Ratusan atau ribuan orang kemarin kembali mendatangi Istana Presiden. Mereka berdemonstrasi menuntut pemerintah membatalkan larangan penggunaan alat tangkap cantrang. Mereka minta cantrang dilegalkan.
Aksi menolak cantrang ramai terjadi dalam dua tahun terakhir, meski sebetulnya sudah dilarang sejak 2009. Aturan larangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan bahkan sudah ada sejak 20 tahun lalu, sejak era Orde Baru.
Aksi bela cantrang itu membuat masyarakat terbelah: ada yang setuju, ada yang menolak cantrang maupun alat tangkap lain yang tidak ramah lingkungan. Perang dukungan merambah ke media sosial. Isu reshuffle kabinet yang baru-baru ini muncul dimainkan kelompok pembela cantrang, mendesak Presiden Jokowi mengganti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Mereka menyebut aturan larangan cantrang dibuat mendadak, dan Menteri Susi dianggap tidak membela nelayan. Tagar #GantiMenteriSusi sempat ramai di media sosial.
Bagi penolak cantrang, mereka menyuguhkan fakta berbagai kerugian negara akibat maraknya penggunaan cantrang. Juga data meningkatnya ikan setelah cantrang dilarang. Ingat, luas sapuan tali cantrang bisa mencapai 200 hektar lebih – sepanjang Jakarta hingga Semarang. Artinya seluas itu pula potensi kerusakan terjadi setiap cantrang dilepas.
Isu cantrang sudah banyak menghabiskan energi, sama seperti aksi-aksi yang terjadi beberapa waktu lalu. Pun, kian politis. Ada partai yang memanfaatkan isu cantrang untuk kepentingan mendongkrak popularitas menjelang pemilu 2019.
Presiden Joko Widodo berkali-kali mengingatkan, janganlah kita menghabiskan energi mengurusi masalah yang tidak produktif. Itu betul. Termasuk soal cantrang. Aturannya toh sudah lama ada, tinggal dituruti karena jelas berpihak pada keberlangsungan sumber daya alam di laut.