in

Belajar Bimbingan di UPT SMPN 3 Batusangkar, Trik Bangun Harga Diri Siswa

Anitra Wahyu Nor Harlina
UPT SMPN 3 Batusangkar

Judul tulisan ini sepertinya sangat dekat dengan istilah yang digeluti oleh rekan sejawat di dunia konseling sekolah dan rekan-rekan psikolog. Ternyata asumsi demikian memang benar adanya. Proses pembelajaran di sekolah sejatinya adalah proses memberikan pendampingan kepada siswa dalam segala kondisi kodrati yang mereka miliki.

Mendampingi kelas bukan sekadar transfer pengetahuan semata. Begitu banyak proses yang harus dilalui oleh seorang pendidik agar tujuan dari pendampingan tercapai. Proses pun membutuhkan berbagai ketrampilan dan pengetahuan yang mendukung sehingga hasil yang diharapkan dapat terwujud.

Suksesi seorang pendidik mengembangkan pengetahuan, minat dan bakat siswa dipengaruhi oleh kompetensinya tentang ilmu dan pengetahuan yang diampu. Sesuai bidang ajar dan pengetahuan lainnya yang mendukung.

Dukungan pengetahuan di luar bidang ilmunya, merupakan suatu upaya demi memahami siswa dengan segala karakteristik yang melekat secara kodrati. Setiap siswa di kelas kita memiliki latar belakang psikologis yang terkait erat dengan proses perkembangan mereka yang unik, berbeda dari teman-teman se-kelasnya.

Implikasinya adalah setiap siswa memiliki kemerdekaan dan kebebasan, untuk memilih serta mengembangkan diri mereka, sesuai dengan keunikan, tanpa menimbulkan konflik dengan lingkungan (teman sekelasnya). Dalam kondisi sebagaimana redaksi di atas, tentunya menjadi sangat penting pengetahuan terhadap bimbingan dan konseling, menjadi referensi bagi guru bidang studi.

Bimbingan dalam konsep konseling adalah suatu upaya pembimbing untuk memberikan bantuan mengoptimalkan individu (siswa). Apakah ada perbedaan tujuan bimbingan yang dilakukan oleh guru mata pelajaran atau bidang studi dengan para konselor?

Asumsi penulis yang juga seorang guru bimbingan yang dilakukan oleh guru bidang studi memiliki kemiripan tujuan dengan para konselor di sekolah. Guru bidang studi harus melakukan pembimbingan dalam rangka membantu siswanya untuk memahami diri (keunikan) mereka sendiri, lingkungannya, tugas-tugas yang yang terkait dengan mata pelajaran yang diperoleh di kelas.

Sehingga dampak positifnya adalah setiap siswa sanggup mengarahkan diri, menyesuaikan diri dengan lingkungannya (tuntutan akademis). Dalam konteks ini maka guru bidang studi dan para konselor di sekolah seayun selangkah menjalankan fungsi pengembangan bimbingan.

Quoted sederhana dari Barbara Allman untuk pendidik tentang layanan pembelajaran adalah, “Sediakanlah lingkungan belajar yang mengakui dan menghargai setiap kontribusi pada kelas anda”. Cukup lama penulis renungkan hal di atas.

Resonansi yang panjang dalam menemukan makna dari pesan singkat demikian, membawa penulis pada suatu pemikiran, bahwa kata kontribusi adalah peran setiap individu di kelas yang sedang didampingi. Tentunya merujuk pada siswa, yang akan memberikan kontribusi dalam proses komunikasi pembelajaran.

Untuk termotivasi berkontribusi, bukan suatu kondisi yang sederhana untuk mendapatkannya. Berbagai strategi dan model pembelajaran yang diaplikasikan guru di dalam kelas sejatinya adalah demi meraih motivasi semua siswa untuk berkontribusi dalam proses dimaksud.

Pilihan penulis membahas tentang membangun harga diri siswa, sepertinya tidak terlalu berlebihan. Sebab asset yang sangat berharga yang sesorang (juga siswa) bisa miliki adalah harga diri. Semua perang besar yang terjadi di sepanjang sejarah dunia ini termasuk di Nusantara, semua terkait dengan upaya mempertahankan harga diri.

Perang Batavia (1629-1629), bermula dari keinginan VOC untuk mendirikan kantor dagang dan Kyai Rangga, Bupati Tegal, selaku utusan perdamaian dengan VOC dari Sultan Agung, kedua belah pihak saling menolak menjadi pemicu perang, karena dianggap menyangkut harga diri. Perang Diponegoro (1825–1830) lebih dikenal dengan Perang Jawa.

Dilatari oleh terlalu banyaknya pihak Belanda campur tangan dengan urusan pemerintahan keraton (Sultan Hamengkubuwono III). Khususnya mengangkat Raja dalam usia yang sangat tidak masuk akal (2 tahun) dan dilakukan oleh bangsa asing. Pengambilan peran yang tidak semestinya, memicu semangat amarah.

