in

Anies dan Era Perubahan

Oleh: Two Efly, Wartawan Padang Ekspres

Dalam konvensi Partai Demokrat Amerika Serikat Barack Obama tahun 2008 yang lalu menggunakan tagline “Yes, We Can Change”. Tagline ini berhasil menarik perhatian publik hingga mengantarkan Obama menjadi Calon Presiden. Obama mampu menyisihkan rivalnya Hillary Clinton hingga Barack Obama terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat selama dua periode.

*Trade mark” yang sama juga ada di Indonesia. SBY-JK pernah mengusung “Kita Bisa” dan Jokowi dengan imej wong ciliknya. Kini Capres dari Partai Nasdem Anies Rasyid Baswedan muncul dengan tema “Change”.

Era Perubahan yang menjadi tagline politiknya membuat figur Anies menjadi sosok yang berbeda. Imej sebagai pemimpin intelektual nan bersahaja, Anies dipandang sebagai sosok nan pas untuk membawa perubahan terhadap nusantara. Setidaknya membawa perubahan dari eranya Jokowi ke eranya non-Jokowi. Semoga saja kelak Anies betul-betul bisa membawa perubahan bagi ekonomi Indonesia jika terpilih.

Selalu di Bawah 6,5 Persen

Sepuluh tahun terakhirnya pertumbuhan ekonomi Indonesia tak pernah mampu melewati angka “keramat”. Usahlah menyentuh bibir angka 7 persen, menjilat tepian angka 6,5 persen saja negeri ini kesulitan setengah mati.

Ada anomali “antara gula dengan semut”. Ada titik simpang antara pembangunan infrastruktur dengan pertumbuhan ekonomi. Infrastruktur digeber, sementara pertumbuhan ekonomi tak kunjung terungkit. Apakah kajian business-nya yang keliru atau project-nya yang lebih mengedepankan mercusuar? Tapi sudahlah! Kita syukuri sajalah. Setidaknya infrastruktur sudah terbangun. Rezim berikutnya tinggal memaksimalkan pemanfaatan dan impact ekonominya.

Mengubah Jakarta

Lima tahun Anies memimpin DKI Jakarta tidaklah berjalan dengan tenang tenang saja. Layaknya big match yang tak kunjung usai,  Anies selalu “diserang” dari berbagai penjuru.

Serangan politik merupakan hal yang wajar bagi seorang politisi apalagi kala memangku jabatan politik. Semakin tinggi sebuah pohon makin deras dan kencang angin menerpanya. Terjangan angin itulah yang membuat sang pohon menjadi kuat dan terus tumbuh besar sambil terus menancapkan akarnya.

Begitu juga Anies. Kritikan dan serangan datang silih berganti. Mulai dari partai non pendukung hingga ke buzzer-buzzer “bayaran”. Di ruang publik, ruang dialog Anies terus diserang. Para buzzer “membabi buta” menggempur Anies di dunia maya. Kanal-kanal medsos dimanfaatkan untuk melakukan propaganda negatif. Endingnya Anies distigma sebagai pemimpin yang kurang tepat.

Namun Anies tetaplah Anies. Sikap dewasa dan rasional membimbing Anies bersikap tenang. Dikritik Anies tidak marah, dicaci Anies tidak benci. Kritikan yang baik walau disampaikan dengan cara yang kurang baik direspons dengan bekerja. Sementara cacian/bully dijadikan motivasi untuk bekerja lebih keras lagi guna mewujudkan visi dan misi ketika maju di Pilkada.

Perlahan tapi pasti Anies mewujudkan janji politiknya. Mulai dari tidak akan meninggalkan Jakarta (tetap menjadi Gubernur hingga tahun 2022-red) hingga menuntaskan janji-janji politik lainnya.

Kini Anies telah berhasil mengubah wajah Jakarta. Tak percaya? Datang lah ke Jakarta. Silakan bandingkan dengan 10 tahun yang lalu. Rasakan satu per satu perubahan yang telah terjadi. Mulai dari moda transportasi massal, infrastruktur di Jakarta yang kian ramah lingkungan hingga ke kebijakan yang berpihak kepada masyarakat kecil.

Untuk transportasi, Jakarta dimasa lalu divonis dulu tak ramah untuk pejalan kaki dan para bike to work. Kini sudah berubah menjadi kota yang ramah. Jakarta hari ini tak lagi kota macet, sumpek dengan setumpuk stigma negatif seperti masa lalu. Jakarta benar benar telah berubah. Jakarta benar-benar sudah berubah.

