanya berjarak kurang dari 1,5 kilometer dari puncak.  

”Tampak titik hijau sikit? Itulah kampung kami,” kata Ingan sambil menunjuk ke arah titik hijau kecil di antara lautan pasir yang menyelimuti sekujur lereng timur dan tenggara Sinabung Rabu lalu (18/10).

Pasukan Zeni TNI-AD, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dan Pemerintah Kabupaten Karo membabat 467 hektare hutan lindung Siosar untuk membuka kawasan tersebut bagi para pengungsi Sinabung. 

Ada tiga desa yang tereinkarnasi alias dibangun kembali di sini. Desa Bekerah terletak paling depan di dekat gerbang masuk kawasan Siosar. Disusul Desa Simacem di sebelah barat serta Desa Suka Meriah di sebelah timur. 

Tiga desa itu lenyap ditelan awan panas Sinabung. Saat ini desa tersebut tenggelam di bawah tumpukan pasir letusan gunung yang terus menggeliat sejak Agustus 2010 itu. 

Hutan Siosar terletak dalam kompleks pegunungan Sibuatan. Bisa dicapai dengan satu jam berkendara dari ibu kota Kabupaten Karo, Kabanjahe.   

Beberapa tahun lalu, kawasan tersebut hanya terlihat sebagai rumah-rumah petak kecil berwarna hijau dengan jalan-jalan lumpur yang ditumpuki kayu dan batu. 

Saat ini, kawasan huntap (hunian tetap) Siosar sudah mirip seperti sebuah kota mandiri. Aspalnya mulus. Sebagian besar bangunannya juga baru. Dengan panorama indah berlatar belakang Gunung Sinabung. 

Ada hiasan atap dan ornamen khas rumah adat Karo di setiap pendapa, balai pertemuan, gapura, dan fasilitas-fasilitas publik lain. Ada dua masjid dan dua gereja untuk beribadah. Serta satu puskesmas di tiap-tiap desa. 

Siosar memang harus benar-benar mandiri. Sebab, halaman belakang rumah-rumah warga berbatasan langsung dengan hutan belantara. Babi hutan masih sesekali muncul dari pepohonan. Desa terdekat, Kacinambun, berjarak sekitar 10 kilometer ke utara.

Pada Rabu siang saat Jawa Pos mampir ke sana, desa tampak lengang. Mayoritas tengah sibuk di ladang. Cuma ada beberapa pekerja yang sibuk dengan galian pipa air. 

Tapi, pada tengah hari, Ingan dan bapak-bapak lain biasanya mampir di kedai untuk sekadar melepas lelah. Ingan sendiri menanam kentang. Dia curhat kentang tanamannya jadi semakin kerdil. ”Bulan lalu segini, sekarang segini,” katanya sambil memperagakan telapak tangan naik dan turun. 

Menurut warga setempat, kondisi tanah memang belum siap untuk ditanami. Selain itu, air masih lumayan sulit didapatkan. 
Selama ini memang sudah ada tandon air besar di titik tertinggi kompleks. Diambilkan dari parit yang berasal dari atas pegunungan. Hanya, debit air terlampau kecil. Cuma mengalir ke rumah warga di jam-jam tertentu.

Bagi yang butuh air lebih banyak, harus menampung air hujan dengan jeriken-jeriken. Atau berjalan menembus belantara menuju mata air. Yang terdekat 7 kilometer. ’’Ada yang jauhnya 15 kilometer,” lanjut Ingan. 

Selain mata air, yang jauh dari jangkauan Siosar adalah sarana pendidikan. Hanya ada satu PAUD dan satu gedung SD. Itu pun belum beroperasi penuh. Anak-anak warga pengungsi Sinabung yang beberapa lama putus sekolah juga harus bekerja keras menyambung pendidikan mereka. 

SMP terdekat ada di Desa Kacinambun, 20 menit berkendara dari Siosar. SMA terdekat berada di Kecamatan Kabanjahe, 45 menit berkendara. Tak ada angkutan umum. 

Syukurlah pemerintah memberikan bantuan dua unit bus mini DAMRI ulang-alik yang mengantarkan anak-anak sekolah. Atau juga ibu-ibu yang ingin berbelanja ke kota. 

Tapi, tentu saja masih banyak butuh kesabaran. Kepala Desa Simacem Senen Sitepu merasa dua unit bus belum cukup ideal untuk melayani warga tiga desa. ’’Itu (bus, Red) kalau balik siang-siang, bisa naik 70 orang. Desak-desakan sampai atap pula,” katanya. 

