» Praktik rent seeking impor pangan telah membesarkan sistem monopolistik yang dikuasai oknum pedagang.
» BUMN bukan hanya pada level pedagang semata tapi harus juga berorientasi riset dan pengembangan.
JAKARTA – Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diharapkan menjalankan peran penting untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang selama ini dinilai belum optimal. Peran mereka yang lebih menonjol sebagai perusahaan yang mencari keuntungan, dan cenderung melupakan salah satu fungsinya yang vital yaitu sebagai agen of development atau agen pembangunan.
Padahal dalam pertimbangan Undang-Undang No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyebutkan, lembaga tersebut merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi. BUMN pun mempunyai peran penting mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Pasal 2 UU BUMN itu menegaskan maksud dan tujuan pendirian BUMN, pertama memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya. Pada ayat kedua baru memberi keleluasaan untuk mengejar keuntungan. Kemudian, disusul dengan menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.
Tidak hanya itu, BUMN juga harus menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi, serta turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, di Jakarta, Kamis (11/6), mengatakan peran yang lebih menonjol dijalankan BUMN selama ini yaitu mengejar keuntungan atau profit oriented. Peran lainnya cenderung terlupakan. Kalaupun dijalankan, hanya terkesan asal jalan karena hanya mengandalkan program-program Corporate Social Responsibility (CSR) yang alokasi dananya sangat kecil, sehingga sulit melihat dampak ekonomi dan sosialnya di masyarakat.
Ketiadaan BUMN menjalankan peran strategis dalam penyelenggaraan perekonomian nasional itu menyebabkan para rent seeking atau pencari rente masuk ke celah itu dan terus mencengkeram dengan impor bahan pangan.
“Praktik rent seeking impor pangan telah membesarkan sistem monopolistik yang dikuasai oknum pedagang, sehingga 260 juta rakyat Indonesia bergantung pada segelintir pedagang,” katanya.
Berpuluh-puluh tahun, sistem yang mematikan petani dan inisiatif dalam negeri membuat Indonesia menjadi negara terbelakang dalam membangun sistem ketahanan pangan. “BUMN harus menjadi pendobrak agar rakyat jelata diangkat menjadi entrepreneur baru, agar penguasaan oleh segelintir konglomerasi harus dihentikan. Gunakan BUMN sebagai pendobrak membangun entrepreneur nasional, itu tugas BUMN,” tegas Salamuddin.
Kalau fungsi-fungsi penguatan kapasitas perekonomian nasional diisi oleh BUMN, otomatis pemerintah telah berupaya menghilangkan kesempatan untuk korupsi. Keuntungan dari optimalisasi perusahaan negara itu, jelasnya, merupakan pendapatan negara sehingga bisa dimanfaatkan untuk membangun pertanian mandiri. “Dengan demikian, seluruh impor pangan harus di tangan negara dan keuntungannya harus dipegang negara, bukan pedagang,” katanya.
Sulit Dihilangkan
Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, mengatakan kuatnya cengkeraman mafia pangan membuat ketergantungan impor pangan sulit dihilangkan.
Bahkan, dalam Rancangan Undang- Undang (RUU) Omnibus Law pada klaster revisi UU pangan ada upaya menghilangkan pasal bahwa impor sebagai pilihan terakhir seperti yang tercantum dalam UU Pangan yang berlaku sekarang.
“Kalau frasa ‘pilihan terakhir’ itu dihapus atau diganti dengan kata yang bermaksa lain, tentu menjadi peluang besar bagi para mafia pangan untuk mengimpor dalam jumlah besar,” tegas Rachmi.
Hal itu, jelasnya, yang selama ini ditentang oleh kelompok pegiat pertanian. Soalnya, rencana itu hanya mempermudah mafia pangan mendapatkan akses mendapatkan kuota impor. “Yang punya akses itu hanya mereka, tidak semua orang punya,” tutup Rachmi.
Sebab itu, dia mengimbau semua pihak ke depan mengawasi pembahasan produk legislasi tersebut karena berpotensi menjadi alat masuk para rent seeking yang selama ini sudah menunggu dan mencari celah untuk memperkuat cengkeraman impor.
Momentum Pemerintah
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah mengatakan, pandemi Covid-19 merupakan momentum bagi pemerintah untuk menjadikan BUMN sebagai alat untuk memenuhi hak pangan bagi warganya. Kementerian BUMN diharapkan membuka pintu bagi rakyat menjadi enterpreneur dan industriawan baru. “Tujuannya agar praktik segelintir konglomerasi yang mematikan potensi rakyat bisa dihentikan,” kata Said.
Sementara itu, pengamat ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakara, Ahmad Ma’ruf mengatakan BUMN bukan hanya pada level pedagang semata tapi harus juga berorientasi riset dan pengembangan.
“BUMN mesti punya lembaga riset dan pengembangan sehingga produk yang dihasilkan memunyai nilai tambah dan berkualitas. Setidaknya BUMN memunyai target menyamai produk-produk Tiongkok, terutama produk dan teknologi pertanian,” katanya. ers/uyo/E-9