“Setujuuu…!” Begitu suara seluruh anggota DPR saat pimpinan Sidang Paripurna, Utut Adianto menanyakan usulan revisi kedua UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .
Biasa bagi DPR, tapi bak petir di siang bolong bagi publik, pun KPK, dan pegiat antikorupsi. Usulan itu begitu mendadak, bahkan KPK tidak mengetahuinya. Padahal, KPK adalah pihak paling berkepentingan dengan UU itu. Belum ada yang tahu persis apa alasan usulan mendadak DPR tersebut. DPR mengklaim tidak ada niat melemahkan lembaga antirasuah dengan revisi tersebut. Siapa yang percaya? Faktanya sudah ada ratusan politisi terjerat korupsi.
Rencana revisi itu sebetulnya bukan pertama disampaikan, bahkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, publik, pegiat antikorupsi dan KPK terus menentangnya. Revisi itu diduga kuat bakal mengebiri wewenang KPK, yang hadir karena lembaga penegak hukum lainnya tak bertaji.
Kekhawatiran itu terbukti. Jelang akhir masa jabatannya DPR mewujudkan rencana revisi itu secara… abakadabra! Salah satu poin yang jadi sorotan: SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan, yang tidak ada di UU sekarang. Belum lagi soal wewenang penyadapan dan keberadaan dewan pengawas KPK. KPK terang saja menolak. Karena saat ini tidak ada urgensi mengubah beleid itu. Revisi ini tak masuk RUU prioritas dalam Prolegnas lho!
Kini, nasib pemberantasan korupsi kembali ada di tangan Presiden Jokowi. Caranya, adalah mendesaknya untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) kepada DPR. Pasal 20 UUD 1945 menyebut, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR. Tanpa Surpres, proses pembahasan tidak akan dapat dilakukan. Tapi, apa kita bisa mengandalkan Presiden kali ini? Wong soal seleksi capim KPK saja, Jokowi seolah tutup mata meski ada calon yang diduga tidak berintegritas.
Kita tunggu saja. Tapi kita sungguh tak sudi genderang perang melawan korupsi melemah atau dilemahkan.