in

Akrobatik Politik

Biasanya dua tahun sebelum pemilihan umum presiden dan parlemen, para aktor politik melancarkan berbagai jurus politik. Kalau aktor politiknya pemerintah dan elite partai politik, agenda politiknya bagaimana kekuasaannya langgeng dan menang lagi. Kalau aktornya elite media, bagaimana medianya eksis dalam masyarakat. Kalau aktornya masyarakat sipil (civil society), maka aktivitasnya selalu mengatasnamakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Ketiga aktor politik ini sepertinya berebut popularitas dalam menuju pemilihan umum.

Di negara-negara demokrasi yang sudah matang, agenda dan aktivitas politik bukan sekadar popularitas, tapi orientasi politik bagaimana membangun negara dan memakmurkan masyarakat. Oleh sebab itu, aktor politik di negara demokrasi modern seperti Amerika, mereka mengolah dan menganalisis isu-isu politik secara akademik. Isu politik yang mereka kemas bersifat informatif, edukatif, logis, argumentatif dan selalu menjunjung tinggi etika dan norma politik dalam melakukan komunikasi politik. 

Output dari isu politik tersebut, mereka analisis secara akademik, lalu dijadikan pijakan untuk merancang strategi dan agenda politik guna memenangkan pertarungan politik dalam pemilu. Dalam proses demokrasi ini yang lebih menonjol adalah pendidikan dan sosialisasi politik.

Hal yang sama juga dirasakan di Indonesia, aktor politik melakukan komunikasi politik dengan mengusung beragam isu politik dan hukum. Ini erat kaitannya dengan agenda demokrasi yaitu, tahun 2018 pemilihan beberapa kepala daerah dan tahun 2019 pemilihan umum serentak presiden dan parlemen. 

Aktor politik nasional sudah melempar isu-isu politik dan hukum yang terkadang bersifat akrobatik. Mereka menggunakan media (mainstream dan sosial) sebagai alat komunikasi politik. Namun isu politik dan hukum yang mereka publish kurang mendapatkan respons positif masyarakat. Ini berbeda dengan aktor politik di negara-negara demokrasi modern yang lebih berorientasi pendidikan dan sosialisasi politik. 

Berdasarkan uraian tersebut, maka muncul pertanyaan mengapa terdapat perbedaan antara aktor politik Indonesia dan negara demokrasi baru dengan aktor politik di negara demokrasi maju? Lalu, bagaimana mengatasi akrobatik politik, sehingga helat demokrasi 2018 dan 2019 berjalan sesuai koridor demokrasi. 

Ada dua variabel utama yang diduga memiliki korelasi signifikan dengan akrobat politik di Indonesia.

Partai Politik

Pengelolaan organisasi partai politik memiliki kesamaan dengan organisasi lainnya, yaitu sama-sama ada individu, tujuan bersama, pemimpin, komuniksi, dan sebagainya. Namun organisasi partai politik memiliki kekuatan politik yang dapat mempengaruhi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, secara teoritis (da sein) elite partai politik mesti memahami fungsi partai politik, sebagai alat meraih kekuasaan secara fair. Elite partai politik mesti membangun komunikasi politik yang sehat dan dinamis dengan konstituen dan massa seluas-luasnya. Pimpinan partai politik mesti melakukan fungsi partai politik dengan terstruktur dan terukur. Fungsi pertama, pimpinan partai politik harus memiliki data base jumlah dan kualitas anggota atau konstituentnya. Analisis data base sangat diperlukan untuk perancangan program dan strategi serta agenda politik partai sekaligus penambahan anggota partai. Jumlah dan kualitas konstituen mesti jadi prioritas utama pimpinan partai politik. 

Kedua, setelah rekrutmen kader partai, langkah selanjutnya melakukan proses transfer of knowledge terhadap anggota partai politik. Proses ini seringkali disebut pendidikan politik. Bagian lain dari proses tersebut adalah diskusi politik bersifat edukatif dan berkelanjutan. Dilakukan secara baik dengan konstituen maupun massa yang belum menentukan pilihan politik. Harapannya, konstituen semakin mantap kesetiaannya. Bagi warga yang belum menentukan pilihan politiknya tertarik bergabung. 

