CATATAN ARSWENDO
Saya tak bisa menyembunyikan kecemasan melihat “berita” di medsos bahwa Bapak Joko Widodo memilih naik kereta api dari Stasiun Tanjung Barat menuju Bogor. Di jam sibuk itu, saat para komuter Bogor–Jakarta pulang kerja, juga di hari itu (Rabu 6/3) nampak kereta penuh. Kereta Rel Listrik, KRL, begitu nama yang saya ingat ketika diresmikan, menjalani rute tetap Jakarta–Bogor bolak-balik.
Saya pernah menjadi pengguna tetap ketika tinggal di Depok— masih belum ada nama stasiun Depok Baru atau Depok Lama. Saya merasa tahu betul bahwa di dalam gerbong kereta, bukan hanya susah mencari tempat duduk, melainkan bahkan berdiri saja susah. Membuka atau memakai jaket nyaris bersentuhan dengan penumpang lain.
Saya membayangkan suasana yang sangat tidak mendukung keselamatan Bapak Presiden. Kereta pastinya akan berhenti di banyak stasiun sebelum sampai Bogor. Pada saat kereta berhenti dan penumpang naik turun, gesekan atau senggolan bisa terjadi. Saya membayangkan dan merasa makin cemas. Akhirnya, saat itu juga saya menuliskan untuk Surat Pembaca—rubrik yang paling tepat menghubungkan pembaca dengan redaktur.
Alasan kurang lebihnya Pak Jokowi tak perlu “blusukan” menjadi penumpang kereta. Risikonya terlalu besar, kalau-kalau…. Meskipun saya juga sadar sepenuhnya, siapa yang bisa memberi nasihat kepada Bapak Presiden dalam soal begini ini. Tengah malam berduaan dengan sopir pun dijalani ketika berkunjung ke suatu daerah di Jawa Tengah.
Meskipun menurut saya, faktor keamanan dalam kereta api lebih susah diperhitungkan.
Kamis kemarin, Surat Pembaca dimuat, dan untuk pertama kalinya menerima respons terbanyak dari sebuah tulisan. Intinya: saya tak usah terlalu cemas, nasib manusia sudah ada yang mengatur. Jenis kedua membenarkan kecemasan saya, dan juga menyarankan kecemasan ini cukup sampai di sini saja. Ada varian lain yang mengatakan saya “orang bayaran”, apa lagi dalam situasi politik seperti ini.
Saya kira dalam situasi mana pun, berbaur bersama penumpang dalam perjalanan kereta api dan berhenti di banyak stasiun, sama juga mengundang bahaya. Sebaiknya dihindarkan. Cukup sekali ini saja. Pastilah sebelumnya sudah banyak pertimbangan yang kurang lebih sama.
Antara jangan naik kereta atau kapan-kapan saja dengan persiapan lebih matang. Tapi kesimpulan mana pun juga, kalau Pak Jokowi mantap melakukan, siapa yang bisa menghentikan. Dalam Surat Pembaca itu, saya mengandaikan bahwa yang bisa melarang, yang bisa menghentikan hanyalah ibunya, Ibu Sudjiatmi. Dan yang pasti Ibu Sudjiatmi sudah menasihati jika memang harus dinasihatkan.
Kini sudah Sabtu, dan masih ada saja yang memberi tanggapan peristiwa itu. Saya senang ternyata masih banyak orang yang memikirkan hal lain selain kepentingannya sendiri, dan menyuarakan, dan mendebatkannya. Saya tidak merasa sendirian ketika menuliskan Surat Pembaca dan mengulangi menjelaskan di rubrik ini.