Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi), Nezar Patria mengatakan Indonesia harus menyiapkan regulasi terkait kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) untuk pembuka jalan menuju kedaulatan digital.
“Sebetulnya jelas sekali kalau kita ingin membuat satu regulasi dan lain sebagainya kita harus lihat geopolitik pengembangan AI ini. Atlas of AI itu harus jadi pedoman untuk membuat regulasi AI untuk Indonesia kalau kita mau teknologi yang berdaulat,” kata Nezar dalam keterangan pers yang diterima, Senin.
Nezar mengatakan untuk berdaulat digital di tengah derasnya arus transformasi global, Indonesia harus menyiapkan ekosistem nasional yang kuat mulai dari riset dan pengembangan (R&D), komputasi, regulasi, hingga talenta digital unggul.
Indonesia, lanjut Nezar, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sangat strategis untuk industri chip dan komputasi AI global, seperti nikel, boron, hingga mineral penting lainnya. Namun, belum ada desain besar yang mampu menjadikan kekayaan tersebut sebagai bagian dari ekosistem global AI.
Untuk memperkuat posisi Indonesia, Nezar menekankan pentingnya membangun pusat riset dan cluster komputasi dalam negeri yang kuat, baik dari sisi hardware, infrastruktur, maupun kapasitas data.
Sebab, saat ini dana riset dan pengembangan (R&D) Indonesia hanya 0,24 persen dari total GDP sehingga perjalanan menuju kedaulatan digital, khususnya di bidang AI, masih lambat.
“Nah tanpa R&D ini agak susah kita bisa mengembangkan AI yang berdaulat, AI yang milik kita sendiri. Untuk membangun semuanya dibutuhkan komputasi yang cukup kuat, infrastruktur yang mumpuni. Dua hal ini masih dalam perencanaan,” ujarnya.
Baca juga: OJK Sumsel latih UMKM pemasaran digital berbasis AI
Selain itu, data-data kecerdasan buatan yang saat ini digunakan masih berpedoman pada model yang dibuat negara pengembangnya seperti Amerika Serikat, sehingga nilai-nilai yang dianut adalah yang ada di barat.
Alhasil, data AI yang dihasilkan bias dengan apa yang menjadi budaya masyarakat di luar Amerika termasuk stereotyping terhadap kelompok-kelompok tertentu, ras tertentu, bangsa.
“Jadi itu membuktikan ya ada upaya untuk melakukan filtering dan lain sebagai macamnya sesuai dengan kepentingan yang ada,” tuturnya.
Menurut Nezar, ada tiga tantangan utama dalam transformasi digital Indonesia yang harus segera diatasi untuk bisa menjadi negara yang berdaulat digital yakni kesenjangan infrastruktur digital, ancaman serangan siber dan defisit talenta digital.
Bahkan, Indonesia diproyeksikan membutuhkan lebih dari 12 juta talenta digital pada 2030, namun masih kekurangan 2,7 juta. Kesenjangan ini bisa menghambat seluruh proses transformasi.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pengembangan talenta digital menjadi hal yang sangat penting untuk menuju kedaulatan digital Indonesia. Ia yakin jika Sumber Daya Manusia-nya berkualitas, maka keterbatasan infrastruktur bisa ditaklukkan untuk membuat inovasi-inovasi dalam kemajuan teknologi digital.
“Sekali lagi talenta digital ini menurut saya proyek nomor satu, infrastruktur itu mungkin bisa terbatas, tapi kalau orangnya kreatif dia bisa taklukkan keterbatasan itu. China membuktikan itu dengan keterbatasan, begitu juga India juga dengan talenta-talenta yang baik mereka bisa lebih maju dalam adopsi teknologi digital ini,” tutur Nezar.
Nezar pun mengingatkan bahwa transformasi digital tidak boleh dilihat secara sektoral, melainkan sebagai ekosistem yang saling terkait dari keamanan, ekonomi, pendidikan, hingga perlindungan nilai lokal.
Baca juga: Ternyata teknologi AI bisa hapus konten judol secara otomatis tanpa melapor untuk pemblokiran