Kemudian disikapi oleh Diponegoro untuk menggalang pasukan perlawanan. Berikutnya serangan 10 November 1945, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Surabaya. Berawal dari perobekan bendera merah putih dan kematian Brigjen Mallaby (inggris), yang disambut dengan semboyan “merdeka atau mati”.

Peristiwa dimaksud juga tidak terlepas dari harga diri sebagai bangsa. Termasuk Bandung Lautan Api (1946), sebuah penolakan masyarakat terhadap pangkalan militer Belanda di Bandung dengan cara membumi hanguskan rumah-rumah warga sendiri. Semua perang kolosal di NKRI masa lalu sejatinya semua berawal dari ketersinggungan harga diri sebagai manusia, bangsa dan warga dunia yang sejajar.

Jika demikian apa harga diri tersebut?, mengambil istilah dari Webster “harga diri merupakan rasa percaya diri dan kepuasan dalam diri seseorang”. Harga diri istilah lainnya adalah citra diri, juga dapat disejajarkan dengan kondisi mufakat diri, sangat dipengaruhi oleh bagaimana seseorang menghargai dan melihat dirinya sendiri.

Oleh sebab itu citra diri yang positif harus selalu dibangun oleh guru dan orang tua kepada siswanya. Dengan kepemilikan citra diri positif, akan memotivasi siswa memiliki kompetensi membangun hubungan dengan orang di sekitarnya. Selanjutnya mampu menghadapi tekanan kehidupan, serta membuat kontribusi yang berguna bagi masyarakatnya.

Mengapa dengan harga diri di ruang-ruang kelas?. Harga diri tidak di bangun lewat instruksi (pelajaran). Proses membangun interaksi pembelajaran dengan banyak arah merupakan landasan bagi terbentuknya harga diri siswa. Saat siswa merasa dicintai, diperhatikan, adalah momentum yang paling berharga.

Melalui kondisi tersebut seorang siswa melihat dirinya, sebagai orang yang pantas mendapatkan cinta dan penghargaan dari para gurunya. Prinsip ini juga berlaku sebaliknya untuk para rekan pendidik tentunya. Oleh karena itu interaksi guru–siswa dalam jangka panjang (3 tahun), yang berlangsung di sekolah adalah factor yang sangat berpengaruh. Bagaimana setiap siswa disekolah merasa dan memandang tentang dirinya.

Perlakuan para sejawat dalam pembimbingan di kelas-kelas dengan penuh penghargaan dan cinta adalah motivasi bagi tumbuh kembang citra diri positif siswa kelak.
Bagaimana cara mengembangkan harga diri siswa di ruang-ruang kelas?

Pertama tentunya pendidik dapat mengenali faktor-faktor penting demi perkembangan harga diri siswa. Faktor dimaksud adalah, siswa di dalam kelas tentunya harus dibimbing untuk memahami diri sendiri secara mendalam.

Point ini menjadi penting untuk menunjang kehidupan siswa di dalam kelas agar mudah merasa saling berinteraksi satu sama lain, membangun pemikiran bahwa proses belajar adalah juga hak teman-teman lain di kelasnya. Perilaku pendidik berikutnya adalah memberi perlakuan pembimbingan pembelajaran dengan tetap memperhatikan perbedaan individual siswa.

Ini dilakukan guna mendorong tumbuh kembang keunikan, kekuatan, dan ekspresi diri siswa. Setiap siswa mempunyai kebutuhan untuk merasa mereka memiliki kualitas khusus dan unik. Siswa juga diberi ruang yang luas untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan jujur, serta kebebasan untuk bertanya.

Kedua hal tersebut merupakan kebutuhan dasar. Maka ketika kebutuhan emosi dasar tersebut terpenuhi, harga diri siswa akan bertumbuh dan berkembang. Kaitannya dengan judul tulisan ini adalah, perilaku pendidik yang memberi ruang hak dasar, sejatinya telah memperlakukan siswa secara manusiawi.

Peluang itu juga sebagai upaya memberikan kemudahan pada mereka untuk berkembang dengan optimal. Keseluruhannya tentu tidak lupa mengemasnya dalam suasana kelas yang menyenangkan.

Siswa, sebagaimana juga orang-orang yang dewasa, sangat membutuhkan kedekatan secara emosional dengan orang-orang penting bagi mereka (keluarga). Saat mereka mampu merasakan special dan penting di tengah-tengah keluarga, maka saat itulah mereka melihat citra dirinya sebagai bagian penting dari keluarga.

Bergeser ke arah luar lingkungan keluarga, yakni sekolah, maka pendidik memainkan peran penting, untuk mengembangkan rasa memiliki proses pembelajaran yang sedang berlangsung. Tanpa kontribusi mereka yang intens, maka tujuan proses belajar tidak akan tercapai optimal. Perasaan dirinya diterima dan rileks di ruang kelas, sangatlah penting.

