in

Analisis Ekonomi Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar

Asyari
Wakil Rektor I IAIN Bukittinggi

Pilihan kata Mas Menteri (pangilan untuk Nadiem Makarim Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI) tentang Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar pada Permendikbud No 3 Tahun 2020 sangat jantan. Selain memagnet perhatian, kata itu juga menantang. Dunia pendidikan diharapkan tidak lagi menjadi sumber penciptaan pengangguran terdidik. Isu pengangguran mendapat tempat dalam kebijakan ini.

Dunia pendidikan terutama perguruan tinggi berkemas merespons kebijakan Mas Menteri. Berbagai action, seperti redesain kurikulum untuk mengikuti “arus baru” kampus merdeka dan merdeka belajar dilakukan.

Tulisan ini mencoba melakukan analisis kebijakan Kampus Merdeka dan Merdeka Belajar dari sisi ekonomi yang relatif sedikit menjadi perhatian. Monopoli perhatian ada pada sisi pendidikan. Mengingat soal pengangguran (unemployment) kait-berkelindan dengan ekonomi, maka penting pula sisi ini diperhatikan.

Kurikulum bukan Variabel Tunggal
Masalah pengangguran (unemployment) sering dijadikan isu sentral dan argumen untuk melakukan bongkar-pasang dan gonta-ganti kurikulum di dunia pendidikan. Kurikulum sebagai unsur penting dalam pendidikan pada setiap level pendidikan terutama pada level SMA sampai ke PT dipandang belum menyahuti kebutuhan masyarakat dunia usaha atau dunia industri.

Tamatan SMA dan PT selalu menjadi masalah krusial. Tiap tahun tamatan yang diproduksi PT semakin mempanjang barisan pengangguran terdidik. Bongkar pasang kurikulum dan gonta-ganti kurikulum yang dilakukan diharapkan dapat memecahkan problem krusial dalam pengangguran terdidik. Bak analogi Minang, dapat mengauik nan gata.

Penulis mencoba menelusuri rekam jejak pergantian kurikulum yang pernah terjadi terutama di pendidikan tinggi. Catatan penting dari penelusuran ini adalah perjalanan Kurikulum Pendidikan Tinggi Indonesia mengalami berbagai pergantian. Gonta-ganti kurikulum seakan menjadi hal biasa seiring pergantian pengambil kebijakan di tingkat “atas”.

Mulai kurikulum berbasis pada sistem Pendidikan Nasional Pancasila, bergeser keparadigma ke konsep KBK, kurikulum dikembangkan oleh perguruan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk setiap program studi, kurikulum dikembangkan berbasis kompetensi sampai ke capaian pembelajaran sesuai dengan level kerangka-kerangka kualifikasi nasional Indonesia (KKNI) (sekarang jalan) dari level 1-9. KKNI ini dituangkan dalam PP No 8 Tahun 2012.

Jika dicermati pergantian kurikulum yang terjadi sebagaimana disebutkan di atas selalu mengusung cita-cita ideal agar lulusan yang diproduksi oleh PT tidak menjadi sumber daya manusia yang idle dan jobless. Lulusan dapat diserap oleh dunia usaha atau industri serta menjadi creator lapangan kerja. Namun realitas berkata lain. Jika disandingkan data, maka dapat dijelaskan bahwa angka pengangguran terdidik dari kontribusi tamatan perguruan tingggi tahu 2013 sebanyak 5,85% (Data Sakernas 2013) sedangkan di Tahun 2019 naik 13,56% (Statistik Indonesia 2020).

Ini memberikan pesan bahwa ada problem penting yang harus diperhatikan di tengah pergantian kurikulum terkait dengan pengurangan angka pengangguran. Langkah pergantian kurikulum yang diharapkan dapat memperbaiki “nasib” tamatan PT agar dapat bekerja atau “berjodoh” dengan dunia kerja atau dunia industri ternyata. kurang “mangkus”.

Proporsi perhatian yang lebih pada aspek kurikulum sebagai variabel yang berkontribusi pada pengangguran memang tidak salah. Namun tidak sepenuhya tepat. Ada variabel lain yang kurang diperbincangkan dan bahkan nyaris “tertutupi” oleh fokus secara massif pada kurikulum. Kemampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan kerja juga penting diperhatikan.

Lulusan dunia pendidikan yang terus bertambah menurut deret ukur dan kemampuan menyediakan atau menciptakan lapangan kerja baru menurut deret hitung. Hal ini juga. menjadi embrio yang berkontribusi pada pengangguran.

Selain itu kebijakan pemerintah memperpanjang usia pensiun pada sektor tentu di kalangan ASN dan pejabat negara, seperti amanat Undang-Undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) yang memperpanjang usia pensiun peneliti hingga 70 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) di antaranya tentang batas usia pensiun hakim agung MA tetap 70 tahun.

Perpanjangan usia pensiun memiliki arti menambah masa kerja dan memperlama seseorang ASN atau pejabat negara berada dunia lapangan kerja mereka sesuai tambahan usia yang ditetapkan. Juga, berarti selama lama mereka exit. Sementara angkatan kerja yang di produksi PT berbaris panjang dan antrean untuk entry ke lapangan kerja. Hambatan untuk entry bagi angkatan kerja akan menjadi persoalan krusial pula jika ASN atau pejabatan yang semesti sudah exit namun ditambah waktu untuk tetap di dunia kerja (in).

Ancaman Disparitas
Kebijakan Kampus Merdeka dan Merdeka belajar memiliki amanat otonomi pembukaan prodi dan percepatan PT menjadi badan hukum. Akreditasi secara mandiri dan hak belajar 1 semester di luar prodi dalam PT dan 2 semester di luar PT dan total ekuivalen 60 SKS. Proses pembelajaran peserta didik di luar prodi ini baik di PT sendiri dan di luar PT adalah dalam rangka mengakumulasi dan mengkapitalisasi pengalaman belajar dan lebih mendekatan mereka dengan dunia usaha (DU) dan dunia industri.

