ACEHTREND. CO, Banda Aceh – Kita senang, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh tegas. Aparatur Sipil Negata (ASN) yang tidak netral dalam Pilkada akan dipecat, atau dicopot.
Sikap tegas Mayjen TNI Purn Soedarmo memang dibenarkan oleh Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disipilin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Larangan berpolitik bagi PNS juga ada di dalam Undang-undang nomor 23 tentang Otonomi Daerah yang melarang ASN terlibat dalam kampanye atau menjadi tim sukses calon kepala daerah tertentu. Peraturan Pemerintah ini kemudian diperkuat lagi dengan UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Ketentuan sanksi juga telah diatur dalam Pasal 7 PP Nomor 53 Tahun 2010 yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu ringan, sedang, dan berat.
Sesuai dengan Pasal 4 (12) jo Pasal 12 dan 13, pelanggaran netralitas PNS dapat dikenakan hukuman hingga pemberhentian secara tidak hormat.
Adapun berdasarkan Pasal 2 UU ASN yang salah satunya berisikan asas Netralitas, setiap ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepentingan siapapun.
Mengacu kepada Pilkada serentak 2015, aturan agar netral di Pilkada juga diingatkan kembali dalam Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi yang berisi salinan memorandum of understanding (MoU) Netralitas PNS yang diteken Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komite Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Dalam Surat Edaran itu, kembali diingatkan tentang sanksi jika tidak netral, termasuk sanksi berat berupa pemecatan dengan hormat atau tidak dengan hormat.
Bagi Menpan RB kala itu, bagi ASN yang terlibat dalam Pilkada sanksinya bukan lagi sanksi ringan, melainkan sanksi sedang dan berat.
“Jadi sanksinya tidak ringan lagi tapi sedang hingga berat,” tegas Yuddy Chrisnandi kepada media kala itu (7/2015).
Dia menjabarkan, sanksi sedang antara lain berupa penundaan tunjangan gaji berkala, penundaan pembayaran kinerja, penundaan kenaikan jabatan dan promosi jabatan.
Sedangkan sanksi berat berupa pemberhentian dari jabatan, penurunan pangkat satu tingkat, pemberhentian dengan hormat, hingga pemberhentian dengan tidak hormat plus tidak mendapatkan pensiun.
Hanya saja, sanksi pemecatan pegawai negeri sipil (PNS) tidak serta merta dijatuhkan meski terbukti tidak netral dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Mengacu kembali kepada MoU Netralitas PNS dalam Pilkada Serentak 2015, disebutkan bahwa Bawaslu/Panwaslu akan menyelidiki kasus dugaan pelanggaran pilkada oleh PNS. Jika terbukti bersalah, kasus itu akan dilaporkan ke Kemenpan dan RB, KASN dan BKN. Kemenpan dan RB akan menindaklanjuti setiap laporan dari Panwaslu dan Bawaslu.
Memang, di dalam MoU Netralitas PNS itu ditegaskan bahwa pemberian sanksi tidak mesti melalui peringatan terlebih dahulu. Meski begitu, tidak serta merta pemecatan bisa dilakukan. Sanksi akan dijatuhkan sesuai dengan tingakatan kesalahannya.
Disinilah salah satu fungsi Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) Pilkada yang salah satu tugasnya melakukan kajian tingkat kesalahan yang dilakukan PNS.
Untuk diketahui, Kemenpan dan RB tengah memproses penetapan hukuman terhadap 56 pegawai negeri sipil (PNS) yang diduga melakukan pelanggaran dalam Pilkada Serentak 2015.
Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB, Setiawan Wangsaatmadja pada April lalu menyebutkan, dari jumlah tersebut, sebanyak 30 kasus di antaranya merupakan pengaduan yang berkaitan dengan netralitas. Tujuh orang telah dijatuhi sanksi.
Untuk diketahui juga, ada empat sebab lainnya PNS bisa diberhentikan, yaitu aparatur yang berkinerja buruk, tidak disiplin, melakukan perbuatan kriminal, melakukan perselingkuhan atau nikah siri, dan jika negara mengalami krisis. []