Padahal, kondisi jalanan sepanjang kecamatan kota menuju Siosar terdiri atas tanjakan dan turunan curam. Dilengkapi tikungan-tikungan tajam. Kalau hujan, kondisi tambah bahaya. ’’Ya minimal empat bus. Biar buat cadangan juga,” kata Senen. 

Trio kepala desa, Senen Sitepu, Kasman Sitepu, dan Yani Ginting, juga masih mengusahakan pembangunan jaringan pipa air yang terintegrasi. Air dari berbagai sumber akan ditampung dalam kolam, kemudian dipompa ke tandon di titik tertinggi kompleks, lantas dialirkan ke rumah-rumah warga.

Menurut Kasman Sitepu, kepala desa Bekerah, urusan air harus segera selesai. Sebab, air adalah kebutuhan utama. Saat ini masih ada warga yang gontok-gontokan soal air. Pada jam air mengalir, warga yang tinggal di tanah tinggi sering jengkel karena rumah-rumah di bawahnya tidak menutup keran air mereka.

Menurut Kasman, wajar warga masih sembarangan menggunakan air. Tarifnya saja masih flat. ”Iuran kita masih rata, 40 ribu sebulan. Mau pakai air sedikit atau banyak,” kata Kasman. 

Solusinya, lanjut Kasman, adalah memfungsikan meteran yang ada di tiap rumah. Lalu, menerapkan tarif berdasar pemakaian. Saat ini di masing-masing rumah sudah ada meteran. Tapi, meteran tersebut belum banyak berfungsi. ’’Kalau pakai meteran, rumah di bawah buka keran air terus-terusan, tarif dia kan bengkak?” ujarnya.   

Ada 473 kepala keluarga (KK) yang menempati Siosar. Atau kurang lebih 1.000 jiwa. Setiap KK mendapatkan satu petak rumah ukuran 6 x 6 meter dengan satu kamar tidur dan satu kamar mandi.

Ada halaman tak seberapa luas di sekeliling tiap rumah. Tiap KK juga mendapatkan setengah hektare lahan garapan. Sesuai perjanjian awal dengan pemerintah, tanah diganti tanah dan rumah diganti rumah. Ganti rugi disesuaikan dengan kepemilikan aset di kampung asal. 

Ini menimbulkan masalah di kemudian hari. Ada warga yang punya tanah, tapi tak punya lahan. Ada pula warga yang punya lahan, tapi tak punya rumah. Akhirnya mereka terpaksa menumpang di rumah tetangga. ’’Lah mau bagaimana lagi, di kampung asal mereka memang tak punya rumah,” kata Kasman.

Saat ini ada 103 KK dari tiap-tiap desa yang tidak punya rumah tapi punya lahan. Plus 22 KK yang punya rumah tapi tak punya lahan. Golongan yang terakhir ini tidak kalah sengit menuntut-nuntut pada kepala desa. Kasman yang pening hanya bisa menggerutu. 

Menurut dia, mekanisme BNPB salah kaprah. Ada beberapa orang yang punya rumah di kampung asal, tapi tidak terdampak Sinabung lantaran mereka tinggal di Medan atau Jawa. Orang-orang tersebut malah dapat ganti rumah. ’’Jadi, ini penanggulangan warga terdampak atau penanggulangan aset?” keluh Kasman.   

Tentu saja, dengan segala fasilitas dan kerja keras, tinggal di Siosar harus serbasabar. Alvin Sembiring, misalnya, yang tidak meladang. Dia bekerja sebagai tukang bangunan. Warga Desa Suka Meriah tersebut membantu warga lain yang ingin membangun kamar mandi, memperluas ruang tamu, membikin teras warung, sampai plengsengan depan rumah.

Alvin mengeluhkan yang didapat pengungsi yang tidak sesuai dengan harapan. Dijanjikan rumah 6 x 8 meter dengan dua kamar. Nyatanya, mereka mendapatkan 6 x 6 meter dengan satu kamar. ’’Kamarnya hadapan sama kamar mandi pula,” ucap Alvin.
Dulunya, kata Alvin, sebagai iming-iming agar mereka mau ’’naik ke atas”(pindah ke Siosar), air dan listrik dijanjikan beres. Tapi, yang didapatkan justru jauh dari harapan. 

Udara dingin, air kurang. Atap-atap seng bergetar keras sepanjang malam ditiup angin, lalu terbang pada pagi harinya. Warga juga mesti waspada setiap musim hujan. Sebab, tanah-tanah yang berbukit tidak memiliki pohon untuk menahan erosi tanah. 

Kalau demikian keadaannya, menurut Alvin, tidak ada artinya pemandangan desa yang indah. ’’Pemandangan saja indah. Masak ko mau makan pemandangan?” keluhnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Ronaldo lagi, Ronaldo lagi

Kepala Daerah Diminta Pintar Belanja