» Pembayaran bunga obligasi rekap mesti dimoratorium karena menyandera APBN.
JAKARTA – Pemerintah sebaiknya mengalihkan pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan penerima Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sekitar 400 triliun rupiah untuk membiayai progam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Ekonom Universitas Surakarta, R. Agus Trihatmoko, yang dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (13/8), mengimbau pemerintah sebaiknya keluar dari kebiasaan mengelola APBN selama ini, yakni tidak harus mengalokasikan belanja bunga utang. Anggaran yang cukup besar itu sebaiknya digunakan untuk pos belanja lain, misalnya untuk menutup defisit karena pembiayaan kesehatan dan program PEN akibat dampak Covid-19.
“Pemerintah bisa merelokasi mata anggaran yang tidak produktif atau dampak keekonomiannya lama. Kebijakan sangat fleksibel atau mudah dilakukan pemerintah karena sudah ada UU-nya masa Covid-19,” kata Agus.
Hal itu termasuk menghentikan pembayaran bunga utang akibat kesalahan di masa lalu dengan menerbitkan obligasi rekapitalisasi.
Menurutnya, kondisi yang terjadi saat pandemi Covid-19 kembali mengulang kebijakan yang dilakukan saat krisis ekonomi 1998 dan krisis global pada 2008. Pada krisis awal masa reformasi, pemerintah justru mengeluarkan obligasi rekap dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan pertimbangan untuk menyelamatkan perekonomian. Namun dalam perjalanannya, dana talangan tersebut dinikmati segelintir kelompok dan beban bunganya malah membebani keuangan negara hingga saat ini.
“Inilah sebuah pembelajaran lama ketika ada masalah keuangan APBN kebijakan utang (Surat Utang Negara) dipergunakan sebagai langkah utama, termasuk utang luar negeri, sehingga bunga utang dan obligasi membebani APBN berikutnya dengan nominal besar, apalagi saat pokok utang tersebut jatuh tempo,” kata Agus.
Dia menjelaskan jumlah anggaran untuk pembiayaan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mencapai 695,2 triliun rupiah yang diperoleh dengan menerbitkan Surat Utang Negara sehingga defisit APBN membengkak menjadi 1.039, 2 triliun rupiah atau 6,34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara itu, pembayaran bunga utang yang dianggarkan dalam APBN 2020 tercatat sebesar 295,2 triliun rupiah. Sebagian belanja bunga utang tersebut untuk pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI sekitar 70 triliun rupiah.
Jumlah tersebut akan sangat membantu meringankan beban keuangan negara seandainya disetop dan dialihkan untuk membiayai dampak Covid-19 yang mencapai 695,2 triliun rupiah.
“Pengelolaan anggaran harus taktis dan jeli dengan membuat inisiatif baru yang bisa meringankan beban keuangan negara, apalagi kondisi saat ini memungkinkan,” kata Agus.
Agus juga mengutip pernyataan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, beberapa waktu lalu, tentang ada dua kebijakan keliru yang dilakukan pemerintah sehingga menghabiskan anggaran 6.000 triliun rupiah. Kebijakan salah itu adalah pengalihan utang BLBI kepada negara dan anggaran subsidi yang besar.
“Inilah sebab pembayaran bunga obligasi rekap mesti dimoratorium, karena terlalu lama, menghabiskan anggaran negara dan membuat kapasitas APBN jadi tersandera,” jelasnya.
Baru Wacana
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, yang dihubungi terpisah mengatakan wacana penghentian pembayaran bunga obligasi rekap sebenarnya sudah pernah diutarakan sebelumnya. Solusinya sudah pernah disampaikan bahwa pemerintah men-swap bunga obligasi ke bunga 0 persen. Hanya saja, memang secara politik belum ada niat yang serius dari pemerintah untuk mengeksekusi rencana tersebut.
“Jika dikaitkan dengan Covid-19, jika tidak bisa disetop, setidaknya di-swap ke bunga utang yang lebih rendah,” kata Yusuf.
Dia menduga keengganan pemerintah mengambil langkah penghentian pembayaran bunga utang obligasi rekap itu karena masih ada proses pemeriksaan atas kasus BLBI yang berlangsung hingga sekarang. Sebab itu, penting mempercepat pemeriksaan itu agar ada kepastian yang bisa dilakukan pemerintah. yni/E-9