Berharap Ada Sequel-nya
Novel Cincin Kelopak Mawar, karya Firdaus Abie, dibedah dan “dipreteli” dua narasumber, Muhammad Subhan, Ketua Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia dan Maya Lestari GF, aktivis di Kelas Kreatif Indonesia (KKI). Beragam pertanyaan pun meluncur dari audiens yang berasal dari berbagai lapisan dan sejumlah daerah di Sumbar.
Muhammad Subhan, Ketua Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang juga seorang jurnalis dan novelis menyebutkan, sekali pun tema yang diangkat adalah tema klasik cinta segitiga, namun ia memandang, penulis telah mampu mengemas secara baik sehingga menghasilkan kisah tersendiri.
“Novel ini pantas dibaca dan patut direkomendasikan sebagai salah satu acuan bagi pembaca karya-karya sastra,” kata Muhammad Subhan di hadapan 100 peserta bedah novel dan talkshow kepenulisan, di aula Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Sumbar, Sabtu (11/2) lalu.
Katanya, karya kreatif ini patut diapresiasi. Tak banyak naskah novel diangkat dari pengembangan sebuah cerpen. Menariknya lagi, materi yang ada di novel justru lebih berkembang dan mampu merawat konflik sampai akhir.
“Malahan endingnya yang terkesan menggantung, menghadirkan tanda-tanya, selain tuntas pada materi sekarang, juga bisa menghadirkan materi lanjutan,” katanya.
Pernyataan Muhammad Subhan tersebut dibenarkan sejumlah audiens, terutama yang sudah membaca naskah tersebut. Beberapa orang diantaranya menginginkan agar penulis “menghadirkan” kembali tokoh utama, Rabiatun, Badri dan Marni, yang “hilang” pascakonflik yang terjadi pada mereka.
“Teka-teki percintaan mereka menarik,” kata Dewi, salah seorang audiens. “Terasa sangat jadul,” kata yang lain, alasannya settingnya terlalu daerah, tokohnya menggunakan nama orang-orang zaman dahulu.
Maya Lestari GF, seorang novelis yang juga aktivis di Kelas Kreatif Indonesia (KKI) menilai, kekuatan lain dari novel ini, sekali pun kisah ini “terjadi” di sebuah perkampungan di Minangkabau, namun penulis tidak memaksakan ideom keminangkabauan dalam kisahnya. Sekali pun demikian, tetap saja ada pesan-pesan sosial yang biasa ada di negeri ini.
Bedah novel yang dipandu Denni Meilizon, cerpenis yang juga redaktur sastera Haluan, terasa mengalir.
“Jika kelak ada sequel-nya, tentu kisahnya akan lebih menarik lagi,” kata Denni, yang pada awalnya menyebutkan, Cincin Kelopak Mawar pernah dipentaskan koreografer Jhony Andra dalam bentuk karya tari kontemporer, dan dipentaskan di Padang, Pekanbaru serta Lampung. Grup teater Nan Tumpah pernah pula menampilkan dalam bentuk teater.
Muhammad Subhan, Maya Lestari GF dan Firdaus Abie juga berbagi dengan peserta perihal tips dan trik menulis. Sejumlah peserta ada yang bertanya bagaimana langkah-langkah menulis secara praktis, bagaimana memperoleh dan mengembangkan ide, hingga hal-hal yang berkaitan dengan kepenulisan.
Sekadar diketahui, Novel Cincin Kelopak Mawar itu pengembangan dari cerpen judul yang sama. Cerpen Cincin Kelopak Mawar memperoleh penghargaan sebagai pemenang II Sayembara Cerpen A A Navis Award, tahun 2007, yang diadakan Deakyn University Australia dan Universitas Negeri Padang.
Tahun 2009, Firdaus meluncurkan kumpulan cerpennya berjudul Cincin Kelopak Mawar, diterbitkan Pustaka Kemang, Jakarta. Tahun 2010, cerpen Cincin Kelopak Mawar mengilhami Jony Andra untuk mementaskan tari kontemporer dengan judul tersebut, dipentaskan di Padang, Pekanbaru dan Lampung.
Cerpen tersebut juga mengilhami sutradara Mahatma Muhammad bersama Teater Nan Tumpah menampilkan pementasan teater di Taman Budaya Sumbar.
Selain telah menghasilkan sejumlah cerpen yang diterbitkan berbagai media di Padang, Pekanbaru, Batam, Jambi dan Jakarta, naskah-naskah cerpen Firdaus juga sudah dihimpun dalam bentuk kumpulan cerpennya sendiri.
Di antaranya; Duh Manisnya Kamu di Lampu Mati (tahun 2006), Cincin Kelopak Mawar (tahun 2009) kemudian sejumlah cerpennya masuk dalam antologi cerpen, di antaranya Potongan Tangan di Kursi Tuhan (2011), Uang Jemputan (2014), Kumpulan Cerpen Sepenggal Rindu Dibatasi Waktu, (2015). (*)
LOGIN untuk mengomentari.