Kontribusi mereka dalam proses pembelajaran begitu bermakna. Membawa situasi bahwa siswa adalah anggota kelas yang berharga, merupakan hal yang mutlak. Tips sederhana berikut tentunya dapat menjadi referensi rekan sejawat, bangunlah harga diri siswa dalam pembimbingan belajar di sekolah dengan selalu siap sedia bagi siswa kita.

Di saat mereka terkendala dengan tugas-tugas mata pelajaran ataupun jika mereka ingin “berbagi sesuatu” (dalam konteks positif). Rutinitas pendidik mengucapkan salam saat baru memasuki pintu kelas, adalah upaya sederhana, yang menunjukan mereka telah dihargai.

Berikutnya, adalah beri ruang pada siswa bahwa dirinya penting. Tentunya diawali dengan berusaha mengenal setiap siswa (meski ini juga sulit bagi kita). Dengar apa yang mereka katakan, meski dalam percakapan santai, serta berusahalah memahami hal-hal yang mereka sukai serta hal-hal yang mereka ingin tahu.

Dalam optimalisasi suksesi gerakan literasi sekolah, lakukan 15 menit untuk menceritakan pada kelas tentang diri anda. Beri ruang, siswa kita mengetahui tentang keluarga, hobi, keinginan, tujuan-tujuan anda untuk mereka. Dengan demikian ikatan rasa saling percaya dan hormat akan terwujud.

Tunjukan apresiasi anda saat mereka membantu dan kooperatif dalam proses belajar. Ungkapan yang menggambarkan mereka punya pengaruh dalam proses belajar, memberi meraka keyakinan bahwa dirinya adalah manusia yang berharga.

Membuka ruang bagi kelompok-kelompok dalam belajar, yang divariasikan selama satu tahun pelajaran, memberi kesempatan siswa belajar satu sama lain, dan kontribusi tiap individu sangat diperlukan.

Menciptakan tiap anggota kelompok belajar berkomentar terhadap presentasi– presentasi yang berbeda. Meminta tiap kelompok melakukan umpan balik dari apa yang telah siswa lakukan, juga langkah strategis membangun harga diri. Kita sering meminta siswa membantu menghapus tulisan pada papan tulis kelas, sungguh hal yang terkadang dianggap biasa.

Namun balikan dari perilaku pendidik, sejatinya adalah upaya pembimbingan membuat siswa tahu akan tanggungjawab. Bahwa mereka dibutuhkan untuk berperan dengan cara-cara yang berbeda. Setiap akhir semester, sekolah memiliki program lomba kelas yang rapi dan bersih.

Kegiatan ini tentu melibatkan banyak pihak di kelas. Seluruh warga kelas akan bekerja pada satu tujuan, yakni menciptakan kelas yang indah. Semua kegiatan bermuara pada usaha pencapaian siswa merasa bangga dengan prestasi yang diperoleh.

Mungkin saja sebaliknya, siswa menjadi kecewa, karena hasil yang diperoleh tidak seperti harapan. Di sini fungsi pendidik menguatkan kembali harga diri, bahwa untuk suksesnya program kelas bersih, harus ada kontribusi peran semua warga kelas.

Bimbing siswa kita membangun jejaring pertemanan dengan kelas yang lebih senior. Kegiatan Filateli antar kelas dalam satu sekolah, di mana yang senior membatu yang junior menjadi tutor, seperti dalam kegiatan belajar matematika, sains, atau sastera. Ajak siswa kita mendesain “penghargaan apresiasi”, untuk sesama teman atas capaian yang diperoleh, ini adalah jalan membangun harga diri.

Kecanggihan teknologi komunikasi, mungkin dapat dimanfaatkan untuk menyimpan kenangan kelompok. Ambil dokumentasi saat mereka serius bekerja dalam kelompok. Foto-foto tersebut dapat diabadikan pada majalah dinding, atau majalah sekolah.

Menyaksikan kembali foto ini, mampu memperkuat perasaan hubungan antara satu siswa dengan siswa lainnya. Tips berikut nya mungkin sulit dilakukan oleh sekolah, meski sangat besar perannya dalam membangun harga diri siswa.

Penulis menyebutnya Buku kenang-kenangan kelas. Sangat jarang sekolah atau kelas memilikinya. Meski halaman demi halaman pada buku tersebut adalah menjelaskan tentang siswa dan aktifitas-aktifitas favorit mereka.

Suatu saat mereka membuka halaman-demi halaman buku, tentunya mereka akan mengenang masa-masa yang menyenangkan yang telah dilalui bersama. Sekelumit tulisan ini mungkin dapat menginspirasi para sejawat. Salam merdeka belajar dan mengajar, semoga memberi manfaat (*)

What do you think?

Written by Julliana Elora

Dongkrak Hafalan Via Susun Ayat di Kelas Tahfiz

Semangat Syaftineldi, Penjaja Ikan Keliling: Nafkahi Keluarga, Kuliahkan Anak