ACEHTREND.CO,Banda Aceh – Ahli hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Prof. Dr. Rahayu mengatakan untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM di Aceh bisa diselesaikan dengan kearifan lokal.
“Setahu saya di Aceh itu ada kearifan lokal yang menarik untuk digali. Dengan kearifan lokal kita bisa saling memaafkan kesalahan, yang dengan demikian, kita bisa bertekad untuk tidak mengulanginya pada masa depan,” katanya saat memberikan kuliah umum di Aula Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Jumat (22/9/2017).
Kuliah Umum ini dibuka oleh Wakil Dekan I Dr. Azhari Yahya dengan tema Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Kerangka Hukum Nasional Indonesia.
Menurut Rahayu, yang juga guru besar ilmu hukum Universitas Diponegoro, dalam menyelesaikan persoalan HAM ada kewajiban negara karena posisi negara sebagai pemangku kepentingan.
“Secara filosofis, HAM inherent pada manusia, dan manusia memperoleh haknya langsung dari Tuhan. Dalam hal ini, dikenal yang namanya asas obligations erga omnes, bahwa penghormatan dan penegakan HAM adalah bagian dari kewajiban negara untuk melindungi kepentingan umat manusia,” kata Rahayu.
Namun demikian, Rahayu menegaskan bahwa secara politis, HAM juga sering menjadi komoditi politik dan ekonomi internasional.
Sebab katanya, dengan bantuan arus lalu lintas informasi yang semakin tidak terbendung dan dapat menyaksikan bagaimana isu HAM itu bisa menjadi komoditas politik dan ekonomi internasional.
Terlepas dari kepentingan demikian, menurutnya penguasa negara manapun tidak bisa mengkotak-kotakkan diri dalam bertanggung jawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya.
Karena siapapun yang menjadi penguasa transisi atau pada era yang sudah mapan, turut bertanggung jawab terhadap berbagai keadaan masa lalu yang pernah terjadi.
Dengan pikiran demikian, Rahayu menegaskan posisi negara sebagai pemangku kepentingan. Makanya pihak yang terikat secara hukum dalam pelaksanaan HAM adalah negara.
Negara sebagai pemangku tanggung jawab, sedang individu dan kelompok masyarakat adalah pemegang hak.
Di samping itu, negara tidak memiliki hak, tapi hanya memikul tanggung jawab memenuhi hak warganya.
“Makanya jika negara tidak mau atau tidak punya keinginan memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka negara telah melakukan pelanggaran HAM,” kata Rahayu, tegas.
Menurut Rahayu, yang penulis buku Hukum dan Hak Asasi Manusia (2015), negara harus bertanggung jawab tidak hanya untuk masa tertentu, melainkan juga untuk masa lalu. Dalam konteks ini, hak asasi manusia, menurutnya tidaklah kadaluarsa.
Masalah hak asasi manusia harus diselesaikan agar tidak menanggung beban sejarah. Namun ia memberi catatan, bahwa penyelesaikan kasus masa lalu harus benar-benar bijak, supaya malah tidak menimbulkan masalah baru.
“Berbagai kesalahan masa lalu itu harus diselesaikan secara bijak. Kita harus mendengar banyak pihak dalam menyelesaikan masalah harus ada keinginan semua pihak, sekali lagi bahwa kita harus ingat bahwa penyelesaian itu agar generasi kemudian tidak menanggung beban sejarah,” kata Rahayu.
Ia mengingatkan bahwa penyelesaian harus benar-benar akan menyembuhkan luka lama, bukan membangkitkan luka lama. Dengan menyadari ada luka itulah, secara bersama ada komitmen untuk tidak pernah terulangi lagi.
“Makanya proses semacam KKR itu tidak semata persoalan normatif, tapi juga sosiologis, yakni bagaimana kita memahami kultur dalam masyarakat.” katanya.
Dia menjelaskan, KKR di Indonesia pernah diupayakan dibentuk di Indonesia setelah berakhirnya Era Orde Baru (Mei 1998).
Indonesia masuk babak transisi dengan membangun perangkat sistem demokrasi, yaitu penghormatan kepada HAM & supremasi hukum.
Mandat era transisi antara lain menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa Orba sejalan dengan konsep keadilan transisi.
