in

Anugerah Doktor Honoris Causa

Penganugrahan gelar untuk siapa pun yang telah menjalani rangkaian proses pendidikan formal biasanya dilakukan saat wisuda. Pendidikan formal itu bisa bermacam-macam tingkatannya, mulai dari Diploma (2, 3 dan 4), kesarjanaan (S-1, S-2, dan S-3), serta keprofesian (dokter, psikolog, notaris, dan lain-lain). 

Pada prosesi wisuda, seseorang sah menyandang gelar sesuai tingkatan pendidikannya beserta bidang yang dipelajarinya selama kuliah. Sebagai contoh, sarjana yang diwisuda untuk bidang teknik berhak menyandang gelar ST (Sarjana Teknik). Sementara sarjana yang menseriusi ilmu kependidikan berhak memakai gelar SPd (Sarjana Pendidikan) di belakang namanya.

Namun ternyata, wisuda bagi orang yang sudah menyelesaikan semua persyaratan akademis tidak hanya berlaku di pendidikan formal. Juga dikenal penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa, bagi individu (atau kelompok) yang dianggap memiliki prestasi atau jasa-jasa luar biasa bagi ilmu pengetahuan/teknologi dan kemanusiaan. 

Menilik sejarahnya, gelar doktor kehormatan tercatat pertama kali diberikan kepada Lionel Woodville sekitar tahun 1470 oleh Universitas Oxford, Inggris. Pada awalnya, pemberian gelar doktor kehormatan dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak biasa. Mulai dianggap biasa sekitar abad ke-16, khususnya pada masa-masa ketika banyak universitas-universitas yang belum tenar pada saat itu menerima kunjungan kehormatan dari universitas-universitas ternama seperti Universitas Oxford atau Universitas Cambridge.

Di Indonesia, berdasarkan berbagai referensi, juga sudah amat banyak tokoh, individu, ilmuwan, politikus dan kelompok (terdiri dari dua-tiga orang dalam satu tim) yang dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa. Beberapa Universitas terkemuka bahkan memiliki tradisi dan sejarah panjang dalam hal ini, di antaranya Universitas Indonesia dan Universitas Gajah Mada. Universitas Gajah Mada, terakhir menganugerahi Doktor HC kepada dua orang peraih Nobel pada Februari 2017 lalu. Ini merupakan penganugerahan yang ke-24 kalinya yang dilewakan oleh UGM sejak  1951, di mana Ir Soekarno merupakan tokoh pertama yang mendapat kehormatan menerimanya, diikuti oleh Drs Mohammad Hatta pada 1956. Kedua proklamator tersebut dianugerahi gelar doktor untuk bidang hukum. 

Sementara itu, Universitas Indonesia bahkan sudah menganugerahi gelar Doktor HC kepada 40 orang tokoh, sejak Juni 1955 hingga Februari 2017 lalu. Tercatat nama-nama (sekadar menyebut beberapa di antaranya) seperti Soekarno, Mohd Hatta, Sutan Takdir Alisyahbana, Taufik Ismail, Taufik Abdullah, Bahder Johan dan Muhammad Jusuf Kalla, selain tokoh-tokoh par-excellence dari manca negara (Jepang, Kamboja, Filipina, Belanda, dan lainnya). Sama dengan UGM, bidang keilmuan yang menjadi titik berangkat argumentasi ilmiah pemberian gelar terentang mulai dari kedokteran, hukum, sastra, psikologi, budaya, politik, teknologi, ilmu hayati, ilmu alam, dan banyak lagi.

Timbul pertanyaan, apakah makna dan manfaat penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa? Tentu akan banyak sekali jawaban yang pantas dikemukakan, tergantung perspektif apa yang hendak dipakai. Ditilik dari sisi yang paling umum, penghargaan dari sebuah universitas, yang di dalamnya bergiat para guru besar yang setiap saat menyimak seluruh perkembangan kemanusiaan dan seluruh produk dari kekayaan intelektual manusia dengan dasar-dasar ilmiah dan kajian teori yang kuat, tentunya penghargaan Doktor Honoris Causa bernilai sangat besar dalam rangka terus mendorong kelahiran generasi para pencerah, penjaga peradaban dan keadaban. 

