in

British Museum gelar wayang kulit dengan lakon Ramayana

Lagu Garuda Pancasila dilantumkan oleh sebanyak 12 pemain dari Gemelan Southbank,

London (ANTARA) – British Museum mengelar acara wayang kulit dengan lakon Brubuh Alengka, cuplikan dari Serat Ramayana dengan dalang Ki Sujarwo Joko Prehatin diiringin gamelan Southbank. Gamelan melengkapi pameran topeng koleksi Sir Stamford Raffles di Asia Tenggara 1811-1824 yang digelar di gedung museum berlokasi di Great Russell Street, London, baru-baru ini.

Dalang Ki Sujarwo Joko Prehatin yang menampilkan wayang dengan mengunakan bahasa Inggris diiringi gamelan dari Southbank berhasil menarik perhatian lebih dari 200 penonton yang sebagian besar warga asing yang memenuhi gedung British Museum bahkan ada yang rela berdiri.

Tampil di British Museum tentunya membanggakan dan senang karena pentas di tempat yang terkenal dan menarik, ujar Dalang Ki Sujaro Joko Prehatin kepada Antara di London.

Menurutnya instrumen gamelan dan wayang yang dipakai adalah milik Southbank. Dan wayang yang digunakan sebagian milik saya, ujarnya.

Ia menyebutkan awalnya ia diundang Alexandra Green mengkoordinasi acara Raffles exebhition di British Museum.

Dalam pagelaran wayang, Ki Sujaro Joko Prehatin awalnya melantumkan lancaran 45 dengan iringan musiknya karya Ki Nartosabdo seniman dari Semarang dan syairnya karya Ir. Soekarno Presiden RI pertama dilanjutkan Lagu Garuda Pancasila pun bergema di British Museum yang megah.

Lagu Garuda Pancasila dilantumkan oleh sebanyak 12 pemain dari Gemelan Southbank dengan koordinatorJohn Pawson membawakan lagu perjuangan 45 seperti Garuda Pancasila.

Baca juga: Wayang orang kembali tampil di Jerman setelah 30 tahun

Ketua Indonesia UK Society, Cathy Lelengboto Paat mengatakan bahwa ia merasa bangga bisa melihat kesenian Indonesia di digelar oleh British Museum, London, apalagi sebagian besar pemain orang Inggris yang menyanyikan lagu Garuda Pancasila.

Banyak orang Asing terpesona dengan keindahan wayang kulit dan ceritanya serta alunan gamelan yang membuat suasana dan hati aman tentram, ujar Cathy, warga setempat.

Beberapa penonton anak-anak kecil duduk diam dengan manis menyaksikan wayang karena terpesona dengan dalang yang memainkan Wayang kulitnya.

Hal yang menarik selain dalang berbicara dengan mengunakan bahasa Inggris,salah satu dari wayang kulitnya berbentuk Botol Johny Walker.

Koordinator Kemitraan Komunitas, British Museum, Emmerline Smy sebelum pertunjukan wayang, mengajak para undangan tur informal menyaksikan koleksi Sir Stamford Raffles selama ia berada di Asia Tenggara dalam kurun waktu 1811-1824.

Pameran patung koleksi Sir Stamford Raffles yang diadakan British Museum mendapat dukungan dari Singapore High Commission, Kedutaan Singapura yang ada di London berlangsung hingga 12 Januari 2020.

Pameran ini menghadirkan beragam benda dari Jawa dan Sumatra yang dikumpulkan Sir Stamford Raffles (1781 hngga 1826), pejabat kolonial Inggris yang mendirikan Singapura modern.

Baca juga: Presiden Argentina disebut akan kembali ke Indonesia saksikan wayang

Raffles tetap menjadi tokoh kontroversial dan telah dilihat sebagai seorang imperialis yang berkomitmen dan reformis progresif selama beberapa dekade.

Dari wayang dan topeng teater hingga alat musik dan patung, pameran koleksinya ini mengeksplorasi masyarakat Jawa abad ke-19 dan tradisi Hindu-Buddha di pulau itu sebelumnya.

Dikumpulkan dalam kelompok benda-benda ini mengungkapkan bagaimana Raffles memahami budaya Asia Tenggara. Acara ini juga menyelidiki bagaimana dan mengapa ia mengumpulkan koleksinya dan untuk penelitian yang sedang berlangsung di Museum, bertujuan menjelaskan lebih banyak tentang pengumpulan dan kolonialisme di bagian dunia ini.

Sebagian besar koleksi dan dokumen resmi dan milik pribadi Raffles dari Sumatera yang hilang ketika kapalnya tenggelam tidak lama dalam perjalanan pulang ke Inggris pada tahun 1824.

Meskipun tidak banyak yang diketahui tentang praktik pengumpulannya di Sumatera, benda-benda yang dipamerkan di sini pameran memberikan catatan penting tentang seni dan budaya istana Jawa dari abad ke-7 hingga awal abad ke-19.

Baca juga: Remaja Perancis belajar buat wayang kulit

Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Hendra Agusta
COPYRIGHT © ANTARA 2019


What do you think?

Written by Julliana Elora

Desta mengaku jadi produser karena “kecebur”

ACT Sumsel kumpulkan donasi dari lelang pada nonton film Hayya