Lebaran, selain momen mudik dan silaturahmi sekaligus momen liburan bagi mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Cara paling umum mengisi liburan adalah mengunjungi objek wisata, mulai dari wisata alam hingga wisata minat khusus. Kenapa? Karena pariwisata merupakan manifestasi gejala naluri manusia sejak purbakala, yaitu hasrat untuk mengadakan perjalanan (Syamsuridjal & Kaelany, 1996). Tujuan utama manusia melakukan perjalanan adalah melepas kejenuhan dari rutinitas sehari-hari dan mendapatkan pengalaman baru. Oleh karenanya, pertumbuhan dan perkembangan objek-objek wisata sangat cepat seiring dengan tingkat kebutuhan naluriah manusia itu.
Di Indonesia–meskipun pariwisata telah berkembang sejak zaman kolonial- perhatian yang intensif dan prioritas terhadap pengembangan dan pembangunan wisata baru dilakukan di era Orde Baru melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan. Sejak itu perkembangan pariwisata Indonesia mengalami pertumbuhan yang positif dari masa ke masa. Dampak perkembangan pariwisata juga mulai banyak dirasakan, terutama di sektor ekonomi dan sosial. Secara ekonomi pariwisata berdampak positif terhadap perekonomian negara yang antara lain didapatkan dari pendapatan nilai tukar valuta asing, penerimaan devisa akibat adanya konsumsi wisatawan, penyerapan tenaga kerja, pembangunan infrastruktur pariwisata yang turut dinikmati oleh masyarakat lokal dan di beberapa destinasi pariwisata juga sebagai generator pemberdayaan perekonomian masyarakat lokal (Kurniawati, 2013). Di aspek sosial, pariwisata memberikan lapangan kerja bagi masyarakat di daerah tujuan wisata. WTO melukiskan bahwa satu dari delapan pekerja di dunia ini kehidupannya tergantung langsung atau tidak langsung dari pariwisata.
Geliat pariwisata terus berkembang di Indonesia sebagai kegiatan ekonomi baru. Berbagai destinasi wisata bermunculan, baik dikelola oleh pemerintah maupun swasta. Tidak hanya itu, berbagai kebijakan di bidang pariwisata terus dibuat dan dikembangkan. Kebijakan tersebut kemudian membawa pertumbuhan positif kunjungan wisatawan secara nasional. Data statistik BPS menunjukkan perkembangan jumlah wisatawan di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun, begitu juga dengan penerimaan devisa. Sehingga tidak heran, dalam beberapa dasawarsa terakhir banyak daerah, masyarakat, investor dan swasta menaruh perhatian khusus pada dunia pariwisata dan bahkan terjun melibatkan diri dalam dunia Pariwisata. Berbagai destinasi wisata baru dibangun dan dikembangkan oleh pemerintah maupun swasta. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan pariwisata yang dianggap sebagai sektor pembangunan unggulan tanpa risiko.
Citra Negatif Pariwisata Sumbar
Sumatera Barat adalah satu dari 19 daerah tujuan wisata utama di Indonesia. Oleh karenanya, Sumatera Barat menargetkan diri sebagai destinasi wisata utama di wilayah Indonesia bagian barat. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, beberapa tahun terakhir berbagai terobosan di bidang kepariwisataan telah dilakukan oleh pemerintah daerah Sumatera Barat, mulai dari membangun infrastruktur hingga promosi. Tidak ketinggalan, berbagai daerah (kabupaten dan kota) juga berpacu dalam membenahi sektor pariwisata mereka, mulai dari alam hingga budaya dan minat khusus. Bahkan, daerah tertentu menjadikan jenis pariwisata tertentu sebagai ikon daerah. Hal ini patut diapresiasi sebagai bentuk keseriusan daerah mengelola kegiatan pariwisata di daerah mereka.
Perkembangan kepariwisataan Sumatera Barat dalam beberapa dekade terakhir cukup menjanjikan dengan mulai tumbuh dan berkembangnya destinasi wisata baru di berbagai daerah. Potensi-potensi sumber daya alam dan budaya mulai dilirik, dibenahi dan dikembangkan untuk menunjang kegiatan kepariwisataan. Hasilnya, banyak destinasi wisata baru bermunculan di berbagai daerah yang dikleola baik oleh pemerintah, swasta maupun swadaya. Bentuk-bentuk destinasi wisata juga beragam, mulai dari alam, wahana permainan hingga wisata minat khusus. Namun sayangnya, catatan negatif perilaku pengelola wisata tetap menjadi catatan evaluatif bagi pengelolaan kepariwisataan di Sumatera Barat.
