in

Anak Telantar, Korban Kemiskinan Sistemik

Ayo Selamatkan Mereka…

Anak-anak selalu istimewa. Mereka bisa dijadikan simbol pengharapan akan masa depan lebih baik. Namun agar harapan tersebut tak sekadar menjadi angan-angan.

Mereka harus terus diberikan perlindungan dan pendidikan yang layak. Dalam hal pendidikan, misalnya. Semakin tinggi kualitasnya, tentu sebuah bangsa akan semakin maju. 

Tak ubahnya seperti anak-anak itu, semakin berkualitas pendidikan yang mereka tempuh, maka semakin berguna pula mereka bagi bangsa. Anak dan pendidikan itu jelas berkaitan erat. 

Pun, mereka selalu butuh perlindungan nyata.  Anak-anak yang mendapatkan kasih sayang terbaik, akan selalu percaya pada masa depan yang lebih baik. 

Realitanya, tak sedikit dijumpai mereka tak pernah sekali pun mendapatkan pendidikan dan perlindungan yang layak. Tak sedikit dari mereka yang harus mengemis, mengais-ngais rezeki di usia belia. 

Tak sedikit pula dari mereka harus mengorbankan banyak waktu dan tenaga -yang seharusnya digunakan untuk bermain dan belajar- hanya untuk mendapatkan sesuap nasi di kehidupan jalanan. 

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumbar  pada 2014 tercatat 53.697 orang. Dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada 2013 tercatat 53.511 orang. (selengkapnya lihat grafis, red)

Age Tukin, Ramadul Fajri dan Ade Putra, misalnya. Ketiganya harus memupus keinginan mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Keterbatasan ekonomi keluarga memaksa mereka mengubur impian. Untuk bertahan hidup, ketiganya membantu orang tua ke sawah atau berjualan.

Age Tukin, warga Sangir Kabupaten Solok Selatan, hanya sampai kelas III SD. Sejak putus sekolah, dia membantu orang tua ke ladang. Age ingin seperti teman-temannya, bisa bersekolah. 

Namun apa daya, ekonomi keluarganya tidak seberuntung teman-temannya.  “Saya ingin sekali bersekolah kembali,” ucapnya. 

Ramadul Fajri, 13, warga Sangir lainnya, juga punya impian serupa dengan Age Tukin. Dia hanya mengecap pendidikan kelas III SD. Jika tak putus sekolah, ia sudah SMP. 

Selain kemiskinan, penyebab banyak pelajar putus sekolah karena mudahnya mendapatkan uang di pertambangan emas liar. 

Lain halnya dengan Anita, 11, anak tertua dari tiga bersauadara. Hampir setahun belakangan menjadi pengemis di SPBU kawasan Tabing, Padang.  Anita sebenarnya tidak mau kerja seperti sekarang ini. Dia ingin sekali menamatkan pendidikannya di SD. 

“Orang tua tidak mendukung. Terpaksa mengemis di sini, Bang,” tuturnya. 

Dari hasil kerja mengemis, Anita serahkan sebagian pendapatannya kepada orang tua, untuk membeli beras.  “Kalau tidak, bagaimana saya dan ibu makan,” ucap Anita.

Menyikapi fenomena itu, Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan Keluarga Berencana (BPPKB) Sumbar, Ratna Wilis menegaskan keberadaan anak Telantar merupakan tanggungjawab negara untuk membinanya.

“Dalam UUD kan sudah tertuang jelas, namun seringkali itu masih belum di jalankan secara maksimal oleh pemerintahan. Cuma dalam pendefinisiannya banyak perbedaan yang mengartikan anak Telantar itu,” ujarnya.

Dikatakannya, secara mendasar dipahami anak Telantar itu anak yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya oleh orangtua disebabkan berbagai faktor seperti permasalahan ekonomi, sehingga mengakibatkan mereka tidak dapat melanjutkan sekolah dan sebagainya.

Oleh sebab itu, pihaknya bersama dinas sosial akan terus mengupayakan serangkaian program dalam pembinaan terhadap anak yang seringkali terabaikan orangtuanya sehingga kebutuhan dasar dari anak agar dapat terpenuhi.

“Anak Telantar, anak korban kekerasan, anak korban bencana, minoritas, anak berhadapan hukum itu perlu pendampingan dan kita menguapayakan hal itu dapat terentaskan. Kami (BPPKB, red) baru menyelaraskan hal itu karena merupakan bagian dari gawaian kerja pemberdayaan dengan sejumlah pokja dan tahun depan akan dilaksanakan pemberdayaan itu,” imbuhnya.

Pihaknya juga berharap, seluruh masyarakat untuk dapat berperan aktif terhadap kepedulian pada anak yang seringkali terabaikan tersebut. Masalah ekonomi keluragamenjadi pemicu anak mencari jalan keluar sendiri sehingga cenderung dapat mengalami kekerasan dan pelecehan.

“Ini tanggungjawab bersama dan harus kita upayakan bersama sehingga angka anak Telantar itu bisa di tekan dan menuntaskan hak-hak yang harus didapatkan anak seperti hak mendapatkan kasih sayang, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya,” ujarnya.

Terpisah, Ketua Bundo Kanduang, Raudha Thaib menuturkan di Minangkabau secara kebudayaan tidak mengenal istilah anak Telantar. Sehingga perlu diluruskan pemaknaan hal demikian.

“Minangkabau itu tidak mengenal istilah itu, cuma saja pemahaman terhadap anak yang kehilangan orang tuanya dikaitkan dengan anak Telantar,” ucapnya.
Dikatakannya, di Minangkabau ikatan kekeluargaan itu sangat erat, meski orangtua kandungnya sudah meninggal maka keluarga besarnya memiliki peran dalam pengurusan anak tersebut.

“Kan, mamak itu tetap ada yang akan membimbing kemenakannya, karena bagaimanapun statusnya tidak menggugurkan sesorang kepada keluarga besarnya ketika ia telah menikah, dan tentu dirus ada tanggungjawab dan itulah uniknya kita di Sumbar,” ujarnya.

Menurutnya, kondisi kebudayaan saat ini semakin terkikis oleh perkembangan zaman, sehingga menjadikannya semakin longgar.

“Ini masalahnya, generasi muda saat ini memahami keluarga itu hanya ayah, ibu dan anak, sementara yang lain itu adalah kerabat dan tidak ada peran lagi. Di samping itu keluarga juga tidak mengenalkan tentang hal demikian,” imbuhnya.

Dikatakannya Minangkabau mengenal istilah pusako tinggi dan pusako rendah, semestinya hal demikian berperan.

“Ini yang jadi masalah. Justru pusako tinggi itu dijual padahal itu Baitulmalnya orang Minangkabau, budaya dilepaskan, tentu  muncul di lingkungan sosial anak yang terabaikan sementara individu tidak lagi mulai peka terhadap kondisi lingkungannya. Jika berbicara itu mesti kita satu persepsi terhadap anak yang Telantar,” ujarnya. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by virgo

Porprov Ditabuh, Opening Telan Rp 2 M

Si Otodidak Dian Rusdiana Hakim Sukses Memelopori Industri Pesawat tanpa Awak