Menurut Rahayu, sejumlah dasar hukum antara lain lahirnya Tap MPR No. V/2000 yang mewajibkan pembentukan KKR dengan tugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau. Sejalan dengan itu, dilaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
“Berdasarkan dasar hukum tersebut, sejumlah UU yang lahir antara lain UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), UU Otsus Papua (UU No. 21/2001), UU KKR (UU No. 27/2004) yang telah dijudicial review dan dinyatakan tidak berlaku, serta UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006), ” katanya.
Kategori pelanggaran HAM
Dengan merujuk pada UU HAM, Rahayu menyebutkan bahwa yang disebut pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Menurutnya, pelanggaran bisa vertikal yang dilakukan aparat negara terhadap warga negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun pelanggaran juga bisa horizontal, yang terjadi antar warga negara, korporasi bisnis terhadap masyarakat. “Khusus untuk pelanggaran berat HAM, itu dilakukan secara sistematis dan/atau meluas,” katanya.
Pengertian pelanggaran HAM dari konsep UU HAM, jelas bahwa pelanggaran HAM selalu dikaitkan dengan elemen keterlibatan negara, karena subyek penanggung jawab HAM adalah negara. Kategori pelanggaran bisa terjadi karena perbuatannya sendiri (by commission) maupun karena kelalaiannya (by ommission).
“Pelanggaran HAM adalah tindakan penyelewengan atau penyalahgunaan otoritas negara yang mengancam dan melanggar HAM, baik berupa kebijakan atau pun tindakan langsung,” ujarnya.
Terkait dengan KKR, menurutnya sudah lama dibicarakan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, KKR merupakan fenomena yang timbul di era transisi politik dari rezim otoriter ke rezim demokratis, berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh rezim sebelumnya. “Pemerintah transisi berusaha mendamaikan dua kubu, antara kecenderungan menghukum dan memaafkan.
Upaya jalan tengah diharapkan akan memuaskan semua pihak. Proses ini dilandasi oleh kesadaran pentingnya mengusut, mengungkap kebenaran dan minta pertanggungjawaban rezim masa lalu yang melakukan kejahatan kemanusiaan,” ungkap Rahayu, yang menyebutkan sejumlah negara sudah pernah melakukan ini antara lain Argentina, Uganda, dan yang paling berhasil di Afrika Selatan.
Secara akademis, menurutnya banyak masalah yang harus dibuktikan ketika berbicara penyelesaian masalah masa lalu. “Keterbatasan bukti formal dan material. Bisa jadi juga ada keraguan proses peradilan dapat berjalan netral. Termasuk ada kekhawatiran terjadinya kudeta atau pemberontakan oleh pihak yang terancam uuntuk melemahkan kekuasaan,” katanya.
Dengan situasi itulah muncul dorongan untuk menawarkan KKR ini. Namun ia mengingatkan belum adanya definisi khusus tentang KKR. “Secara akademis, rekonsiliasi itu sebagai usaha memperbaiki hubungan sosial, politik, dan psikologis antar warga negara akibat tindakan negara yang tidak adil atau tidak manusiawi.
Syaratnya adalah mengungkapkan kebenaran,” katanya lagi.
Ide dasar KKR adalah rekonsiliasi antara pelaku dan korban, serta mengungkapkan kebenaran terhadap semua peristiwa secara menyeluruh, serta turut memberi kesempatan kepada korban untuk berbicara dan menerima penjelasan tentang kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kejahatan masa lalu.
Dasar Hukum Kuat
KKR di Indonesia pernah diupayakan dibentuk di Indonesia setelah berakhirnya Era Orde Baru (Mei 1998). Indonesia masuk babak transisi dengan membangun perangkat sistem demokrasi, yaitu penghormatan kepada HAM & supremasi hukum. Mandat era transisi antara lain menyelesaikan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan penguasa Orba sejalan dengan konsep keadilan transisi.
Menurut Rahayu, sejumlah dasar hukum antara lain lahirnya Tap MPR No. V/2000 yang mewajibkan pembentukan KKR dengan tugas menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau. Sejalan dengan itu, dilaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai bangsa.
Berdasarkan dasar hukum tersebut, sejumlah UU yang lahir antara lain UU Pengadilan HAM (UU No. 26/2000), UU Otsus Papua (UU No. 21/2001), UU KKR (UU No. 27/2004) yang telah dijudicial review dan dinyatakan tidak berlaku, serta UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006).