Beberapa hari berturut-turut Presiden Joko Widodo bersafari mengkampanyekan ke-Indonesiaan. Safari makin intensif pasca aksi 4 November, Jumat pekan lalu. Pada awal pekan Jokowi mengawali dengan mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sebagai organisasi kemasyarakatan Islam terbesar. Dan terakhir kemarin, mendatangi markas Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan mengundang puluhan pemimpin pondok pesantren se-Banten dan Jawa Barat.
Markas kesatuan TNI dan Polri serta tokoh agama Islam menjadi sasaran kunjungan dan undangan Jokowi. Dari berbagai tempat dan orang yang diundang, nyaris senada pesan Presiden. Mulai dari toleransi, keberagaman, kesatuan, hingga keutuhan negara. Tak lupa Jokowi menyampaikan ucapan terima kasih atas peran aparat dan ulama sehingga aksi 4 November berlangsung relatif aman.
Langkah silaturahmi politik Jokowi itu patut diapresiasi. Bukan lantaran kabar kursi presiden jadi target utama di balik aksi-aksi itu. Tapi atas kerendahhatian orang nomer 1 di negeri ini untuk datang, meminta masukan dan mengucap terima kasih. Pertemuan kemarin dengan para ulama bahkan dilakukan dengan lesehan di Istana.
Kerendahhatian itu yang menguap di hirup pikuk urusan penistaan agama berpekan-pekan ini. Semua berlomba menang-menangan dengan tafsir, argumen dan logikanya. Hujatan, kecaman, intimidasi, sampai ancaman bunuh bertebaran melalui media sosial. Lupa bahkan tak peduli dengan keragaman yang menjadikan negeri ini ada. Negeri dengan beragam agama, keyakinan, suku, hingga bahasalah yang memperkaya negeri ini.
Kekayaan dari keragaman itulah yang tengah dijaga Presiden dan aparaturnya sepekan terakhir ini. Mereka yang sungguh mencintai negara Republik Indonesia sepatutnya mendukung langkah presiden. Bersama menjaga dan merawat kebhinnekaan yang menjadikan negeri ini ada.