Penyakit menahun seperti tarif parkir ilegal, biaya masuk objek yang naik beberapa kali lipat, harga makanan di lokasi objek wisata yang tidak normal dan lain sebagainya terus terjadi setiap tahun. Perilaku yang dikenal dengan main pakuak tentu menjadi pengalaman buruk wisatawan setiap berkunjung ke lokasi wisata. Selain itu, perilaku premanisme juga tidak jarang dialami pengunjung ketika protes terhadap tagihan yang dainggap tidak wajar dan ilegal.
Dampaknya, citra pariwisata menjadi buruk dan wisatawan menjadi enggan untuk kembali datang dan bahkan ada yang langsung balik kanan. Hal ini tentu merugikan bagi kegiatan pariwisata. Meskipun tidak semua lokasi, namun kasus-kasus tersebut menggeneralisir pengelolaan wisata di Sumatera Barat. Hal ini didukung oleh media penyebaran informasi yang begitu cepat. Lebaran tahun ini misalnya, kejadian main pakuak di beberapa lokasi viral di media sosial.
Sebenarnya, kenapa perilaku main pakuak terus terjadi di lokasi-lokasi wisata Sumatera Barat? Secara filosofis, hal ini bisa dijawab karena manusia adalah homo economicus. Namun, secara sosiologis perilaku main pakuak dapat dipahami sebagai perilaku pragmatis. Perilaku di mana manusia ingin mendapatkan hasil banyak melalui jalan pintas tanpa usaha maksimal, yang dalam bahasa Koentjaraningrat disebut mentalitas menerabas. Mentalitas seperti inilah yang menjadikan perilaku masyarakat tidak berpikir dalam jangka panjang. Padahal, kegiatan pariwisata adalah kegiatan jasa yang harus memberi kesan nyaman dan menyenangkan bagi para wisatawan agar mereka datang kembali di masa yang akan datang, atau minimal mneceritakan kenangan indah kepada orang lain dan orang lain tertarik untuk ikut berkunjung.
Bangun Pariwisatanya, Siapkan Manusianya
Selain mentalitas, hal yang tak kalah penting sebenarnya adalah aspek manusia yang belum tersentuh dalam pembangunan pariwisata. Sejauh ini, pembangunan pariwisata di Sumatera Barat lebih berorientasi ke infrastruktur dan fisik. Belum banyak program yang berorientasi pada menyiapkan masyarakat pelaku pariwisata. Sehingga, perilaku melayani yang menjadi prasyarat dalam kegiatan pariwisata tidak dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, secara kultur masyarakat Sumatera Barat tidak bermental melayani sebagaimana prasyarat dalam kegiatan pariwisata yang merupakan bagian dari kegiatan jasa. Dalam usaha jasa, pelaku harus bersifat melayani.
Oleh karena itu pembangunan kepariwisataan juga harus dilakukan bersamaan dengan pemberdayaan masyarakat agar siap menjadi pelaku pariwisata yang bersifat melayani. Dengan demikian, perilaku main pakuak tidak lagi menjadi keluhan dalam setiap kegiatan pariwisata. Ke depan, setiap program dan atau proyek pembangunan pariwisata harus diikuti dengan program pemberdayaan masyarakat agar menjadi masyarakat sadar wisata. Karena pada dasarnya, upaya pembangunan dan pengembangan pariwisata tidak bisa dilepaskan dari manusia yang terlibat di dalamnya. Adalah menjadi sia-sia jika pembangunan pariwisata hanya berorientasi fisik tanpa menyiapkan manusia yang akan mengelolanya. Karena betapapun, kegiatan pariwisata adalah kegiatan yang melibatkan manusia secara langsung dari berbagai sisi. Oleh karenanya, membangun pariwisata tidak bisa tanpa menyiapkan manusia yang akan mengelolanya. Jika tidak, maka perilaku negatif main pakuak akan terus berulang dan kemajuan pariwisata akan terhambat. (*)
LOGIN untuk mengomentari.