Oleh: Agus Fajri*
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan sesuatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata Negara” (pasal 156 KUHP)
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan :
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 165a KUHP)”.
kutipan diatas adalah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang belakangan minta dihapuskan. Hal tersebut merupakan efek dari dijeratnya Basuki Cahaya Purnama atau Ahok yang dijatuhi pidana penjara selama dua tahun. Tidak hanya dari dalam negeri, dari luar negeri terdapat pemberitaan mengenai permintaaan revisi pasal penodaan agama.
Dalam berita kompas.com (Mei/10) lembaga seperti Amnesti Internasional dan Dewan HAM PBB bereaksi terkait dihukumnya Ahok dengan menggunakan pasal tentang penistaan agama. Mereka menuntut revisi pasal 165 dan 165a KUHP karena tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang toleran dan pluralis. Banyak pihak yang beranggapan bahwa sekaranglah momentum penghapusan kedua pasal ini.
Tidak dapat dibenarkan
Penghapusan pasal tentang penodaan atau penistaan terhadap agama tidak dapat dibenarkan. Karena kejahatan serupa dapat menimbulkan kejahatan lainnya. Efek akan berantai dari orang yang merasa dirugikan, atau terhina agamanya. Ketika tidak ada jalan mendapatkan keadilan, maka akan muncul tindakan hakim sendiri yang akan bertentangan dengan pasal lain dalam KUHP. Hal tersebut akan bertentangan dengan tujuan hukum.
(Van Apeldorn :1958) tujuan dari hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan manusia seperti kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dari pihak-pihak yang merugikan.
Kerugian, sakit hati, terhina yang dirasakan oleh golongan tertentu karena tindakan golongan lain tidak dapat dibiarkan. Konflik horizontal antar suku, ras, penganut agama tidak dapat dihindarkan ketika salah satu menistakan atau menodai satu sama lain.
Harus ada hukum yang absolute untuk menghentikan terjadinya hal tersebut. Oleh karena itu keberadaan pasal 156 dan 156a sangat krusial dalam menjaga dan menghindarkan orang-orang dari potensi terpecah belah.
Benteng Persatuan dan Kesatuan
Pasal 165 dan 165a KUHP merupakan langkah preventif terhadap potensi hancurnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya aturan yang meberikan sanksi secara langsung pada tingkat individu akan mencegah segala tindakan atau upaya provokatif yang dapat merusak hubungan antar golongan dalam masyarakat. Potensi konflik besar dapat langsung dimatikan pada akar masalah.
Saling ejek, penghinaan, penistaan serta tindakan penodaan terhadap orang atau golongan adalah awal dari permusuhan. Pada kasus antar golongan maka konflik besar akan terjadi jika tidak mampu dipadamkan ketika belum membesar.
Pasal 165 dan 165a KUHP langsung menjerat individu yang melakukan penistaan terhadap agama. Akar masalah langsung bisa diselesaikan, dan pihak yang terganggu mendapatkan keadilan.
Bangsa Indonesia khususnya harus berterimakasih kepada keberadaan kedua pasal tersebut dalam hukum positif yang berlaku. Karena Indonesia adalah negara yang berlandaskan agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini akan menjaga sila pertama dari Pancasila yang menjadi falsafah hidup bangsa.
Penghilangan pasal ini akan menyebabkan melemahnya pancasila, karena provokasi terhadap nilai agama dan ketuhanan sangat rentan menimbulkan konflik.
Hal ini akan menyebab orang terarah kepada pemikiran tanpa agama untuk menghindari konflik. Tentu saja ateisme bertentangan dengan nilai luhur yang telah lama hidup dan diyakini secara luas di Indonesia.
Perbedaan karakter Hukum Indonesia dengan DUHAM.
Kita perlu ingat bahwa Hukum bertujuan melindungi kepentingan orang atau masyarakat (Jeremy Bentham). Kepentingan umum (masyarakat) selalu lebih besar dari pada kepentingan pribadi (Individual) sehingga tidak dapat terjadi pemaksaan kehendak individu yang bisa merusak perdamaian ditengah masyarakat. Demikian juga masyarakat umun tidak dapat mengganggu berkaitan dengan hak individu seperti yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.
Berbeda dengan karakter dari DUHAM yang mengedepankan hak individu, bahkan sampai pada mengorbankan kepentingan umum. Hal ini sangat tidak cocok dengan nilai yang ada di Indonesia. Dalam kultur masyarakat, kita terbiasa dengan keseimbangan antara hak individu dengan kepentingan umum. Segala sikap atau prilaku yang terkesan sebagai bentuk egoisme dan tidak menghargai orang lain tidak dapat dibenarkan.
Oleh karena itu kebebasan yang liar tanpa ada hukum yang membatasi tidak cocok dengan gaya hidup bangsa Indonesia yang mejemuk.
Meski Indonesia menjadi negara yang meratifikasi DUHAM, namun tidak bisa semua ditelan mentah-mentah tanpa memperhatikan efek kebaikan atau potensi kejahatan yang muncul dalam masyarakat.
Termasuk dengan adanya pasal 156 dan 156a yang dianggap bertentangan dengan HAM pada asas kebebasan berpendapat. Jika dicermati mencela, mengejek, menghina, menodai bukanlah kebebasan berpendapat yang konstruktif, melainkan hasrat atau nafsu yang bersifat destruktif.
Usulan penghapusan pasal penistaan dan penodaan terhadap agama jelas ide prematur yang terlalu dipaksakan. Hanya berdasarkan keinginan bebas tanpa batas, tanpa memperhatikan akibat dari dari penghilangan pasal ini dimasa akan datang.
Penilaian dari satu sisi yang tidak sempurna menyebabkan penghapusan ini harus ditolah demi perdamaian dan ketentraman yang ingin diwujudkan dengan adanya tata hukum.
Pancasila adalah pengejawantahan terhadap aspek kehidupan bangsa Indonesia. Sebuah intisari dari berbagai nilai konstruktif yang ada dalam masyarakatnya.
Konstituante menjaring aspirasi ini berdasarkan aspek nilai dan norma yang telah mengakar. Sebuah pemikiran yang lebih murni dan tepat untuk Indonesia daripada nilai yang terkandung dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia.
Oleh karena itu, seandainya KUHP yang berlaku positif hendak diganti dengan rancangan baru yang lebih sempurna, maka pasal tentang penistaan dan penodaan terhadap berbagai golongan yang hidup di wilayah hukum NKRI harus tetap dimasukkan. Karena ia adalah ruh yang berfungsi menjaga kebhinnekaan agar tetap tunggal ika.
*Agus Fajri, Pengurus Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia Cabang Aceh