in

Cerpen – Susah Jatuh Cinta

Apa saja alasan orang untuk tidak pacaran? Ada daftar panjang untuk menjawabnya. Tapi setidaknya mungkin ada beberapa jawaban mayoritas.

Beberapa mungkin beralasan sibuk mengejar mimpi-mimpinya, tidak ada waktu untuk mengurusi pacaran dan segala drama yang mengikuti. Sederhananya, bagi mereka pacaran itu membuang waktu.

Yang lain mungkin beralasan bahwa ia tak mau lagi pacaran, terlalu takut dengan pasang-surutnya hubungan yang mengaduk-aduk perasaan. Sederhananya, mereka takut jatuh cinta.

Beberapa yang lain mungkin tidak keduanya. Tipe orang yang hanya menjalani ke mana hidup mengalir. Tidak merasa pacaran itu buang-buang waktu. Tapi juga tidak merasa pacaran itu hanya akan berakhir sakit hati.  

Bagi Airin, alasannya sedikit kompleks. Mungkin gabungan keduanya. Mungkin juga tidak. Yang jelasnya, ia punya cerita sendiri.

***

Airin punya hubungan yang kompleks dengan keluarganya. Ia adalah anak satu-satunya. Ayah dan ibunya sudah bercerai sejak lama dan punya anak masing-masing dengan pasangan barunya. Ia tinggal sendiri di sebuh apartemen kecil. Hal yang ia syukuri dari hidupnya yang penuh drama adalah ia tidak kekurangan uang. Ayah dan ibunya masih terus mengiriminya uang. Dan Ia pun bekerja part time dan freelancer untuk mengisi waktu.

Tapi manusia punya masalah dan harapan terdalamnya masing-masing. Banyak orang yang harapannya begitu sederhana, bisa hidup berkecukupan tanpa harus pernah merasakan lapar. Bagi Airin, ia berharap bisa memutar waktu dan hidup bahagia bersama yang dan ibunya seperti dulu. Tapi ia tahu itu adalah hal yang tak mungkin.

Ia mencintai ayah dan ibunya. Sangat. Ia hanya kecewa dan terluka. Ia sangat jarang berbicara dengan mereka, apalagi bertemu. Mungkin karena ia tidak akan selalu berakhir mengharapkan hal yang mungkin saat bertemu mereka. Mungkin juga karena ia selalu merasa marah melihat betaba bahagianya mereka dengan kehidupan masing-masing, sementara ia begitu sering menangis sendirian.

Karena itu. Alasan pertama Airin untuk selalu menolak laki-laki yang mendekatinya adalah karena ia tidak percaya pada cinta dan hubungan. Ayah dan ibunya yang dulu begitu bahagia saja bisa tiba-tiba berpisah seolah kehabisan cinta untuk satu sama lain. Meninggalkannya di tengah.

Ia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan kuliah dan pekerjaannya. Kedua hal itu adalah satu-satunya hal yang bisa mengeluarkannya dari kesepian yang tak pernah ingin ia akui, bahkan mungkin tidak ia sadari.

Ia sibuk mengejar prestasi ke sana ke mari. Berharap prestasi bisa mengisi hatinya dengan kebanggaan. Tapi ia salah. Seberapa banyakpun ia mengantongi bintang-bintang, ia tak pernah merasakan apapun.

Karena itu. Mungkin alasan ia tidak menoleh sedikitpun pada laki-laki yang mendekatinya adalah karena ia terlalu sibuk. Menjalani hubungan hanya kan menyita waktunya dengan drama-drama yang ia benci.

Setidaknya itu pula alasan yang selalu ia katakan pada orang-orang yang bertanya atau menyuruhnya untuk mencoba pacaran.

Ia merasa terganggu dengan pertanyaan ataupun dorongan orang untuknya pacaran. Ia merasa heran mengapa orang senang sekali mengurusi kehidupan orang lain. Tidakkah mereka memiliki urusan lain? Lagipula, pacaran bukanlah suatu kewajiban. Untuk apa orang-orang merasa heran ketika ada yang memilih tidak pacaran?

Tapi ia tidak akan pacaran hanya karena jengkel dengan recokan orang lain. Dan ia berencana untuk menjalani hidup ke depannya saja, tak perlu memusingi hal yang tak penting. Setidaknya itulah niatnya, sebelum seorang pekerja part time baru melamar di kafe tempatnya bekerja.

Namanya Randy.

