Pengelolaan Keuangan I Ketidakpastian Pemulihan Ekonomi di “Emerging Market” Tinggi
» Kerugian akibat pandemi Covid-19 selama enam bulan sudah mencapai 15 triliun dollar AS.
» Seruan moratorium utang Bank Dunia harus dimanfaatkan untuk selamatkan keuangan negara.
JAKARTA – Pernyataan Managing Director Dana Moneter Internasional (IMF), Kristalina Georgieva, seharusnya disikapi dengan bijak oleh negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Dalam pidato virtual dari Washington, Georgieva mengatakan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 masih terjal dan penuh ketidakpastian karena meningkatnya kebangkrutan dunia usaha sehingga makin banyak negara yang rentan, terutama pasar berkembang dan negara berpenghasilan rendah.
Tingkat utang pun meningkat karena respons fiskal mereka terhadap krisis dan penurunan output serta pendapatan. “Kami memperkirakan utang publik global akan mencapai rekor tertinggi sekitar 100 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020,” kata Georgieva.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait penerbitan Perppu 1 Tahun 2020 di Jakarta, Kamis (8/10), mengakui kerugian seluruh negara di dunia akibat Covid-19 selama enam bulan ini telah mencapai sekitar sembilan hingga 15 triliun dollar AS atau setara sembilan sampai 15 kali ukuran ekonomi Indonesia. Kerugian tersebut karena ekonomi dunia diprediksi berkontraksi sangat dalam tahun ini yaitu di kisaran 3–5 persen.
Menanggapi pernyataan IMF itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bhima Yudhistira, kepada Koran Jakarta, Kamis (8/10), mengatakan proyeksi tersebut seharusnya menjadi lampu kuning buat pemerintah untuk tidak bergantung terhadap utang.
Hingga Juli 2020, realisasi penarikan utang pemerintah telah mencapai 519,22 triliun rupiah yang terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 513,4 triliun rupiah, Utang Luar Negeri (ULN) 5,17 triliun rupiah, dan pinjaman dalam negeri 634,9 miliar rupiah.
Dengan penambahan tersebut, maka total utang Indonesia sudah mencapai 5.594,9 triliun rupiah pada Agustus 2020 atau 34,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dibanding dengan posisi yang sama tahun lalu sudah meningkat sebesar 914,7 triliun rupiah atau 19,5 persen. Hingga akhir tahun, diproyeksikan akan menyentuh 37,6 persen dari PDB.
Menurut Bhima, proyeksi IMF tersebut sangat berkorelasi dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini karena persaingan untuk memperebutkan utang dari investor akan semakin ketat dan nantinya akan membuat pemerintah menaikkan bunga (kupon) utang untuk menjaga minat investor.
Dengan kenaikan imbal hasil, membuat beban bunga utang menyandera Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang. Besarnya juga akan sangat berdampak terhadap kebijakan pajak pascaresesi ekonomi. “Mau tidak mau, generasi berikutnya akan dipajaki lebih tinggi untuk mendapatkan dana membayar utang,” jelasnya.
Bhima berharap biaya pemulihan ekonomi harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang, khususnya dana stimulus yang ditujukan untuk mendorong daya beli masyarakat, namun banyak yang belum terserap.
“Daripada utang baru, lebih baik memangkas belanja dan merelokasinya,” katanya.
Relokasi bisa dengan memangkas gaji dan tunjangan para pejabat, menunda proyek infrastruktur, dan menjaga penggunaan anggaran secara optimal. Bisa juga dengan melikuidasi kementerian atau lembaga yang kurang produktif dan hanya membebani pemerintah.
Tanpa Kontrol
Secara terpisah, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan proyeksi IMF terhadap global itu juga berlaku bagi Indonesia sebagai negara yang rentan. “Lonjakan utang pemerintah menjadi bukti bahwa kondisi yang disampaikan IMF juga menerpa Indonesia,” ujar Badiul.
Kebijakan pemerintah yang menarik utang melalui SBN tanpa kontrol, semakin memperburuk kondisi keuangan negara, sehingga pemulihan akan lamban.
Badiul mengimbau agar seruan Bank Dunia soal moratorium seharusnya benar-benar dimanfaatkan pemerintah untuk menyelamatkan keuangan negara sambil memperbaiki pendapatan agar defisit tidak semakin membengkak,” tutup Badiul.
Sementara itu, Pakar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan meskipun ada perbedaan rasio utang yang aman pada setiap negara, namun pemerintah tidak boleh berspekulasi dan harus mampu menilai kemampuan dalam mengatasi utangnya.
“Kita harus bisa memperkirakan apakah bisa membayar cicilan dan bunganya. Ini terkait prospek peneriman negara, kalau iya, tidak masalah. Tetapi, dengan kondisi kontraksi akibat pandemi seperti ini, sebaiknya berhati-hati, jangan terlalu berspekulasi,” kata Leo. n uyo/SB/E-9