Persaingan sumber daya manusia (SDM) di pasar tenaga kerja semakin terbuka. Apalagi di era digital seperti saat sekarang ini. Pakar organisasi dan SDM jebolan Southern Cross University, Australia, Harif Amali Rivai sebagai revolusi industri golongan IV. Manusia berkemampuan rendah akan menjadi penonton.
Kemajuan teknologi tidak bisa dihambat. Perkembangannya akan terus melahirkan ciptaan baru dengan alat canggih yang bisa menggantikan kepandaian manusia. Dunia bisnis apalagi. Sekarang bisnis dengan pola digital dan jejaring berbasis tekonologi nyaris menggilas bisnis konvensional. Semua berbasis aplikasi. Kalau sudah begitu adanya, manusia yang tidak mau meng-upgrade diri, berkemampuan rendah tidak akan dibutuhkan lagi di dunia kerja.
Sebagai contoh, lembaga perbankan tidak harus merekrut banyak akuntan lagi karena semua tuntas oleh aplikasi. Perusahaan dapat mengganti tenaga puluhan karyawan dengan kemampuan satu aplikasi canggih. “Kalau tidak mengikuti kemajuan teknologi dan yang berkemampuan rendah akan jadi penonton,” kata Harif Amali Rivai saat ditemui di ruang kerjanya di Dekanat Fakultas Ekonomi Unand pekan ini.
Kemampuan tinggi yang dimaksudnya bukan berarti memiliki IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) tinggi. IPK bukan cerminan seseorang memiliki kemampuan atau tidak. Ada lulusan dengan IPK sedang namun memiliki kemampuan lebih. Terkadang ada pula yang ber-IPK tinggi sementara kemampuannya hanya biasa-biasa saja.
Begitu juga akreditasi kampus, fakultas atau jurusan. Lulusan kampus berakreditasi A tidak menjamin lebih berkemampuan dari pada kampus berakreditasi B. Sebaliknya lulusan kampus berakreditasi B tidak dapat dipastikan mereka berkemampuan di bawah lulusan kampus berakreditasi A. Itulah, katanya, kenapa tes dan seleksi diberlakukan dalam penerimaan tenaga kerja. Artinya tidak cukup dengan melihat nilai ijazah dan label kampus semata.
Untuk itu, Perguruan Tinggi (PT) harus menyiapkan lulusan yang mampu menyeimbangi perkembangan teknologi. Orientasi kurikulum dan metode pengajaran juga harus bertransformasi termasuk cara mengajar. Dosen yang tidak siap mengupgrade diri akan ditinggalkan. “Kalau dosen tidak begitu, dia juga akan tertinggal bahkan dari mahasiswanya sendiri,” ungkapnya.
Realita saat ini tidak sedikit dari orang-orang yang telah bekerja namun minim pengetahuan tentang teknologi. Bahkan potret serupa juga terlihat di sebagian kampus. Masih ditemui pegawai di kampus yang belum menguasai teknologi sederhana sekalipun. Malah tenaga honorer yang diperbantukan mampu melebihi kemampuan pegawai yang ada.
Menurutnya, setiap spesifikasi ilmu yang dimiliki seseorang mesti dibarengi dengan kemampuan menguasai teknologi. Seperti orang yang paham SDM, sebaiknya juga paham dengan teknologi. Begitu juga keahlian lain yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Perkembangan teknologi tidak dapat dibendung.
Menyikapi tantangan revolusi yang bergerak cepat, Balai Latihan Kerja (BLK) yang ada di Sumbar mesti diaktifkan kembali. Begitu juga dengan lembaga sertifikasi dan inkubator bisnis. Lembaga ini dinilai mampu membentuk skill calon tenaga kerja.
Harif Amali Rivai memprediksi ke depan sekolah vokasi akan menjadi idaman. Sebab sekolah vokasi lebih mengutamakan skill dari pada knowledge. Namun bukan mengabaikan pengetahuan. Persentasenya sekitar 60:40 persen. Perusahaan sudah mulai mengutamakan karyawan yang ingin belajar dan loyal dari pada karyawan pintar.
“Sumbar sudah berorientasi pada transformasi ini, sudah. Hanya saja komposisi dan demografi di lembaga-lembaga yang ada belum sepenuhnya siap,” hemat Dekan Fakultas Ekonomi tersebut. Untuk berorientasi, aparatur sipil negara (ASN) yang ada belum sepenuhnya siap. Di sanalah ganjalan komposisi yang dimaksud Harif Amali Rivai.
Mengamati strategi pembangunan yang diterapkan di Indonesia, dan Sumbar, menurutnya sudah tepat. Pemerintah membenahi infrastruktur terlebih dahulu kemudian membangun SDM. Infrastruktur merupakan mobilitas eknomi. Apalagi infrastruktur tumbuh maka ekonomi di suatu daerah akan tumbuh pula.
Meski begitu, pemerintah jangan terlarut dengan pembangunan fisiknya. Setelah mobilitas ekonomi mulai bergerak, seyogyanya pembenahan SDM harus ditingkatkan. “Setelah infrastruktur baru bangun SDM-nya. Kan nggak mungkin kita belanja dengan aplikasi online, tapi pas ngantar ke daerah itu tidak bisa karena akses jalan tidak memadai,” pungkasnya. (*)
LOGIN untuk mengomentari.