in

Daya Saing Kunci Atasi Ketimpangan

» Sekitar 10 persen penduduk menguasai 74,1 persen total kekayaan nasional.

» Beri lahan dan pembiayaan serta akses pasar ke petani miskin.

JAKARTA – Kenaikan peringkat Indonesia oleh Bank Dunia dari negara berpendapatan menengah bawah atau lower middle income menjadi negara menengah atas atau upper mid­dle income dinilai belum menunjukkan kondisi Indonesia yang sebenarnya. Sebab, ketimpang­an pendapatan masih lebar, yang terlihat pada koefisien rasio gini 0,380 pada September 2019 atau turun tipis dibanding Maret 2019 di 0,382.

Koefisien gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapat­an secara menyeluruh. Nilai Koefisien Gini ber­kisar antara 0 hingga 1. Rasio gini sama dengan 0 (nol) mengindikasikan ketimpangan penda­patan merata sempurna. Artinya, setiap orang menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Sementara gini rasio sama dengan 1 (satu) menunjukkan terjadinya ketimpangan pendapatan timpang sempurna, artinya pen­dapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja.

Ekonom Institute for Development of Eco­nomics and Finance (INDEF), Bhima Yudhisti­ra, mengatakan kenaikan Gross National Income (GNI) per kapita Indonesia dari 3.840 pada 2018 menjadi 4.050 dollar AS pada 2019 lalu bukan berarti secara faktual tiap penduduk pendapat­annya tahun lalu 4.050 dollar AS atau dengan kurs 14.300 per dollar AS senilai 57,915 juta.

“Data Credit Suisse tahun 2019 menunjuk­kan akumulasi aset di tangan segelintir orang. Sekitar 10 persen penduduk menguasai 74,1 persen total kekayaan nasional. Ini bukti bahwa makin tinggi pendapatan per kapita yang me­nikmati adalah elite orang kaya di Indonesia,” kata Bhima.

Sebab itu, dia mengimbau agar kenaikan pendapatan itu diimbangi dengan upaya meng­atasi ketimpangan melalui beberapa kebijakan.

Pertama, urai Bhima, bisa menggunakan instrumen pajak penghasilan (PPh) progresif di mana pada threshold tertentu bisa dikenakan tarif hingga 40 persen.

“Selama ini, pajak progresif belum ideal karena dari sisi tarif masih rendah dan ting­kat kepatuhan juga rendah. Bahkan, beberapa orang terkaya di Indonesia tidak memiliki No­mor Pokok Wajib Pajak (NPWP),” kata Bhima.

Kedua, dengan kebijakan reformasi agraria dengan pemberian akses pembiayaan dan pa­sar. Penyempurnaan khususnya pembagian lahan negara dan perusahaan kepada petani miskin disertai skema pembiayaan murah dan akses ke pasar. “Jadi tidak cukup sekadar serti­fikasi lahan, ini belum optimal,” katanya.

Terakhir, jelas Bhima, dengan menerapkan universal basic income di mana pemerintah berperan menjamin pendapatan masyarakat di atas komponen biaya hidup yang layak. Mi­salnya, Upah Minimum Provinsi (UMP) di Jawa Tengah 1,7 juta rupiah. Jika ada pekerja yang berada di bawah UMP maka kewajiban peme­rintah untuk melakukan subsidi pendapatan. “Ini lebih efektif dibanding jaring pengaman untuk orang miskin. Ada target 115 juta kelas menengah rentan miskin yang bisa disasar oleh program ini,” katanya.

Dalam pelaksanaannya, subsidi bisa dimu­lai dengan pilot project yang menyasar kan­tong-kantong pekerja yang dirumahkan.

Kemandirian Ekonomi

Pengamat ekonomi dari lembaga kajian kebijakan publik Think Policy Society, Adelia Surya Pratiwi, mengatakan peningkatan daya saing menjadi strategi kunci untuk memperta­hankan status Indonesia sebagai negara upper middle income country.

“Daya saing merupakan faktor penting un­tuk meningkatkan kemandirian ekonomi,” kata Adelia seperti dikutip Antara.

Menurut Adelia, pandemi mengajarkan In­donesia bahwa kemandirian ekonomi mutlak penting. Ia mencontohkan Indonesia memi­liki sumber daya alam yang melimpah, namun belum memiliki kemampuan untuk mengolah sehingga penyerapan tenaga kerja belum op­timal. Dengan demikian, reformasi struktural berbasis sumber daya alam ke pengolahan (industri) menjadi relevan.

Daya saing Indonesia, menurut World Eco­nomic Forum’s Global Competitiveness Index, masih tertinggal dibandingkan negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi.

“Dari 10 pilar daya saing, Indonesia paling tertinggal terkait aspek infrastruktur, kualitas SDM, kemampuan berinovasi, adaptasi tekno­logi, serta sistem keuangan. Sedangkan aspek lain seperti institusi, stabilitas makro, potensi pasar barang dan tenaga kerja, Indonesia su­dah relatif baik,” katanya. n yni/uyo/E-9

What do you think?

Written by Julliana Elora

Fitch Revisi Prospek Kredit 40 Negara

Beraksi di Toko Ponsel, Pelajar asal Meureudu Dicokok Polisi