Materi diskusi tentu berkaitan dan relevan dengan kebijakan partai, isu-isu berkaitan kebijakan pemerintah dan isu sosial lainnya. Melalui pembahasan kebijakan negara dan berbagai isu kenegaraan yang penting, partai politik sesungguhnya telah melaksanakan proses pendidikan politik. 

Rekrutmen dan pendidikan  politik adalah medium untuk menentukan tingginya kualitas kepemimpinan politik. Semakin berkualitas kader partai, tentu semakin besar pula peluang lahirnya pemimpin bangsa yang berkualitas. Outcome di kalangan anggota partai adalah bagaimana partai politik mampu mengelola partai dengan baik, bukan hanya sebelum pemilu saja, tapi sepanjang masa. 
Sistem di Indonesia mensyaratkan para calon dicalonkan partai politik, untuk mengikuti proses pemilu. Partai politik menjadi satu-satunya jalan meraih kedudukan atau jabatan yang merupakan hasil pemilihan tersebut. Oleh sebab itu, kualitas pemimpin partai politik, kader yang duduk di eksekutif dan legislatif sangat ditentukan proses rekrutmen politik dan pemimpin. 

Ketiga, bagian yang mesti dilakukan pimpinan partai politik adalah menyerap aspirasi masyarakat. Partai politik menyerap pandangan, ide, dan pemikiran masyarakat berkaitan isu-isu politik seperti perubahan UU Politik, UU Ormas, penegakan hukum, korupsi, dan isu sosial kemasyarakatan lainnya. Informasi tersebut diolah dan disimpulkan bukan hanya untuk bargaining politik dengan pemerintah, tapi sekaligus jadi informasi dan data valid untuk bahan pertimbangan penting dalam membuat keputusan dan kebijakan politik partai. 

Dengan berbagai kegiatan inilah sesungguhnya setiap partai politik telah melaksanakan fungsinya sebagai penghubung rakyat dengan pemerintah, baik dalam pengertian positif maupun negatif.

Keempat, bagaimana partai politik mampu mendorong dan meningkatkan partisipasi politik warga negara. Partisipasi di sini bukan sekadar pemungutan suara, tapi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bagaimana warga dapat menyatakan perlawanan akan suatu kebijakan pemerintah yang dianggap tidak prorakyat. Menyuarakan suatu isu politik terkini, baik kepada pembuat keputusan. Membuat opini di media. Unjuk rasa juga bukanlah sesuatu yang tabu dalam alam demokrasi. Masyarakat berharap dengan adanya pola partispasi politik modern ini, mereka dapat menyatakan pendapat dan pandangan mereka mengenai isue politik yang sedang hangat kepada fungsionaris partai, pemerintah atau kepada pembuat keputusan. 

Perubahan pola partisipasi politik ini, terutama dalam kalangan anak muda menuntut kejelian dan kepintaran partai politik merebut suara warga pemilih mengambang. 

Merujuk perkembangan dan kemajuan sains dan teknologi terutama dalam bidang komunikasi dan informasi, maka fungsi kelima partai politik adalah mendorong kader menguasai ICT dan internet. 

Elite politik dapat melakukan komunikasi dengan konstituen secara cepat, tepat dan rendah biaya. Sejalan dengan itu, pimpinan partai mesti mengelola partai dengan sistem manajemen modern yaitu, good governance dan good government dengan prinsip transparansi dan akuntabel. 

Pelaksanaan fungsi partai politik diharapkan dapat menjawab tesis Dahlgren (2011), bahwa  di antara persoalan yang dihadapi negara-negara demokrasi sekarang adalah munculnya sikap apatis warga terhadap politik. Warga negara melihat parti politik sudah stagnant, bersifat reaktif, tidak inspiratif. Makanya banyak warga tidak tertarik berpartisipasi, tidak mau ikut anggota partai. Mereka sangat skeptis, frustrasi melihat kondisi politik, sinis terhadap perilaku elite. 

Media 

Media memiliki makna yang sangat penting dalam dunia politik (McNair 2011). Pasalnya media menghubungkan antara kata-kata dengan dunia. Oleh sebab itu, komunikasi politik dalam negara yang menganut sistem politik demokratis lebih menekankan pada bagaimana menggunakan media dalam aktivitas politik. Bahkan para ahli komunikasi menyatakan, bahwa media massa merupakan pilar keempat, setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam pemikiran Trias Politika, Motesque. Hal ini juga ditegaskan Thomas Carlyle (1907), “the media is a power, a branch of government with a inalienable weight in law-making, derive from the will of the people”.

