Bicara tentang literasi, tentunya bukan ‘barang baru’. Akhir-akhir ini di negara kita semua orang sibuk bicara tentang literasi. Di mana-mana kita dapati kampanye dan sosialisasi gerakan literasi. Menjamur pula berbagai komunitas literasi. Terakhir, baru-baru ini Presiden Jowoki ‘merayakan’ Hari Pendidikan dengan mengundang para tokoh dan pejuang literasi se-Indonesia, langsung dijamu di Istana Presiden.
Menyigi langkah Jokowi, kita wajar mengapresiasinya, mengingat kondisi literasi bangsa kita yang akhir-akhir ini memang mengundang keprihatinan. Data UNESCO tahun 2012 menunjukkan bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001. Itu artinya, dari 1.000 penduduk, hanya ada 1 orang yang mau membaca buku dengan serius. Dengan rasio ini, berarti di antara 250 juta lebih penduduk Indonesia, hanya 250.000 yang punya minat baca. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang untuk 2014 saja sudah mencapai 88,1 juta orang.
Definisi literasi memang cukup kompleks dan multiinterpretasi. Namun, secara sederhana, menurut National Institute for Literacy, literasi disebut sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, berhitung, serta memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat”.
Selanjutnya, Education Development Center (EDC) menyatakan bahwa literasi lebih dari sekadar kemampuan baca tulis. Menurut lembaga ini, literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan keahlian yang dimiliki dalam hidupnya. Bisa disimpulkan, lembaga ini menyorot kemampuan literasi dalam membaca kata dan membaca dunia.
Sementara menurut salah satu organ PBB, yaitu UNESCO, pemahaman orang tentang literasi sangat dipengaruhi oleh penelitian akademik, institusi, konteks nasional, nilai-nilai budaya, dan juga pengalaman. Pemahaman paling umum dari literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya kognitif, membaca dan menulis, yang terlepas dari konteks di mana keterampilan itu diperoleh dan dari siapa memperolehnya.
Pemeringkatan terbaru, menurut data World’s Most Literate Nations, yang disusun oleh Central Connecticut State University tahun 2016, peringkat literasi kita berada di posisi kedua terbawah dari 61 negara yang diteliti. Indonesia hanya lebih baik dari Bostwana, negara di kawasan selatan Afrika. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain, mencakup lima kategori, yaitu, perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.
Berangkat dari aspek-aspek di atas, secara makro maka budaya literasi memang berkaitan erat dengan akses terhadap pendidikan. Kemudian, dirunut secara mikro, akses terhadap aplikasi teknologi komputer dan buku adalah problem lainnya. Akses terhadap pendidikan tidak hanya berkisar pada persoalan kuantitas manusia Indonesia yang bersekolah, namun sejauh mana mereka menjadikan budaya membaca sebagai bagian dari gaya hidup sehari-hari untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar belajar.
Tak kalah mirisnya, akses individu terhadap bahan bacaan, terutama buku, sebagai sumber ilmu pengetahuan dan informasi, selama ini memang merupakan dilema tersendiri. Di satu sisi, pemerintah belum optimal menyediakan sarana-prasarana dan infrastruktur perpustakaan, sebagai basis utama menumbuhkan atmosfir minat baca. Di sisi lain, dari segi domestik, pagu anggaran yang disisihkan oleh rata-rata rumah tangga di Indonesia untuk membeli buku juga (berdasarkan banyak hasil penelitian) sangat minim.
Kondisi ini tentu semakin menambah kekhawatiran kita, bagaimana kita akan bersaing di arena global di masa depan jika menyadari fakta bahwa hanya 17,66% anak-anak Indonesia yang memiliki minat baca memadai. Sebaliknya, minat ada sebanyak 91,67% anak Indonesia yang minat menontonnya mendominasi kesehariannya. Perlu digarisbawahi, bahwa angka ini merupakan hasil survei yang dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah, yaitu Badan Pusat Statistik, notabene tidak main-main melakukan sebuah penelitian.
Beranjak dari fenomena mengerikan ini, tentunya semua kita harus berbuat, tidak hanya sekadar berwacana. Pendidikan merupakan faktor kunci memperbaiki kualitas literasi suatu bangsa, tak terkecuali Indonesia. Solusi teknis-konkret, para pendidik harus menjadi garda terdepan, jangan memberi peluang anak didiknya untuk tidak memiliki minat baca. Pendidikan yang konstruktif adalah yang memberikan dasar-dasar perilaku dan budaya membaca, sesuai dengan bidang ilmu apa pun.
Selanjutnya, kita harus semakin tegas dan berlaku preventif terhadap pengaruh gadget (gawai) dan media online dewasa ini. Hantaman kemajuan dan akses teknologi informasi mengancam potensi anak dan kemenakan kita. Di jam-jam tertentu, para anggota keluarga harus dibiasakan untuk memblokir akses terhadap gawai, dan berkonsentrasi penuh pada kegiatan membaca. Atau, jika pun harus menggunakan gawai, arahkan membaca e-book atau e-artikel yang dengan gampang diakses di internet.
Ini penting dilakukan secara masal dan alangkah baiknya diintegrasikan ke dalam sebuah gerakan bersama yang tidak hanya sebatas retorika politik belaka. Kesadaran akan semakin menguatnya budaya menonton dan semakin matinya budaya membaca jangan-jangan merupakan alarm bahaya yang mengabarkan awal dari keruntuhan generasi baru Indonesia. Solusinya adalah dengan sesegera mungkin melakukan revolusi budaya literasi mulai dari level masyarakat terkecil, keluarga.
Last but not least, mengutip UNESCO, kemampuan literasi merupakan hak setiap orang dan merupakan dasar untuk belajar sepanjang hayat. Kemampuan literasi dapat memberdayakan dan mengingkatkan kualitas individu, keluarga, masyarakat, disebabkan sifatnya yang ‘multiple effect’ memberikan efek positif untuk ranah yang sangat luas. Dus, kemampuan literasi sejatinya dapat membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk dan menjamin pembangunan berkelanjutan. (*)
LOGIN untuk mengomentari.