Ketika pujangga Inggris, William Shakespeare, menanyakan “Apalah arti sebuah nama?”, dapatkah kali
ini saya juga menanyakan “Apalah arti
sebuah agama?” Namun tolong jangan buru-buru mengartikan pertanyaan
tersebut dengan penuh prasangka.
Cerita ini diawali ketika saya mulai menempuh pendidikan di Perancis. Tidak
semua orang di sana tahu dimana letak Indonesia. Kebanyakan mereka hanya tahu
Bali. Maka tidak banyak pula orang yang tahu bahwa Indonesia adalah negara
dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia, meski Indonesia bukan negara Islam.
Jadi, ketika ada orang asing yang tahu dimana letak Indonesia, bolehlah saya
berbangga hati. Adalah teman saya, seorang Italia dan seorang penganut Katolik
yang sangat saleh, yang mengetahui dimana Indonesia walaupun hanya melalui
internet.
Suatu saat ia ia bertanya, “Yang saya
saya tahu dari internet, negaramu adalah negara yang penduduk Muslimnya sangat
banyak, bukan? Tetapi mengapa justru mereka, para orang Islam, sangat kejam
dalam menghakimi sesamanya? Saya jadi takut untuk mengunjungi negaramu.”
Pertanyaan itu membuat saya membisu-sangat seketika. Tak lama, saya
bertanya kembali kepadanya, “Bukankah
agamamu pada zaman dahulu kala juga pernah melakukan hal yang sama?”.
Sebuah pertanyaan yang juga membuat teman saya itu membisu.
Beberapa hari kemudian, kami bertemu kembali di kafetaria kampus. Ia
menegur saya dan bertanya, “Apa kamu
sudah mendapatkan jawabannya?” Saya pun bertanya hal yang sama kepadanya.
Setelah kami memesan kopi dan setangkup sandwich,
saya lantas bertanya, untuk apa dia bertanya seperti itu. Lalu ia pun membalas,
untuk apa juga saya bertanya hal yang sama. Saya lantas berpikir, tidak akan ada
habisnya apabila kami saling melakukan ‘balas pantun’ seperti ini.
Sambil menyeruput kopi dan membuka plastik sandwich, saya menjawab, “Ya,
saya tidak ingin menjawab pertanyaannmu apabila jawabannya adalah tidak semua
umat Muslim di Indonesia melakukan kejahatan terhadap sesamanya.”
Lalu ia menyahut, “Betul sekali
jawabanmu, begitu juga dengan agama saya. Bagi saya, tidak ada satupun agama
yang bebas dari hal-hal seperti itu, oleh karena itu, kita sebagai umat
beragama seharusnya saling bertukar ide dan pengalaman dalam hal mengelola
umatnya.”
Saya mengangguk setuju dengan pernyataannya. Ah andai saja semua orang
berpikiran seperti dia, pikir saya.
Ia mengatut rambutnya sejenak lalu berkata, “Begini, ketika kamu terus berpikir untuk bagaimana menjadikan negaramu
sebagai negara Islam dan berusaha untuk melakukan kejahatan terhadap
orang-orang non-Muslim, apakah lantas kamu berpikir kamu beragama? Apabila saya
ada di posisi kamu, saya lebih baik bunuh diri.”
“Mengapa ?,” tanya saya
kembali.
“Saya beragama karena saya sadar dan
memiliki arti bagi sesamanya. Apalah arti sebuah agama kalau ‘kerjaan’ kita
hanya melakukan kejahatan ?, ” ucapnya.
Saya mengerti sekarang apa yang ia maksud. Tiba-tiba saya teringat dengan
pemikiran seorang filsuf kontemporer Amerika, Christine Koorsgard, tentang
sebuah nilai yang dimiliki semua orang, dimana mereka harus memaknainya secara
internal dan eksternal.
Hhhmmm….
waktu sudah sore dan saya harus buru-buru menuju kelas. Saya bereskan gelas
kopi yang sudah kosong dan sampah sandwich.
“Terima kasih atas pencerahanmu,”
ujar saya.
“Oh sama-sama Teman, oh ya minggu
depan saya dan teman-teman Paroki akan berkunjung ke rumah jompo, kamu mau
ikut?,” ajaknya.
“Mengapa tidak?,” sigap saya.
“Oh ya dua minggu lagi juga akan ada
pengajian di rumah salah satu teman
saya, kamu mau ikut?,” tambah saya.
“Oh mengapa tidak? Saya ingin sekali
bertemu teman-temanmu yang Muslim,” ucapnya dengan senyum yang lebar.
“Ok, saya harus segera ke kelas,
sampai jumpa ya,” kata saya sambil menggapai tas dan setengah berlari
bergegas keluar kafetaria.
Di dalam kelas saya justru mencoba memahami kalimatnya kembali. Ya, sebuah
dialog yang sangat mencerahkan dan memperkaya hidup saya. Terima kasih teman!
Diambil dari buku “Dialog 100:
100 Kisah Persahabatan Lintas Iman” (penerbit: Jakatarub & Interfidei,
2013).