Di lain sisi, hubungan antara media dan negara dalam negara-negara demokrasi baru lebih kompleks bahkan pada saat yang sama, menurut Morris dan Waisbord (2001); Harge et.al. (2002) media sendiri sering tidak dapat bertahan hidup tanpa subsidi negara. Hal ini sangat mungkin mempengaruhi kemampuan mereka mengkritisi pemegang kekuasaan politik. Paradoksnya, kemampuan media menjaga akuntabilitas demokratis akhirnya tergantung pada institusi politik. 

James Curren (2002) menyatakan ada tiga peran media massa dalam sistem politik demokrasi; pertama sebagai watchdog, artinya media memonitor semua aktivitas negara dan berani mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan. Agar peran ini optimum, diperlukan adanya free market dan pelonggaran regulasi untuk media. Kedua, media mesti mampu memberikan saluran komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Media harus membuat forum dialog (a forum of debate) di mana rakyat dapat mengidentifikasi masalah, mengajukan solusi, membuat kesepakatan dan memandu arah masyarakat. 

Ketiga, voice of the people; media mengantarkan kepentingan rakyat kepada pemerintah. Peran ini merupakan puncak kerjanya daripada misi media. Media berbicara untuk rakyat dan representasi pandangan dan kepentingan rakyat dalam wilayah publik.
Voltmer (2006; 2008) dan McQuail (1986) menegaskan bahwa media sebagai lembaga politik memiliki tiga fungsi utama. Pertama, sebagai the marketplace of ideas; media menjadi sarana debat publik yang efektif dalam mencari serta memberi kontribusi yang positif. Oleh sebab itu, marketplace of ideas diperlukan dalam proses transisi menuju demokrasi. 

Penggunaan media oleh elite politik bukan hanya di negara-negara demokrasi baru, tapi juga di Amerika. Elite politik Amerika tidak dapat melepaskan diri dari media massa. Elite dan media saling membutuhkan. 

Menurut catatan William L. Rivers dan kawan-kawan (Rivers 2003), pemerintah Amerika menganggap bahwa pemberitaan melalui media massa itu sangat penting. Hal ini dapat dilihat dari besarnya anggaran yang disediakan pemerintah federal untuk publikasi atau pemberitaan kegiatan-kegiatan hubungan masyarakat dan informasi publik hingga USD400 juta per tahun. Bahkan eksekutif mengeluarkan dana lebih besar untuk tujuan pemberitaan, publikasi, peliputan khusus, dan lain sebagainya. Hal ini memberikan indikasi betapa besar peranan dan kekuatan media massa bagi pemerintah Amerika.

Bagi kita di Indonesia, elite, media dan masyarakat saling memerlukan. Hal yang sama ditunjukan kajian Voltmer (2006) terhadap media di pelbagai negara seperti Rusia, Afrika Selatan, Chile dan Taiwan, menunjukkan kesamaan. 

Media dan demokrasi merupakan hubungan yang tidak dapat terpisahkan. Keduanya telah melewati sejarah yang panjang dan saling berhubungkait satu sama lain sejak zaman feodal hingga kini. Media tanpa adanya demokrasi akan mengalami kejumudan, karena media dapat bersuara manakala dimudahkan oleh sistem demokrasi. Begitu pula sebaliknya, demokrasi akan terlihat sinarnya manakala dimudahkan oleh media.

Di samping media mainstream, secara spesifik, Kirk dan Schill (2011) menjelaskan bahwa internet memiliki peran strategis dalam dunia global.

Internet bagaikan dua sisi mata uang. Bagi elite politik, internet dapat menjadi wahana atau media untuk memperlancar akses (cybercampaign) dengan warga dan mengurangkan biaya politik. Sebaliknya, bagi masyarakat internet dapat pula jadi media mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan para elite (Norris 2001). Pertanyaannya, bagaimana aktor politik menggunakan media dengan efektif dalam komunikasi politik, sebaliknya bagaimana media dapat melepaskan diri dari tekanan pemerintah. 

Menurut saya, bilamana fungsi partai politik, media dan pemerintah berjalan sinergi, maka akrobat politik yang membodohi rakyat jelang helat demokrasi 2018 dan 2019 dapat diminimalisasikan. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

QS. Al Israa’: 111

200 Pejabat Pemko Bergeser