Lebih jauh dari itu, universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi yang bertugas tidak hanya mencetak para ilmuwan, praktisi, profesional, dan peneliti, tentunya punya ‘utang moral’ bagi masyarakat luas. Utang itu adalah bahwa universitas tidak akan pernah ada dan berkembang tanpa sumbangsih masyarakat. Masyarakatlah yang menyumbangkan generasi penerus ilmuwan, profesor, peneliti, melalui mahasiswa-mahasiswa baru yang akan terus datang dan menuntut ilmu di kampus-kampus. 

Masyarakatlah tempat ujian sebenarnya, sejauh mana para sarjana itu mampu mengasah diri, menguji dirinya agar terpakai dan berkontribusi di tengah masyarakat. Menjadi agen perubahan, menawarkan solusi atas kecamuk sosial dan kebudayaan, teknologi dan kesenian, olahraga dan politik, dan banyak lagi lini kehidupan lain di mana para ilmuwan harus ‘berjaga-jaga’ dan menjadi ‘benteng terakhir’ agar zaman yang diarunginya berjalan lebih baik dari zaman sebelumnya.

Universitas Negeri Padang, sejak berdirinya, sudah dua kali menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa. Yang pertama adalah kepada Gamawan Fauzi SH MM, yang diyakini berkontribusi dalam hal memajukan kebijakan publik di bidang pendidikan. Waktu itu, 2011,  tim promotor yang diketuai Prof Dr Mukhaiyar MPd, sangat mengapresiasi gagasan orisinil Gamawan dalam hal penyediaan dana abadi beasiswa bagi para pelajar dan mahasiswa di Sumbar, bahkan juga kebijakan pro-pendidikan Gamawan sejak jadi Bupati Solok era 1995-2005.

Kini, 2017, UNP kembali berinisiatif menganugerahi gelar Doktor Honoris Causa bagi individu yang telah berjasa besar bagi negara dan pengaruhnya secara signifikan berpengaruh hingga ke masa sekarang. Setelah melalui berbagai pertimbangan matang, kajian dan diskusi ilmiah yang cukup melelahkan, maka pilihan UNP jatuh kepada Megawati Soekarno Putri, Presiden kelima Republik Indonesia. Alasan pertama adalah, Megawati telah memberikan sumbangan besar terhadap politik pendidikan di Indonesia.  Pada masa pemerintahan Presiden Megawati, lahirlah UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang memberi dasar hukum yang kuat bagi profesionalisasi pendidikan. Beliau memegang teguh prinsip-prinsip yang menjadi dasar hukum usaha pembangunan pendidikan nasional, yaitu demokrasi, desentralisasi, otonomi, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.  

Isi, jiwa dan semangat UU tersebut mengejawantahkan tuntutan reformasi 1998, terutama reformasi pendidikan. UU ini juga memiliki legitimasi kuat dalam mengimplementasikan amanat konstitusi tentang alokasi 20% dana APBN/APBD untuk pendidikan.  Berangkat dari UU No 20 Tahun 2003 itulah lahirnya UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang menekankan mutu pendidikan, serta pentingnya peningkatan kesejahteraan guru dan dosen sebagai ujung tombak penyelenggara pendidikan nasional.   

Hal yang tidak kalah penting untuk dicatat, keputusan penganugerahan ini sudah dibicarakan secara intensif di lembaga senat akademik Universitas Negeri Padang yang notabene merupakan representasi menyeluruh dari civitas akademika UNP. Secara legal formal, penganugerahan ini juga mengikuti dan berdasarkan Permen Ristek Dikti-RI, No. 65/2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan. 

Ada pun tata cara dan syarat pemberian gelar doktor kehormatan diatur oleh masing-masing perguruan tinggi, dan itu secara jelas dinyatakan di pasal 2, ayat (3) di Permen yang sama, dengan tanpa meninggalkan kewajiban untuk mengadakan konsultasi dengan pihak terkait, terutama Kemenristek Dikti melalui Dirjen Sumber Daya IPTEK dan Pendidikan Tinggi. Ditegaskan pula di pasal 5, bahwa Peraturan Mendikbud, No 21/2013 tentang Gelar Doktor Kehormatan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. 
Berdasarkan seluruh pertimbangan dan fakta tersebut, maka UNP sebagai salah satu lembaga yang diamanati oleh pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) memandang bahwa Presiden ke-5 RI tersebut tepat untuk memperoleh gelar doktor kehormatan di bidang Politik Pendidikan Nasional. (*)

LOGIN untuk mengomentari.

What do you think?

Written by Julliana Elora

Sakit Hati karena tak Bayar Utang

2018, Transaksi Non-Tunai Diterapkan