Kegiatan belajar di luar kampus dapat dalam bentuk magang, proyek desa, pertukaran pelajar, penelitian, wirausaha, studi/ proyek independen, proyek kemanusiaan dan mengajar di sekolah. Semua kegiatan tersebut terbimbing dan dilakukan rekognisi.
Bila dicermati kebijakan ini secara substansi telah ada di kurikulum dan proses PBM sebelumnya, seperti program magang dan PPL. Namun harus diakui belum maksimal mendongkrak pengayaaan pengalaman karena masa yang relatif singkat.

Dalam konteks teori triple helix yang menempatkan unsur PT, pemerintah dan dunia kerja berada dalam lingkaran yang sama dan saling menyahuti kebutuhan. Dunia kerja atau. industri memiliki demand ke pekerja profesional untuk menjalankan sektor usaha dan PT men-suplay tamatan sebagai need dunia kerja/ industri. Kebutuhan pemerintah juga di-suplay oleh PT Pemerintah sebagai regulator mesti juga menyediakan variasi regulasi yang mendukung interaksi sektor demand dan sektor supply antara PT dan dunia usaha berjalan smooth.

Menurut hemat penulis, dalam implementasi kebijakan kampus merdeka dan merdeka belajar perlu diperhatian kemampuan peserta sebagai pihak yang memiliki hak dan PT berkewajiban menfasilitasi. Peserta didik berbeda dari segi miliki kemampuan dan latar belakang ekonomi yang beragam. Kondisi ini penting diperhatian agar tidak menambah wajah baru disparitas di dunia pendidikan kita.

Selama ini sangat dirasakan disparitas kualitas pendidikan antar PTN, PTN dengan PTS, baik dari aspek ratio dosen-mahasiswa, kualitas pembelajaran dan kualitas penelitian. Untuk kondisi mutakhir, disparitas itu kian nyata. Pergeseran PBM dari klasikal ke daring menimbulkan disparitas. PBM daring tidak hanya menghendaki jaringan yang dapat men-cover wilayah sebaran peserta didik tapi lebih dari itu adalah kemampuan ekonomi peserta untuk kebutuhan pulsa agar tersambung ke jaringan dan dapat mengikuti PBM.

Hasil survei Penyedia Jasa Internet Indonesia, 2018 merilis data bahwa 171 juta orang terhubung ke internet yang tersebar 55,7% di Jawa. Lalu, 20% terhubung tetap di rumah dan 79,5% tidak tidak tetap. Kondisi ini menunjukkan banyak masyarakat kita yang harus mengalokasikan pembelanjaan mereka untuk menjamin agar anak mereka dapat ikut PBM daring dengan baik di tengah ketahanan ekonomi yang kian melemah oleh wabah Covid-19. Pulsa mungkin di awal merupakan barang “mewah” bergeser menjadi barang primer.

Dengan diberikan hak belajar dan PT memfasilitasi kuliah di luar PT dalam jelas menimbulkan cost baru selain UKT harus dibayar di PT asal. Jika tidak peserta tidak berstatus aktif. Di tengah kemampuan dan latar belakang ekonomi peserta didik yang bervariasi kebijakan ini dikhawatirkan akan menambah ragam wajah disparitas dalam dunia pendidikan.

Setiap peserta didik tentu sangat berkeinginan mengayakan dan mengakumulasi, serta mengkapitalisasi pengalaman belajar semaksimal mungkin untuk modal lebih akses ke dunia kerja. Namun karena keterbatasan ekonomi hak belajar di luar PT tak dapat dilaksanakan atau diperoleh. Bagi yang memiliki kemampuan ekonomi akan lebih mudah dan cepat mereka bagi “mendayung perahu” untuk memperoleh hak belajar tersebut.

Padahal pendidikan sesuai amanat UUD 45 adalah hak segenap warga negara.
Agar kebijakan ini tidak menimbulkan problem krusial dan menambah masalah baru, maka perlu dilakukan langkah-langkah; Pertama, jalinan kerja sama antara sesama perguruan tinggi dan perguruan tinggi dengan dunia kerjan/ industri perlu lebih dikuatkan.

Pembicaraan harus lebih menukik ke problem biaya dari kerja sama dalam merealisasikan kampus merdeka dan merdeka belajar. Agar cost yang muncul terukur dan terjangkau oleh peserta didik; Kedua, meski PT diberikan otonomi, pemerintah atau pengambil kebijakan perlu memberikan dukungan regulasi teknis di lapangan terkait pelaksanaan hak belajar di luar PT.

Terutama berkait implikasi UKT bagi mahasiswa yang mengambil hak belajar di luar PT agar peserta didik tidak dibebankan dengan double expenditure (pembayaran ganda); di PT asal dan PT tempat belajar 2 semester; Ketiga, mesti dilakukan peningkatan alokasi belanja sosial seperti; beasiswa.

Bagi mahasiswa yang prestasi dan mengunakan haknya difasilitasi beasiswa sebagai bantuan agar cost yang muncul dan ditanggung kegiatan studi di luar PT atau magang di dunia industri serta ikut pada proyek lainnya dapat terbantu. Last but not the least, berbagai kebijakan pro kampus merdeka dan merdeka belajar ini sangat ditunggu dan diharapkan. Agar hak belajar diterima dan disparitas tidak kian menganga lebar. Semoga. (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sudah Waktunya Presiden Mengambil Menteri dari DPD RI

Tunda Pengumuman PPDB, Selesaikan Verifikasi Suket Domisili