Jakarta (ANTARA) – Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso di sela kegiatan halalbihalal bersama media massa, mengungkapkan sejumlah kendala yang ia hadapi selama memimpin BUMN pangan tersebut sejak setahun terakhir.
Pria yang akrab disapa Buwas tersebut mengungkapkan tantangan Perum Bulog untuk menyerap beras petani guna menghindari anjlok harga gabah adalah menyangkut soal dana pinjaman dengan dibebani bunga berjangka.
“Bulog menyerap beras itu dengan dana pinjaman. Konsekuensinya adalah bunga pinjaman. Tetapi ada ancaman kualitas pangan. Makin lama makin turun kualitasnya, harganya juga turun, sedangkan bunga semakin lama semakin tinggi,” kata Buwas, di Bulog Corporate University Jakarta, Selasa.
Ia membeberkan bahwa sejak menjabat April 2018, sinergi antarkementerian/lembaga belum terbangun untuk membenahi tata kelola pangan, terutama memasuki masa persiapan Ramadhan dan Idul Fitri.
Buwas berharap Bulog nantinya bisa melayani bahan pangan lebih cepat dan efisien secara online melalui kerja sama dengan toko-toko lewat e-Waroeng.
Pola pikir masyarakat terhadap rendah kualitas dan mutu beras Bulog, menurutnya, juga masih menjadi hambatan komersial. Padahal, Bulog sudah memilah beras sesuai mutunya dari turun, sedang dan sama sekali tidak terpakai atau rusak. Untuk beras yang sudah tidak bisa dikonsumsi, akan dikarantina sebelum dilepas atau dimusnahkan, ujarnya pula.
“Diberitakan Bulog menyimpan beras yang sudah rusak, bau dan berkutu. Bagi saya itu tidak masalah, tapi yakinlah bahwa kami tidak akan mengedarkan beras rusak. Bahkan beras itu setelah mendapat keputusan dari rakortas, akan dimusnahkan,” kata Buwas.
Saat ini, jumlah stok beras yang tersimpan di gudang Bulog mencapai 2,4 juta ton, terdiri dari 2,2 juta ton cadangan beras pemerintah (CBP) dan 143.000 ton beras komersial.
Namun, menurutnya, Bulog saat ini tidak memiliki kepastian tentang hilirisasi produk pangan. Program Beras Sejahtera (Rastra) yang sebelumnya menjadi alokasi terbesar untuk distribusi beras, sudah dikurangi secara bertahap sejak 2016.
Perum Bulog mulai berhenti menyalurkan Rastra pada Mei 2019, menyusul adanya Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Namun, Program BPNT yang dikelola Kemensos tidak memposisikan Bulog sebagai penyalur terbesar, karena 70 persen pengadaan beras diberikan kepada pasar bebas atau perusahaan swasta.
Menurut Buwas, keputusan ini sama saja melemahkan kendali pangan yang seharusnya berada pada negara atau BUMN, yakni Bulog. Program BPNT, kata dia, semata-mata merupakan pengabdian untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan pangan, bukan sebagai peluang bisnis.
Karena itu, Bulog khawatir harga pangan akan mudah dikendalikan oleh kartel. Contohnya saja, harga ayam hidup (livebird) yang anjlok hingga menyentuh Rp6.000 sampai Rp8.000 per kilogram di tingkat peternak. Padahal, harga ayam karkas di tingkat pedagang atau yang dibeli konsumen stabil di kisaran Rp30.000 sampai Rp40.000.
“Ayam drastis turun itu tidak selalu karena ‘supply-demand”, karena kalau dikuasai jejaring, mereka bisa mainkan suplai kok. Sementara Bulog tidak bisa berbuat apa-apa, sekarang kartel itu nari-nari dia. Ini yang harus kita waspadai bersama,” katanya pula.