***

Randy adalah orang paling keras kepala yang pernah Airin temui. Airin tidak suka senyum bodohnya. Tidak suka juga dengan tingkah konyolnya. Terlebih lagi, Airin tidak suka sikap Randy yang sepertinya tidak mengerti kata “tidak.”

Airin bukannya tidak tahu apa maksud di balik sikap Randy. Selalu menawarkan untuk mengatarnya pulang meski selalu ia tolak. Selalu mengajaknya berbicara ini-itu meski Airin tidak pernah membalas. Sering memberikannya hadiah ini-itu meski tidak ia terima.

Ia tahu sikap seperti apa itu. Ia tahu karena banyak lelaku dengan senyum bodoh seperti itu yang mendekatinya. Tapi Randy mungkin yang paling kukuh dan paling terang-terangan.

Tapi Airin sudah menetapkan hati sejak awal. Ia tidak akan melibatkan diri dengan perasaan konyol seperti cinta. Ia tidak akan melibatkan diri dengan hal tidak perlu seperti pacaran.

Tapi Airin tidak tahu. Perasaan suka dan cinta bukanlah hal yang ia control. Sama seperti rasa sedih yang selalu ia simpan, yang pada akhirnya akan meledak ketika ia sendirian. Perasaan suka juga seperti itu. Datang perlahan lalu bertumpuk hingga si empuh menyadarinya.

Airin tidak mau mengakui. Tapi terkadang ketika ia lelah, senyum bodoh Randy tiba-tiba saja tidak terlihat bodoh sama sekali. Terkadang ketika ia shift-nya tidak bersama Randy, ia tiba-tiba merasa ada yang kurang saat tak ada celoteh cerewet yang mengikutinya.

Airin tidak akan pernah mengakui. Terkadang ia penasaran apa yang ada dibalik bungkusan kado rapih yang selalu ia tolak.

Tapi, ia tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Tidak ingin percaya pada siapapun. Sebab manusia hanya akan berakhir menyakiti.

Seperti orang tuanya yang bahkan setelah bertahun-tahun lamanya pun masih menjadi sumber tangisnya di tengah malam. Ketika menatap bintang-bintang dari jendela kamar kecilnya. Ia akan menangis. Kamar kecilnya adalah satu-satunya tempat ia bisa menjadi diri sendiri. Di mana ia tak perlu berpura-pura menjadi kuat sementara hati dan kenangannya terjebak pada dirinya yang berusia 12 tahun ketika semuanya baik-baik saja.

Bintang-bintang pun tahu alasan mengapa ia tak mau membuka hati. Ia tidak ingin mencintai orang lain dan berbagi cinta sementara hubungannya dengan orang tuanya saja begitu dingin. Pada titik tertentu, ia merasa tidak benar jika memiliki hubungan yang hangat dengan orang lain. Sementara dengan ayah dan ibunya saja, ia tidak pernah menanyakan apa mereka sudah makan atau bagaimana kabar mereka.

Di titik lain ia merasa heran. Untuk apa ia memikirkan hal itu. Ibu dan ayahnya saja sudah bahagia dengan kehidupan masing-masing. Untuk apa ia menderita sendirian di sini?

Pada akhirnya, hingga pada titik ini, semua alasan soal mengapa ia tidak pacaran mungkin tidak berlaku lagi. Mungkin pada titik ini, ia hanya sudah lupa soal cinta. Ia lupa bagaimana rasanya. Ia pikir apa yang ada antara ayah dan ibunya dulu bukan cinta. Ia pikir apa yang ayah dan ibunya rasakan padanya sekarang bukan cinta, tapi hanya sisa-sisa tanggung jawab.

Tak ada yang pernah mengajarinya cinta. Dan mungkin tak akan ada yang bisa. Bahkan tidak untuk buku-buku puisi yang ditinggalkan Randy saat ia berhenti bekerja.

Karena itu pula, setelah dua tahun lamanya dan ia melihat Randy bersama perempuan lain. Ia hanya berbalik dan tersenyum. Ia pantas mendapatkan perempuan yang tahu cara mencintai dan dicintai. Ini untuk pertama kalinya ia berpikir seperti itu tentang seorang lelaki.

***

Makassar, 25 Mei 2019

Picture from pixabay.com

Tags: Cerpen, Cinta Pertama

Loading…

What do you think?

Written by Julliana Elora

Petani Lulusan SMP Sukses Berinovasi layaknya Profesor, Lahirkan ”Pacar” dan ”Selamat”

Wanita Ini Usianya sudah Tua, Tapi Semua Kaget dengan Keahliannya di atas Logam Panas