Jakarta (ANTARA) – Awal musik rock di Indonesia diperkirakan terjadi pada dekade 1950-an, ketika demam Elvis Presley sang “Raja Rock n Roll” asal Amerika merebak ke penjuru dunia, yang kemudian disusul The Beatles dan Rolling Stones pada 1960-an dari Inggris.
Denny Sakrie dalam bukunya “100 Tahun Musik Indonesia” menyebut anak-anak muda kaum menengah ke atas mengenal lagu-lagu rock lewat piringan hitam. Selain piringan hitam, lagu-lagu Chuck Berry, Carl Perkins, Bill Haley and His Comets dan Elvis Presley juga dapat didengar melalui siaran radio luar negeri seperti ABC Australia, Hilversum Belanda dan Voice of America.
Baca juga: Cerita kebangkitan Cokelat, album #LIKE! dan konsistensi konsep rock
Tak hanya lewat lagu, film musikal “Rock Around the Clock” (1956) yang menampilkan musisi Bill Haley and His Comet juga menjadi jembatan perkernalan anak muda dengan kultur rock tersebut.
Kegemaran mereka akan lagu-lagu tersebut dimanifestasikan dalam bentuk orkes-orkes (sebutan band waktu itu) yang membawakan lagu dengan ritmik percampuran rhytm and blues serta country.
Lagu-lagu rock yang ada saat itu tak melulu gubahan baru, para musisi kerap membawakan kembali lagu-lagu lama dengan kemasan yang bercorak rock n roll. Seperti lagu berirama keroncong, Bengawan Solo (1940) ciptaan Gesang, dinyanyikan kembali dengan irama rock n roll oleh Oslan diiringi Orkes Irama Cubana Teruna Ria pimpinan Z. Arifin.
Baca juga: Resep nge-band awet ala Ahmad Albar dan Eet Sjahranie
Pengarsip musik dari Irama Nusantara David Tarigan mengatakan lagu yang direkam sekitar 1958 menjadi salah satu bukti bahwa para musisi saat itu berupaya memainkan lagu yang menjadi tren global di eranya.
Menurut dia sejak adanya Elvis Presley, dunia memasuki era rock yang banyak mengubah kultur anak muda, sebelum era Elvis, cara pendengar mengapresiasi musisi belum fanatik.
Rock hadir sebagai paket yang lengkap tidak hanya musik dan lirik tetapi juga gaya hidup.
“Sebelumnya kan tidak ada cewek-cewek teriak-teriak saat menonton musik sampai kleper-kleper. Cara pemujaan baru itu muncul lewat bintang rock,” kata David Tarigan.
Di Barat sana, kata dia, awalnya anak muda tidak punya musik bagi generasinya, mereka cenderung mendengarkan musik yang sama dengan orang tuanya karena dianggap tidak punya uang untuk membeli rekaman musik.
Baca juga: Cokelat pilih bikin lagu baru ketimbang daur ulang “Tembang Kenangan”
Sampai ketika pertama kali Bill Haley mengeluarkan single rock n roll pertama pada 1951 dengan membawakan ulang lagu “Rocket 88” yang ternyata disukai publik Amerika. Bill Haley yang menjadi tonggak sejarah rock and roll pun mencetak rekor dengan lagu “Rock Around the Clock” yang terjual 25 juta keping menurut Guinness Book of World Records.
Sejak saat itu para pemuda merasa bahwa rock and roll adalah musik yang mewakili mereka, dan mereka bisa berupaya apa saja untuk dapat menikmati musik-musik itu.
“Ternyata anak muda kalau pengen sesuatu tuh ya bisa aja, dan pertama kalinya ada satu gaya baru dalam pemujaan, jadi orang-orang tak hanya mendengarkan lagunya, tetapi juga paket besar yang ditawarkan, ya profilnya, ya orangnya. Anak muda menganut gaya baru itu ya total, seperti bernapas saja,” kata dia.
Tak hanya mengubah kultur dalam menikmati musik, industri musik juga ikut berubah. Rock menjadikan anak muda target pasar mereka. Ekspresi tersebut pun sampai ke Indonesia.
Bukan hanya Bill Haley, Elvis Persley dan kawan-kawan, kalangan kecil anak muda Indonesia juga mulai mengakses rock instrumental seperti band The Shadows asal Inggris.
Bedanya, jika Bill dan Elvis adalah solois, maka The Shadows –yang sebelumnya bernama The Drifters– adalah band pengiring untuk penyanyi Cliff Richard pada 1958 hingga 1968.
David mengatakan The Shadows yang sempat main di Singapura pada tahun 1960-an telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap tren bermusik di kawasan Asia Tenggara.
Baca juga: Alasan Prisa Rianzi, rekan duet J-Rocks bersembunyi selama tiga tahun
“Semua ingin menjadi The Shadows, semua ingin gitar stratocaster yang digunakan Hank Marvin (gitaris The Shadows). Mereka juga meniru vox amplifier yang digunakan oleh The Shadows,” kata dia.
Lewat tren ini munculah Eka Sapta yang menjadi grup musik instrumental asal Jakarta pada era 1960-an. Eka Sapta yang terdiri dari Bing Slamet, Ireng Maulana, Idris Sardi, Itje Kumaunang, Benny Mustapha, Darmono dan Kamid, mengawali rekamannya dengan musik gaya The Shadows dan The Ventures.
Theodor KS dalam bukunya “Rock n Roll Industri Musik Indonesia” menyebutkan kelompok tersebut mengiringi penyayi solo baik di atas panggung dan di studio rekaman seperti Rima Melati, Suzanna, Vivi Sumanti, Lilis Suryani dan Yanti Bersaudara.
Tak hanya The Shadows, duo asal Amerika The Everly Brothers juga menjadi salah satu patokan bermusik musisi Indonesia, hal itu tercermin dari kover album-album awal Koes Bersaudara yang hanya menampilkan Yok dan Yon Koeswoyo, seperti album The Everly Brothers yang menampilkan Don Everly dan Phil Evely.
Tony Koeswoyo dalam kata pengantarnya pada LP pertama Koes Bersaudara (1964) menuliskan bahwa musik-musiknya terilhami oleh The Kalin Twins dan Everly Brothers.
Saat The Beatles muncul dan menjadi sensasi baru di dunia musik, barulah semua orang ingin “nge-band” sambil bernyanyi. Sampul album The Bealtes yang menampilkan semua personelnya juga ditiru, maka setelah itu Koes Bersaudara menampilkan semua anggotanya di cover album.
Baca juga: Jakarta Rock Space hadirkan Godbless, Edane, hingga Jamrud
Baca juga: Kata Nicky Astria soal sulitnya mencari “Lady Rocker” masa kini
Baca juga: /rif akan aransemen musik sesuai dengan daerah yang dikunjungi
Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ida Nurcahyani
COPYRIGHT © ANTARA 2019