Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini soal musim kemarau tahun 2019 yang lebih lama dari biasanya. Kondisi ini tentunya mengancam ketahanan air di sejumlah wilayah.
Untuk membahas masalah ini, Koran Jakarta mewawancarai Dirjen SDA Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Hari Suprayogi, berikut petikannya.
Bagaimana respons Ditjen SDA terhadap masalah kekeringan?
Seperti yang dilaporkan oleh BMKG bahwa memang prakiraan awal musim kemarau 2019 umumnya akan terjadi pada bulan Mei, Juni, dan Juli 2019 sebesar 83.3 persen. Lalu, puncak musim kemarau 2019 diprakirakan umumnya terjadi pada bulan Agustus 2019 sebesar 52,9 persen.
Berdasarkan data sebaran curah hujan bulan Agustus–Oktober 2019, dapat dilihat bahwa titik terendah curah hujan terjadi pada bulan Agustus, namun persebaran wilayah terdampak kekeringan tersebar lebih luas pada bulan September.
Lalu, jika dibandingkan antara puncak kemarau tahun 2018 dengan tahun ini, tahun ini diprediksi relatif lebih kering di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sumatera dibanding tahun 2018.
Lalu kondisi tampungan air dan sumber daya air saat ini?
Dalam menghadapi kekeringan, kami tentu mengandalkan tampungan air di waduk yang telah tersedia. Hingga kini sudah ada 16 waduk utama yang tersedia. Dari jumlah tersebut enam di antaranya berada dalam kondisi normal, sementara 10 di bawah rencana atau realisasi pemberian air lebih besar dari rencana.
Di samping waduk utama, ada juga 75 waduk lainnya, yang mana 10 di antaranya dalam kondisi normal, 58 dalam kondisi di bawah rencana, dan tujuh kondisi kering atau muka air berada pada level bawah batas operasi waduk. Kami juga memanfaatkan air dari 231 bendungan di Indonesia serta 1.922 embung.
Selain mengandalkan tampungan air dari waduk dan bendungan, apa lagi yang Anda lakukan mengatasi kekeringan?
Kami telah menyalurkan pompa sentrifugal untuk mengatasi kekeringan di sawah. Pompa tersebar di 34 balai/34 Provinsi dengan jumlah 1.000 unit Pengadaan 2018 sebanyak 580 unit untuk 16 balai/15 provinsi dan pengadaan 2019 sebanyak 420 unit untuk 18 balai/19 provinsi. Itu sebagai sarana untuk pemberian air secara intermittent.
Bagaimana upaya Anda mengantisipasi kekeringan?
Kami tentu melakukan sejumlah langkah seperti pengelolaan air dan pemberdayaan petani. Teknisnya ialah meminimalkan kebocoran air di sepanjang jaringan irigasi serta efisiensi penggunaan air melalui sistem pergiliran penggunaan air dan teknologi irigasi hemat air. Cara lainnya melalui sinergitas pengelolaan irigasi dengan pemda dan masyarakat melalui program pemberdayaan (P3TGAI), rehabilitasi, dan peningkatan jaringan irigasi melalui DAK, dan lain-lain.
Selain itu juga melalui gerakan pengaktifan Komisi Irigasi (provinsi dan kabupaten/kota), Penyuluhan petani pemakai air (P3A, GP3A, IP3A) tentang pemanfaatan air secara efisien dan efektif melalui Gerakan Hemat Air dan peningkatan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan.
Sementara anitisipasi yang bersumber dari waduk ialah pemantauan intensif terhadap ketersediaan air di waduk dan peninjauan kembali alokasi air, pengaturan pembagian dan pemberian air. Lalu, penerapan pola operasi waduk dengan mempertimbangkan pola rencana dan tata tanam cukup untuk sampai dengan akhir masa tanam.
Langkah antisipasi ke depannya?
Kami juga melakukan langkah antisipasi ke depannya melalui program pembangunan sumur bor dua titik tiap BBWS/BWS (kedalaman 100–150 m). erik sabini/AR-3