Jakarta (ANTARA) – CEO dari panitia penyelenggara Olimpiade Tokyo percaya Olimpiade Musim Panas tahun ini dapat menjadi simbol solidaritas yang akan membantu mengurangi jarak emosional antara orang-orang yang telah berjuang dengan kesepian dan kecemasan di “waktu yang gelap dan suram” yang disebabkan oleh virus corona.
CEO Tokyo 2020, Toshiro Muto, mengatakan nilai dari penyelenggaraan Olimpiade Tokyo telah berubah secara signifikan sejak virus tersebut melanda dunia dan memaksa orang untuk mengisolasi diri atau mengubah gaya hidup mereka untuk meminimalkan risiko infeksi tanpa mengetahui kapan pandemi akan berakhir.
“Sebelum virus merebak, saya kira orang akan mengerti jika saya menjelaskan manfaat Olimpiade, tapi kita sekarang berada dalam krisis serius yang mungkin hanya terjadi sekali dalam beberapa abad,” kata Muto, dikutip dari Kyodo News, Minggu.
Baca juga: IOC: Vaksinasi tidak wajib untuk atlet Olimpiade Tokyo 2020
“Jika kita berbicara tentang Olimpiade selama ini, saya mengakui bahwa diskusi harus diadakan pada tingkat yang sama sekali berbeda.”
Olimpiade selama bertahun-tahun telah mempromosikan perdamaian dan kesejahteraan invididu. Dia menyarankan agar Olimpiade Tokyo yang sukses dapat menjadi inspirasi selama periode yang menantang ini dan berkontribusi untuk menyatukan orang secara mental, jika tidak secara fisik.
“Jika kami ingin menciptakan solidaritas dan bukan divisi, itu bisa dilakukan melalui Olimpiade. Semua orang tahu bahwa olahraga memiliki kekuatan untuk mengubah dunia,” kata pria berusia 77 tahun itu.
“Itu tergantung pada upaya yang dilakukan oleh orang Jepang untuk memanfaatkan kesempatan sebaik-baiknya.”
Baca juga: IOC setujui paket reformasi agar Olimpiade lebih menarik
Tetapi Muto, yang merupakan mantan wakil gubernur Bank of Japan, juga menyadari betul akan skeptisisme publik atas Olimpiade dan Paralimpiade. Dia mengatakan krisis kesehatan global telah menyulitkan banyak orang untuk memberikan dukungan mereka.
“Saya mengerti, tidak mungkin semua orang secara seragam mengatakan bahwa pertandingan itu harus diadakan. Aneh jika (semua orang) berkomentar sembarangan,” kata Muto.
Namun, menurut Muto, lebih baik memiliki pemikiran bahwa Tokyo Games 2020 akan mencapai hasil yang baik daripada mengatakan “itu tidak mungkin” atau “tidak boleh diadakan.”
Panitia penyelenggara berjanji akan memprioritaskan keselamatan selama Olimpiade Musim Panas, yang diharapkan akan melibatkan sekitar 15.000 atlet dari seluruh dunia.
Baca juga: Panpel mungkin tingkatkan frekuensi tes COVID-19 selama Olimpiade
Namun, dengan kurun waktu empat bulan menjelang upacara pembukaan Olimpiade, pandemi tampaknya masih jauh dari kata selesai, meskipun ada upaya global untuk mengekang infeksi.
Tokyo, yang pernah menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas 1964, telah berada dalam keadaan darurat COVID-19 sejak awal Januari, ketika tercatat ada lebih dari 2.500 kasus setiap hari di Jepang.
Di bawah keadaan darurat tersebut, orang-orang diminta untuk menahan diri dari acara yang tidak perlu, sementara restoran dan bar harus tutup lebih awal. Perdana Menteri Yoshihide Suga telah memperpanjang aturan tersebut hingga 21 Maret, meskipun awalnya berencana untuk mencabutnya pada awal Februari.
Meskipun jumlah kasus COVID-19 di Tokyo telah menurun dalam beberapa pekan terakhir, Muto mengatakan situasinya tetap “sangat serius.”
Dia menegaskan, penyelenggara, termasuk pemerintah Tokyo, harus merespon dengan cepat dan fleksibel terhadap berbagai perkembangan yang berbeda karena sulit memprediksi seperti apa pandemi dalam sepekan, apalagi berbulan-bulan.
Baca juga: IOC: Komite Olimpiade China tawarkan vaksin untuk Tokyo 2020
Olimpiade dan Paralimpiade Tokyo 2020 diundur pada Maret tahun lalu setelah virus corona, yang pertama kali terdeteksi di China, menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Keputusan itu dibuat oleh Perdana Menteri Shinzo Abe dan ketua Komite Olimpiade Internasional Thomas Bach.
Sementara, Muto mengaku “lega” dengan perubahan jadwal tersebut karena dunia “tidak dalam keadaan” siap untuk menyambut Olimpiade.
“Tepat setelah penundaan, kami tidak memiliki gambaran yang jelas tentang apa yang akan terjadi sebagai akibat dari penundaan. Itu belum pernah terjadi sebelumnya, jadi tidak ada yang tahu,” kenang Muto.
Muto mengatakan salah satu rintangan yang dihadapinya adalah memetakan prinsip-prinsip dasar dari awal tentang bagaimana mengatur Olimpiade Tokyo setelah pandemi.
Setelah sekitar tiga bulan pertimbangan, panitia mengumumkan pada bulan Juni tentang konsep-konsep utama, seperti memprioritaskan kesehatan dan keselamatan peserta, menyederhanakan format Olimpiade dan Paralimpiade dan mengurangi dampak biaya dari penundaan satu tahun.
Muto juga mengatakan mengamankan tanggal dan tempat yang sama untuk pertandingan juga merupakan tugas yang menakutkan, mengingat beberapa tempat, termasuk Tokyo Big Sight, pusat konvensi dan pameran yang akan digunakan sebagai pusat pers utama, telah dipesan untuk tahun 2021.
Dengan waktu terbatas hingga upacara pembukaan olimpiade pada 23 Juli mendatang, panitia penyelenggara memasuki tahap akhir persiapan. Estafet obor nasional akan dimulai di prefektur timur laut Fukushima pada 25 Maret, sementara serangkaian acara uji coba akan diadakan mulai April untuk memberikan kesempatan kepada penyelenggara meninjau operasi logistik.
Namun, banyak orang di Jepang menyuarakan keraguan tentang apakah Olimpiade dan Paralimpiade dapat diadakan musim panas ini di tengah kekhawatiran yang masih ada atas potensi peningkatan infeksi yang dipicu oleh varian virus corona baru yang sangat menular.
Muto menepis keraguan tersebut, mengatakan bahwa panitia tidak pernah membahas penjadwalan ulang atau pembatalan pertandingan.
“Tidak mengherankan jika orang kehilangan harapan karena parahnya pandemi,” kata Muto.
“Jika (Tokyo Games) dapat memungkinkan orang untuk mulai percaya pada masa depan, maka saya pikir Jepang akan diingat dalam sejarah karena membiarkan hal itu terjadi,” dia menambahkan.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Teguh Handoko
COPYRIGHT © ANTARA 2021