Banyak sudah prestasi yang ditorehkannya. Mulai dari mencabut izin reklamasi pantai yang fenomenal hingga ke pembangunan project strategis lainya. Siapa kira Jakarta bisa memiliki stadion yang mewah dan megah (Jakarta Internasional Studion/JIS)? Siapa kira Jakarta bisa menghadirkan sirkuit balapan formula. Semua itu tak terlepas dari komitmen dan kerja keras Anies dalam menuntaskan janji politik.

Dilabelkan Politik Identitas

Entah disengaja atau tidak, kemenangan Anies dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2018 lalu meninggalkan rasa kalah yang tak kunjung usai. Label-label tak mengenakkan selalu dilayangkan kepada Anies.

Ada sejumlah label tak patut yang terus disenandungkan lawan politik terhadap Anies. Di antaranya politik identitas. Ucapan kasar “kadal gurun” hingga ke label hanya pintar mengolah kata-kata. Tiga label tak enak ini selalu didendangkan terutama oleh kelompok yang terafiliasi pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2018.

Marahkah Anies? Tidak. Anies menyadari betul bahwa sebagai pemimpin dia tak akan pernah bisa menyenangkan semua orang. Sebagai pemimpin Anies pastilah akan selalu dihujani kritik. Selama diserang, dihujani kritik Anies tak pernah memenjarakan lawan politiknya. Anies juga tak pernah menyeret lawan politik atau pengkritiknya ke ranah hukum. Semua itu dilewati dengan senyum, kepala dingin dan terus bekerja.

 “Mulai Dijegal”

Dalam dunia politik semuanya bisa saja terjadi. Sesuatu yang tak mungkin dan patut bisa saja terpaksa menjadi mungkin dan patut. Begitu juga yang dialami Anies dalam safari nusantaranya.

Lihatlah fakta di lapangan. Safari nusantara yang dilakukan Anies memantik ketakutan tersendiri bagi rival politiknya. Luberan massa manusia yang hadir di kegiatan Anies menjadi bukti nyata kalau Anies memang sosok yang diinginkan publik.

Lihatlah safari nusantara di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Sebagai basis partai non pengusung Anies luberan massa itu menjadi sinyal kuat telah terjadi perubahan selera publik. Tak tertutup kemungkinan provinsi Sumatera Utara akan menjadi “lumbung” suara bagi Anies kelak pada Pilpres 2024.

Begitu juga dengan kunjungan ke Jawa Barat, dan Palu. Dalam kegiatan itu massa betul-betul tumpah ruah. Ini jelaslah sinyal politik yang bagus dan menjadi alarm tak mengenakan bagi kompetitornya.

Sinyal kecemasan ini satu persatu mulai terkonfirmasi. Luberan massa benar benar membuat rival politik menjadi “cemas”.  Sejumlah kegiatan yang sudah dikantongi izin untuk menggunaan lokasi dibatalkan secara mendadak. Bahkan ada pihak yang mencoba menyeret Anies ke ranah hukum. Alasannya bermacam-macam. Lihatlah apa yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam dan dilema Formula E.

Penulis melihat bak Tai Chi kungfu China. Kuat dan derasnya arus serangan justru menjadi pantulan balik. Kian diserang kian mengalir dukungan publik kepada Anies. Publik bukannya membenci, justeru publik kian simpati dan berempati.

Kini Anies datang ke Sumatera Barat. Walau berstatus sebagai provinsi kecil dan pemilih yang kurang dari 2 persen dari pemilih nasional namun Sumatera Barat sangatlah berbeda. Sumatera Barat adalah barometer. Walau kecil dan sedikit namun “lengkingan pekikan” politiknya menggaung hingga ke pelosok nusantara. Ini disadari betul oleh Anies. Anies paham betul dukungan dari Publik ranah Minang sangat lah penting.

Bagi publik Sumatera Barat kedatangan Anies tak ubahnya “Pinang pulang ka gagangnyo, siriah baliak ka tampuaknyo”. Leadership Anies dan kemampuan Anies dalam berdiplomasi dipastikan akan mampu mengikat hati publik masyarakat Sumatera Barat. Di mata sebagian besar masyarakat Sumatera Barat Anies adalah sosok yang cocok memimpin negeri ini. Tak Percaya? Kita tunggu saja tahun 2024, dan terdekatnya silakan saksikan sendiri safari Politik Nusantara Anies Rasyid Baswedan, Minggu 4 Desember 2022. Selamat datang Anies Rasyid Baswedan di Ranah Minang. (***)

What do you think?

Written by Julliana Elora

AS Luncurkan Pesawat Pembom Siluman Berteknologi Tinggi, Sulit Dideteksi Musuh

Tol Padang-Sicincin Dilanjutkan, Andre Rosiade Ingatkan Pemprov soal Lahan